AKSI sejuta umat Islam pada tanggal 4 Nopember 2016 dari Masjid Istiqlal ke Istana disertai aksi di kota Medan, Makasar dan lain-lain merupakan akumulasi ketidakcakapan Jokowi dalam mengantisipasi keadaan.
Sudah selama sebulan lebih masyarakat Indonesia resah terhadap perkataan Ahok menista Alquran, penegakan hukumnya tidak cepat, tidak segera dan tidak transparan.
Dua minggu sebelumnya puluhan ribu umat Islam dalam Demo Bela Islam Seri Kesatu di Jakarta Istiqlal menuju Balaikota dan Bareskrim Polri.
Hal serupa juga terjadi di berbagai kota dengan tuntutan tunggal proses hukum segera Ahok yang telah menista agama.
Sebagai seorang Presiden RI, Jokowi selama itu diam membisu, tidak ada aksi menenangkan umat yang sudah sangat resah karena Alquran sebagai kitab suci umat Islam dihina dan dilecehkan.
Jokowi lebih sibuk dengan hal remeh temeh yang seharusnya dikerjakan oleh pembantunya, permasalahan yang sangat peka ditengah masyarakat yang bisa merusak persatuan Jokowi diam.
Seharusnya Jokowi sejak demo pertama umat Islam, secara terbuka menyatakan bahwa proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama, akan dilakukan, cepat, tegas dan terbuka.
Keresahan umat Islam telah hadir dan berkembang di tengah masyarakat dengan berbagai reaksi, di kedai, di warung dan di perkumpulan kecil di reuni, di kegiatan sosial dan telah menjadi diskursus di sosia media, antar sahabat, antar saudara, teman sekerja, teman alumni.
Telah terjadi diskusi panas kadang saling ejek dan melecehkan ada juga yang berkembang menghina ulama baik dari sesama keyakinan maupun dari kalangan non muslim.
Suasana sosial media atau grup chating yang tadinya akrab saling bersilaturahmi baik sesama muslim dan non muslim sudah mengarah kepada diskusi panas, suasana kekeluargaan dalam grup sudah tidak kondusif, akibat tidak adanya cepat, tegas dan tranparannya proses hukum terhadap penista agama yang sudah berlangsung selama sebulan lebih.
Dalam kondisi tersebut Jokowi bukan lagi sebagai Presiden yang berusaha menenangkan rakyatnya dan menjaga persatuan malah diam seribu bahasa, justru sebagai Presiden inilah tanggung jawab utamanya.
Jokowi baru bereaksi setelah beberapa hari mau diadakan demo besar-besaran oleh umat Islam dengan berkunjung ke Prabowo Subianto, dan mengundang pimpinan MUI, NU dan Muhammadiyah.
Dalam pertemuan tersebut tidak ada perkataan Jokowi secara tegas malah mengambang Jokowi tidak ke depan menyampaikan jumpa pers setelah pertemuan dengan pemuka agama tersebut.
Seharusnya Jokowi sebagai Presiden dengan dukungan rakyat, menyatakan kepada rakyatnya. “Hai rakyatku saya Presiden saya akan perintahkan kepada Polri dan Jaksa Agung lakukan proses hukum secara cepat, tegas dan transparan terhadap penista agama siapapun dia!”.
Jokowi tidak perlu bermanuver macam macam, cukup menyatakan hal tersebut sehingga ekskalasi umat Islam yang demikian besar tidak terjadi.
Blunder yang Fatal
Blunder yang paling fatal adalah Jokowi malah memilih keluar Istana meresmikan sesuatu yang bisa diwakilkan kepada menterinya atau kepada wakil presiden. Padahal jauh hari pimpinan umat Islam menyatakan akan menyampaikan aspirasinya kepada Presiden Jokowi.
Jokowi juga pasti mengetahui rakyatnya, umat Islam sudah hadir dan melaksanakan Jum’atan di Mesjid Istiqlal yang meluber sampai kejalan jalan di depan Kantor Depag dan Hotel Borobudur.
