Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Dua-tiga hari ini citizen of the net dibuat gaduh oleh statemen Presiden Jokowi. Terkait pengawas pelaksana proyek IKN dan SD Inpres.
“Ndak, ndak (ada hubungan dengan investor), ya karena kita ingin menaikan level kualitas kita. Jangan nanti hasilnya nanti kaya SD Inpres, mau?”, kata Presiden Jokowi sebagaimana dikutip banyak media. Presiden Jokowi menjawab pertanyaan wartawan terkait penggunaan pengawas asing dalam pembangunan IKN.
Bagaimana mengkaitkan statemen Presiden Jokowi dengan Program SD Inpres pada era Presiden Soeharto?
Terkait kualitas pembangunan SD Inpres kah, sejumlah SD Inpres yang kini tidak terpakai lagi, atau pemanfaatan tenaga asing?. Statemen Presiden Jokowi dinilai para netizen sebagai bentuk merendahkan program Presiden Soeharto yang ternyata memperoleh Nobel itu.
Sejauh penelusuran penulis terhadap dokumen-dokumen dan catatan terkait SD Inpres, tidak ada masalah dengan kualitas pembangunannya. Kualitas SD Inpres memiliki kualitas bagus dan berfungsi dengan baik.
Memang, terdapat kisah Presiden Soeharto menendang dinding bangunan SD di Jawa Tengah hingga roboh. Sebagaimana dikutip soehartolibrary.id, pertengahan 1970-an, ketika berada di Cilacap, Jawa Tengah, Presiden Soeharto meninjau pembangunan SD Inpres.
Rupanya presiden melihat ketidakberesan pembangunan gedung sekolah yang disubsidi pemerintah itu.
Ia menendang dinding sekolah dengan sepatunya. Ternyata dinding itu ambruk. ”Siapa anemer (pemborong) bangunan ini?” tanyanya sambil sekali lagi menendang dinding yang keropos. Dia minta agar pihak pemborong bertanggung jawab terhadap bangunan tersebut. Ketegasan Presiden Soeharto ini menjadikan para pemborong tidak main-main dengan proyek SD Inpres.
Proyek ini diselenggarakan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 1973 untuk program bantuan pembangunan sekolah dasar (SD). Pada tahun-tahun berikutnya tidak ada catatan media maupun kelompok kritis terkait kualitas pembangunan SD Inpres.
Baru pada tahun 2000-an, terdapat informasi sejumlah SD Inpres mulai kekurangan murid. Sejumlah sekolah tidak operasional lagi. Hal itu bukan karena gedungnya tidak layak. Banyak masyarakat yang bisa mengakses kesekolah-sekolah yag dikehendaki. Termasuk menjamurnya sekolah-sekolah swasta dan bercorak keagamaan.
Terkait pemanfaatan tenaga asing, Presiden Soeharto sangat tegas. Hanya proyek-proyek pembangunan yang tidak bisa dilakukan oleh tenaga ahli dalam negeri, pengerjaannya bisa memanfaatan tenaga asing. Bukan hanya pada SD Inpres, akan tetapi pada proyek-proyek yang lainnya juga.
Jadi wajar jika publik kemudian menduga statemen Presiden Jokowi itu terkait kualitas bangunan SD Inpres. Bisa dimaknai statemen itu, “Pembangunan IKN perlu pengawas asing, agar tidak gagal seperti SD Inpres”. Padahal SD Inpres bukan program yang gagal. Bahkan ilmuan yang meneliti program itu, justru memperoleh Nobel.
Ada tiga hal yang mesti dipahami soal program Inpres Presiden Soeharto.
Pertama, sebuah kebijakan short cut (terobosan) untuk membalik keterbelakangan Indonesia dengan percepatan pencerdasan bangsa. Pembangunan Pendidikan mutlak perlu. Namun kondisi geografis Indonesia sangat variatif.
