Artikel ini ditulis oleh DR Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman.
Indonesia akan membutuhkan waktu lebih lama daripada kebanyakan negara untuk pulih dalam penanganan pandemi Covid-19. Semakin lama penanganan pandemi, maka akan membuat peluang pemerintahan Jokowi mencapai titik kritis politik akan semakin tinggi.
Kisah pandemi besar dalam sejarah dunia bukan hanya tentang kelaparan, penderitaan, dan kematian. Tapi juga menguji kemampuan para pemimpin untuk mengelola krisis, dan memiliki konsekuensi politik jika mereka gagal.
Faktanya, pandemi sebelumnya dan perubahan politik yang ditimbulkannya adalah cerita yang patut diingat. Misalnya, pandemi pertengahan abad ke-14 yang dikenal sebagai Wabah Hitam.
Menurut sejarawan, pandemi menyebabkan sebagian besar pejabat pemerintah terinfeksi, mendorong mereka untuk mengunci diri di rumah mereka sampai mereka menyerah pada penyakit tersebut.
Karena semakin banyak pemimpin yang meninggal, kekosongan kekuasaan muncul dan ketidakstabilan memerintah. Pada saat wabah menghilang pada tahun 1353, dunia mulai berubah secara dramatis.
Seperti yang dicatat oleh seorang sarjana Abad Pertengahan: “Upah petani dan pengrajin biasa telah berlipat ganda dan tiga kali lipat, dan bangsawan dirobohkan dalam status sosial.
“Pegangan gereja pada masyarakat rusak, dan sistem feodal Eropa Barat sedang dalam perjalanan keluar, titik belok yang membuka jalan menuju reformasi dan keuntungan pekerja yang lebih besar dari Revolusi Industri dan seterusnya.”
Contoh lain adalah flu Spanyol, yang dimulai pada tahun 1918 dan berlangsung selama lebih dari dua tahun. Virus ini diduga telah menginfeksi 500 juta orang, hampir sepertiga umat manusia, dan menyebabkan antara 20 juta hingga 100 juta kematian.
Tidak hanya pandemi yang sangat mematikan, tetapi juga memperburuk dislokasi ekonomi dan sosial menyakitkan yang terjadi setelah Perang Dunia 1. Hal ini mendorong pemberontakan dan perubahan politik, yang pada akhirnya mengubah tatanan politik global.
Dimulai pada musim gugur 1918, terjadi gelombang pemogokan buruh, kerusuhan politik di Eropa dengan pemberontakan di seluruh Polandia, Republik Weimar, Austria, Hongaria dan Italia, yang akhirnya mengarah pada kebangkitan rezim fasis.
Bahkan di Swiss, negara yang damai sepanjang sejarahnya, hampir terjadi perang saudara pada musim gugur 1918 setelah kelompok kiri menyalahkan pemerintah dan militer atas tingginya jumlah kematian akibat flu.
Di Indonesia, Presiden Joko Widodo atau Jokowi, adalah contoh utama dari seorang pemimpin yang telah salah mengelola pandemi secara mengerikan.
Awal Juli lalu, Indonesia sempat menjadi episentrum pandemi bahkan melampaui India saat varian Delta menyebar. Kasus harian baru dengan cepat melonjak menjadi lebih dari 50.000 per hari, memaksa pemerintah untuk melarang orang asing memasuki negara itu dan menerapkan putaran baru penguncian.
Baru-baru ini kasus baru mencapai di bawah 20.000 per hari. Tetapi bahkan ketika penyebaran virus dapat diatasi dan penguncian dilonggarkan, Indonesia menghadapi prospek yang menakutkan dari lonjakan dan penguncian baru.
Hal ini bisa terjadi sampai Indondesia mendekati 70 persen dari populasi yang divaksinasi penuh yang diperlukan untuk mencapai kekebalan kawanan.
Tapi, kapan angka ajaib ini akhirnya tercapai? Tidak dalam waktu dekat. Sejauh ini, hanya 79 juta dosis yang telah diberikan. Indonesia masih jauh dari mengamankan pasokan vaksin yang cukup. Padahal, negara tersebut membutuhkan 380 juta dosis. Memiliki cukup vaksin hanya setengah dari persamaan.
Setengah lainnya adalah membuat orang divaksinasi, dan untuk ini, pemerintah menghadapi tantangan logistik besar dalam mendistribusikan, menyimpan, dan mengelola vaksin.
Masalah ini sangat akut di bagian timur Indonesia, yang sebagian besar kekurangan fasilitas penyimpanan dingin dan jumlah vaksinator yang memadai.
Sementara itu, ketika pemerintah berjuang untuk meningkatkan tingkat vaksinasi, banyak orang Indonesia jatuh ke dalam kemiskinan yang parah.
Pemerintah telah mengalokasikan lebih dari seribu triliun rupiah untuk memerangi pandemi, namun sebagian besar orang Indonesia bertanya-tanya apa yang terjadi dengan uang itu.
Masyarakat Indonesia berpenghasilan rendah seharusnya menerima 300.000 rupiah sebulan dari pemerintah, yang kurang dari satu dolar per hari, hampir tidak cukup untuk bertahan hidup. Ditambah dengan penghinaan yang melukai, berkali-kali uang dicuri oleh pejabat pemerintah dan politisi yang tidak bermoral.
Singkatnya, prognosis untuk Indonesia sangat buruk. Sejauh ini, jumlah resmi kematian terkait Covid-19 lebih dari 100.000 dan meningkat lebih dari 1.000 per hari—jumlah yang akan jauh lebih rendah jika pemerintah mengelola pandemi dengan lebih baik. Tetapi untuk itu Jokowi belum mengeluarkan permintaan maaf.
Bagi mereka yang melihat Indonesia, prognosisnya sama suramnya. Menurut Indeks Pemulihan Covid-19 Nikkei, yang memeringkat negara berdasarkan proyeksi kemampuan mereka untuk pulih sepenuhnya dari pandemi, Indonesia menempati peringkat 110 dari 120 negara dalam indeks tersebut.
Dan dalam indeks lain yang dilakukan oleh The Economist, mengukur potensi pemulihan penuh pada tingkat pra-pandemi, Indonesia menempati peringkat ke-47 dari 50 negara. Dengan kata lain, Indonesia akan membutuhkan waktu lebih lama daripada kebanyakan untuk pulih, dan semakin lama, semakin tinggi pula peluang pemerintahan Jokowi mencapai titik kritis politik.
[***]