Perjalanan dari Masjid Istiqlal ke Istana tidaklah begitu jauh, bubar shalat Jum’at jam 12.30 langsung para pendemo berangkat, ujung masa umat Islam yang menyemut sudah sampai di depan Istana Jalan Merdeka Utara.
Buntutnya masih menyemut di Jalan Merdeka Timur depan Stasiun Gambir, demikian juga masa dari arah Thamrin yang tidak melaksanakan Jum’atan di Istiqlal juga menyemut menuju tujuan yang sama ke depan Istana yang juga sudah di blokir oleh Polisi dan TNI.
Saya mengikuti perjalanan umat Islam dari Mesjid Istiqlal sampai ke depan RRI, selama perjalanan saya merasakan getaran hati umat Islam terasa sangat jelas yang kesal disakiti dengan pelecehan alkitab Alquran mereka, dari mana mana umat hadir baik secara berkelompok maupun perseorangan.
Ada yang meneteskan airmata karena terharu terhadap bersatu padunya umat dan menyemutnya umat mengikuti aksi bela Islam, mereka masih ada yang memberi peringatan jangan injak taman, beberapa diantara mereka ada yang membawa plastik besar untuk mengumpulkan sampah sambil berjalan, aksi umat Islam dengan jumlah yang luar biasa berjalan tanpa kekerasan.
Aksi umat bela Islam  dalam jumlah yang luar biasa hanya disatukan oleh panggilan nurani terhadap penghinaan terhadap keyakinan mereks, tidak mungkin bisa disatukan oleh aliran politik manapun ataupun oleh parpol yang selama ini sudah hancur citranya di tengah tengah masyarakat.
Seharusnya Istana dan Presiden Jokowi cepat tanggap segera menerima per utusan dari umat Islam sehingga aksi bisa cepat bubar, tidak membiarkan berlama lama, sehingga tambahan masa dari masyarakat terus mengalir, berjam jam berdiri dan berjalan adakalanya berdesakan dalam keadaan panas dan lapar.
Apakah Kebohongan?
Istana beralasan Jokowi terhalang masuk Istana karena permintaan Paspamres, mudah- mudahan ini bukan kebohongan, sejak kapan pintu Istana hanya satu, di belakang Istana jalan  Juanda kosong tidak ada umat yang berdemo.
Katakanlah jika ada demo pun sejak kapan Istana tidak ada helipad, jika Jokowi segera hadir di Istana dengan menerima perutusan aksi umat bela Islam secara cepat, tidak akan ada alasan lagi buat pimpinan aksi masa untuk tidak membubarkan diri.
Apalagi jika Jokowi langsung tegas menyatakan akan melakukan tindakan proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama secara cepat, tegas dan transparan sebagaimana yang Jokowi sampaikan sewaktu tengah malam setelah jatuh korban dan aksi rakyat setempat yang tak terkendali di Penjaringan atau Luar Batang.
Sayang sekali Presiden Jokowi tidak cakap dalam memimpin bangsa ini, hal-hal yang peka selalu terlambat.
Di tengah masyarakat sampai sekarang masih terjadi ke resahan hati, sensi dan tidak lagi solid, silaturahmi dalam grup sosmed sesama teman, alumni, kelompok kerja dan lain-lainnya yang sebelumnya akrab, berganti dengan gesekan emosi, kadang terjadi saling melecehkan, menista dan mencaci antar sesama.
Pemimpin yang cakap seharusnya menyatukan rakyatnya, langsung bergerak kedepan meredam dan memberikan ketenangan jika terjadi kegelisahan ditengah masyarakatnya.
Sayang sekali Indonesia kali ini memiliki Presiden yang kurang cakap dan kurang empati terhadap apa yang sedang berlangsung ditengah rakyatnya, hanya beralasan Kerja, Kerja, Kerja. Tanggung jawab dia sebagai pemersatu terabaikan.
Oleh Sjafril Sofjan, aktivis 77-78, Deklarator Pendukung Jokowi-JK Sewaktu Pilpres, Ketua Dewan Pakar IKA – ITT/STTT, Wakil Ketua Litbang SI Pusat