Pelosok-pelosok daerah atau kantong-kantong daerah terpencil banyak yang tidak terjangkau oleh pembangunan yang sedang berlangsung. Agar anak-anak bisa menikmati sekolah, maka dibangunlah fasilitas-fasilitas pendidikan khusus di daerah-daerah yang belum terjangkau atau jauh dari fasilitas pendidikan itu.
Kedua, sebagai “blusukan kebijakan” Presiden Soeharto agar dalam urusan sensitif tidak direpotkan oleh tabiat buruk birokrasi (prosedur berbelit dan korupsi). Program Inpres menyasar banyak sektor. Sekolah, pasar, fasilitas kesehatan maupun sektor yang lain. Ada SD Inpres, Pasar Inpres, Puskesmas Inpres, Jalan Inpres, dll.
Kebijakan ini sebagai sarana presiden Soeharto untuk intervensi, mengawasi dan mengontrol secara langsung percepatan pembangunan. Melalui kebijakan ini, sebuah proyek tidak terkatung-katung pelaksanannya akibat birokrasi berjenjang. Termasuk adanya kebocoran program oleh korupsi.
Terbukti program ini berlangsung dengan baik. Puluhan ribu sekolah terbangun dengan cepat. Bahkan kemudian angkanya mencapai ratusan ribu sekolah. Masyarakat dan aparat birokrasi di bawah tidak berani main-main yang menyebabkan program ini tersendat.
Bandingkan dengan era saat ini, sebagaimana kasus BTS Kominfo. Pembangunan BTS baru terselenggara sebagian, sementara anggarannya sudah dicairkan.
Ketiga, program ini diakui keberhasilannya oleh Lembaga-lembaga internasional. Pada tahun 1984 dengan program SD Inpresnya, Pak Harto mendapatkan penghargaan Avicenna Award dari UNESCO.
Medali Emas diterima Presiden Soeharto pada 19 Juni 1993. UNESCO menyatakan bahwa Indonesia dalam konsep pembangunan bidang pendidikan sejak tahun 1970-an telah mewujudkan kebijakan wajib belajar 6 tahun. Melalui Pembangunan sarana dan prasarana sekolah dasar dengan dibangunnya SD Inpres serta perbaikan kualitas guru dan kurikulum Sekolah Dasar.
Keberhasilan kebijakan wajib belajar 6 tahun itu dikonsolidasikan dengan program anak asuh yang dirancang untuk meningkatkan mutu pendidikan di kalangan keluarga miskin dan memuji keberhasilan Indonesia dalam memberantas buta huruf.
UNESCO menjadikan Indonesia contoh pembangunan pendidikan. UNESCO menilai Indonesia berhasil dalam pembangunan bidang pendidikan, terutama pendidikan dasar. UNESCO menjadikan Indonesia sebagai percontohan dalam pembangunan pendidikan di negara berkembang yang padat penduduk.
Pada tahun 1986, Indonesia lepas statusnya dari negara miskin menjadi negara berkembang. Target berikutnya membawa Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2019. Namun program untuk itu terputus oleh krisis moneter dan krisis politik tahun 1997/1998.
Belakangan program ini diteliti oleh salah satu dari tiga ekonom Amerika (Abhijit Banerjee, Esther Duflo dan Michael Kremer). Ketiganya mendapatkan Penghargaan Ekonomi Nobel (Nobel Economics Prize) ke 51 dari Royal Swedish Academy of Sciences pada Senin (14/10/19). Duflo meneliti Sekolah Dasar (SD) Inpres di Indonesia.
Tampaknya, sinyalemen Presiden Jokowi kali ini tidak relevan. Faktanya SD Inpres terselenggara dengan baik. Hasilnya terbukti memperoleh pengakuan lembaga internasional. Bahkan penelitian terhadap SD Inpres melahirkan pendekatan baru yang menyebabkan penelitinya memperoleh Nobel.
Tidak ada kegagalan kebijakan dan program SD Inpres. Untuk bisa dijadikan justifikasi hadirnya pengawasan tenaga asing atas pembangunan IKN.
ARS, Bangka-Kemang Jaksel, 18-06-2023
[***]