SAAT saya menghadiri diskusi publik “RUU PNBP Lolos Rakyat Tambah Beban” (1/11), banyak hal yang baru terungkap dalam diskusi ini karena memang selama ini orang banyak yang tidak tahu tentang isi Rancangan Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (RUU PNBP) tersebut. Bahkan nampaknya cenderung “disembunyikan” lantaran pembahasan tentang rancangan undang-undang ini nyaris tidak terdengar, padahal isinya sangat berkaitan dan akan membebani rakyat banyak.
Seharusnya Rancangan Undang-Undang sepenting ini sudah ramai diberitakan untuk menjadi bahan diskusi dalam masyarakat karena sejatinya masyarakat itu sendiri yang akan terbebani atas diundangkannya Undang-Undang PNBP tersebut. Konon kabarnya bulan November ini atau awal Desember RUU PNBP tersebut sudah mau masuk ke pembahasan komisi. Demikian yang disampaikan Rieke Diah Pitaloka anggota Badan Legislasi DPR-RI yang tampil sebagai salah satu pembicara dalam diskusi tersebut.
Kebijakan Menteri Keuangan, Sri Mulyani untuk merevisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang penerimaan negara bukan pajak (PNBP), akan memberi dampak buruk bukan hanya kepada sektor ekonomi dan tekanan daya beli masyarakat, tapi juga berdampak buruk kepada aspek sosial dan moral.
Pasalnya pada rancangan UU ini pemerintah melakukan pungutan sektor pendidikan dan keagamaan serta yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar bagi warga negara.
Dalam bab penjelasan pasal 4 ayat 3 rancangan revisi UU tersebut diuraikan bahwa yang dimaksud administrasi dan kewarganegaraan antara lain meliputi pungutan pelayanan pencatatan nikah, cerai, dan rujuk, jelas Rieke D. Pitaloka ketika membacakan sebagian draft RUU PNBP tersebut.
Pada sektor pendidikan juga dipungut biaya misalnya saja biaya pendaftaran ujian penyaringan masuk perguruan tinggi, biaya uang ujian semester, biaya pelatihan dan biaya pengembangan teknologi, biaya pelatihan ketenagakerjaan, serta biaya pelatihan kepemimpinan.
“Kita kan sudah bayar pajak, harusnya tidak dikenakan beban lagi karena sudah kewajiban pemerintah memberi layanan. Lalu kemana uang pajak yang kita bayar kalau layanan publik masih dikenakan pungutan? Jadi pajak kita itu lari ke pembayaran pokok dan bunga hutang pemerintah yang begitu besar…” kata Ekonom Indonesia, DR. Rizal Ramli yang menjadi Keynote Speaker pada diskusi tersebut.
Lebih lanjut Rizal katakan, “Menteri Keuangan usulkan UU untuk pungut uang nikah, uang cerai… bahkan uang rujuk? Kemana uang pajak rakyat ?”
Rizal Ramli menganggap keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indarwati yang menyetujui anggaran pembangunan kompleks parlemen senilai Rp 6,7 triliun dinilai sebagai ‘barter’ untuk menggolkan revisi Undang-Undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Rizal juga mengkritisi sikap semua partai dan perwakilannya di DPR RI yang seakan tidak bergeming terkait hal tersebut. Padahal, melalui RUU PNBP itu, beban hidup rakyat akan segera makin berat dan terhimpit.
“Kami ingin bertanya DPR, anggota partai politik, partai politik ngapain aja selama ini? Kenapa tidak pernah berpihak kepada rakyat..”, kata Rizal saat mengakhiri penjelasannya. Rizal Ramli juga minta agar Presiden Joko Widodo membatalkan anggaran untuk proyek pembangunan DPR tersebut.
Memang benar, dari rancangan undang-undang itu sesungguhnya akan sangat memberatkan rakyat kecil. “Ada cara yang lebih cerdas ketimbang membuat aturan yang menyusahkan rakyat. Ada yang lebih besar potensi pendapatannya yang selama ini tidak tidak pernah dipikirkan dengan baik, yaitu dari sumber daya alam, dari ekspor batu bara, ekspor Migas, ekspor nikel, kasus Freeport, yang kalau kita benahi akan memberikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang sangat besar..”, jelas Salamudin Daeng seorang peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) yang juga tampil sebagai pembicara.
“Jika nanti UU PNBP disahkan DPR sesuai dengan naskah akademik yang disodorkan pemerintah, maka akan ada lebih dari 60 ribu pungutan yang dibebankan kepada rakyat dan pungutan itu belum termasuk pajak.”, jelas Sebastian Salang pengamat ekonomi dari FORMAPPI yang juga tampil sebagai pembicara dalam diskusi tersebut.
Pembahasan RUU yang terkesan sembunyi-sembunyi ini saya (penulis) coba tamsilkan dengan sesuatu yang tidak disukai oleh orang banyak pasti dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Apalagi soal PNBP ini adalah soal hajat hidup orang banyak dan seharusnya diketahui dan dipublikasikan kepada masyarakat saat pembahasannya. Pasti rakyat tidak setuju diberi tambahan beban dalam kehidupan sehari-harinya karena memang rakyat sudah bayar pajak.
Setelah mendengar seluruh pembicara yang ada dalam diskusi tersebut, pikiran saya melayang kepada situasi dan kondisi Argentina belasan tahun yang lalu. Khususnya pada jaman pemerintahan Presiden Raul Alfonsin yang memberlakukan Austerity Program (kebijakan potong-potong anggaran. Kebijakan Austerity…., Negara Butuh, Rakyat Mengeluh !!!).
Kebijakan Austerity ini akhirnya menyebabkan Presiden Raul Alfonsin jatuh dari kursi kepresidenannya sebelum waktunya. Setelah Raul Alfonsin jatuh maka dia digantikan oleh Carlos Saul Menem.
Peristiwa naas juga terjadi pada pemerintahan Presiden Carlos Saul Menem (1988-1999) yang menggantikan Raul Alfonsin dimana Carlos Menem melakukan betray (pengkhianatan/berbalik tidak sesuai janji pada saat kampanye) justru saat dia sudah terpilih menjadi Presiden.
Apa ucapan Carlos Menem saat kampanye ketika itu?, “For every Argentina, standing. For poor children who are hungry or who are sad, for our brothers without work. For the homes without a roof, for the tables without bread.., for our homeland. I ask you to follow me.., follow me…, I won’t betray you…, I won’t betray you… as God is my witness!”
Carlos Menem berjanji tidak akan berkhianat kepada orang miskin, kepada orang-orang lapar dan mereka yang tidak punya rumah. Dia minta rakyat percaya padanya.
Tapi apa yang terjadi setelah dia menjadi presiden Argentina? Ternyata dia telah berubah akan janjinya, Carlos Menem mengkhianati janjinya pada para buruh dan pekerja yang mendukungnya selama ini, dia khianati para orang miskin, dan dia kekang para penentang Imperialisme, dan kebijakan ekonominya di didikte oleh World Bank dan IMF.
Saat itu pemerintahan Carlos Menem melakukan privatization atau swastanisasi perusahaan atau badan usaha milik negara sesuai resep ekonomi World Bank dan IMF.
Seorang senator bernama Cavieroketika diwawancara wartawan senior Pino tentang betray(pengkhianatan) Carlos Menem atas janjinya pada rakyatnya mengatakan bahwa dalam kehidupan politik seperti tertera dalam sebuah buku kecil “In Praise of Treason”dikatakan bahwa pengkhianatan merupakan bagian dan satu paket dengan politik.
Dia katakan, “To succeed you have to lie. If you say what you think, no one will vote you. That’s what happened in Argentina.” (Untuk sukses anda harus berbohong. Jika engkau katakan apa yg kamu pikirkan tidak ada seorangpun yg akan pilih anda.).
Tentunya apa yang terjadi adalah sebuah kenyataan yang harus dihadapi, dan kita akui sebagai sebuah kenyataan, namun secara etik itu adalah politically unethical,jelas Senator Caviero.
Kenapa Carlos Saul Menem bisa seolah berkhianat atas janjinya saat kampanye?
Satu saja kuncinya…, Carlos Menem salah memilih Menteri Keuangannya !
Menteri Keuangan nya yang bernama DomingoCavallo dan digelari sebagai Super Finance Minister itu ternyata mempengaruhi Presiden Argentina untuk berpindah haluan dan pandangannya mengikuti faham neolib serta mengambil resep ekonomi IMF walaupun Carlos Menem ketika kampanye telah berjanji pada wong cilik. Kepada seluruh rakyat Argentina. Kepada seluruh Buruh dan Pekerja. Kepada seluruh orang miskin.
Di sinilah peranan Domingo Cavallo yang menjadi jongos IMF (International Monetary Fund) untuk mengambil kebijakan ekonomi yang tidak pro rakyat Argentina. Ternyata Domingo Cavallo adalah seorang Menteri Penjilat Presidennya sendiri yang merusak citra Carlos Menem karena dia punya agenda tersendiri.
Akhir penggalan cerita Argentina ini berujung kepada peristiwa yang menyedihkan dan kebangkrutan serta ekonomi Argentina yang menjadi kolaps (Economy Collaps)dan terjadinya Social Genocide kerusuhan sosial, kelaparan serta ekonomi yang morat-marit pada tahun 2004.
Orang miskin Argentina yang kelaparan serta hidup yang tak layak bertambah banyak dan menyebabkan kehidupan menjadi suram. Ini semua terjadi karena kebijakan Menteri Keuangan yang pro neo liberalisme. Sesungguhnya saya melamun ketika mendengar para pembicara lainnya dalam diskusi tersebut, lamunan melayang kepada sosok Domingo Cavallo.
Semoga saja cerita di Argentina ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.
Oleh Muhammad E. Irmansyah (ISDT-Institute for Studies and Development of Thought)