Artikel ini ditulis oleh M Rizal Fadillah, Pengamat Politik dan Kebangsaan.
Baru kali ini seorang Presiden yang akan mengakhiri masa jabatannya sibuk menyiapkan calon penggantinya. Sejak Presiden Soekarno hingga SBY tidak ada fenomena seperti ini. Jokowi lah yang nampaknya sangat peduli akan “masa depan bangsa”.
Kegagalan untuk menambah periode atau memperpanjang masa jabatan membawa pilihan memperpanjang kiprah melalui pejabat pilihan. Ini adalah indikasi dari pengelolaan negara yang dijalankan secara tidak sehat.
Presiden Jokowi bukan pemimpin yang bagus tetapi Presiden yang banyak masalah bahkan dapat disebut sumber dari masalah. Penyebab negara menjadi karut marut. Berpidato agar pemilu dan suksesi terjadi dengan adem tapi justru dirinya sendiri yang bakal membuat panas. Akibat ikut campur secara intensif dan masif.
Negara demokrasi adalah negara berkedaulatan rakyat. Penggantian kepemimpinan diserahkan penuh kepada keinginan rakyat. Meyakini bahwa hal itu sebagai kemauan dan pilihan terbaik.
Pada negara monarkhi penggantian ditentukan oleh Raja. Raja butuh kesinambungan baik lingkungan keluarga atau orang kepercayaan.
Jokowi memerankan diri sebagai Raja di negara demokrasi. Maka yang terjadi adalah ambivalensi. Aspirasi yang dimobilisasi melalui deklarasi, musyawarah rakyat, ijtima atau konsolidasi aparat birokrasi. Semua adalah kepalsuan seolah menjalankan demokrasi.
Diakhir jabatan berjuang untuk menutupi berbagai kelemahan termasuk korupsi dan kolusi dalam penyelenggaraan negara. Pemborosan atau kebocoran besar atas uang rakyat. Pendapatan yang selalu terbuang akibat salah kelola. Kantong bolong.
Dalam cerita wayang “Petruk Dadi Ratu” punakawan Petruk yang berhidung panjang berubah menjadi Raja yang berperilaku jauh dari watak negarawan. Ia bertindak sewenang-wenang dan menjadikan kekuasaan sebagai segala-galanya. Menimbun kekayaan, merampas hak-hak rakyat, berfoya-foya dan memboroskan uang negara. Petruk berubah menjadi Prabu Kantong Bolong.
Semar dan Gareng ditugasi untuk menyudahi kekuasaan Prabu Kantong Bolong. Keduanya menyamar dan masuk ke Istana lalu masuk ke ruang sang Prabu yang tertidur dengan tidak melepas mahkotanya. Gareng memukul kepalanya dan mahkota terlempar. Jamus Kalimasodo yang disembunyikan di dalam mahkota turut terlempar. Maka hilang kesaktian sang Prabu. Petruk kembali ke asalnya.
Petruk sadar atas bius kekuasaan selama ini lalu minta ampun kepada Batara Kresna “Ampun sinuhun, hamba hanya ingin tahu bagaimana rasanya menjadi Raja, dari dahulu menjadi wong cilik.. “. Batara Kresna menjawab “Menjadi Raja itu harus seorang negarawan”. Petruk memang tak patut menjadi Raja, ia hanya memikirkan diri dan kroni. Cari aman sendiri.
Prabu Kantong Bolong tidak perlu mendapat pengganti dan pelanjut. Dirinya tidak berguna bagi rakyat. Negara telah dirusak. Tidak perlu berfikir kesinambungan, ia bukan negarawan. Ia hanya Petruk sang punakawan. Wayang yang dimainkan dalang.
Pak Jokowi pernah membeli lukisan “Petruk Dadi Ratu” dengan harga milyaran. Dilukis oleh seniman Lekra PKI Joko Pekik. Moga ia belajar dari cerita itu. Semar dan Gareng menyudahi sang Prabu Kantong Bolong yang ambisius dan terlena dalam kekuasaan yang didapat dengan cara curang.
Jamus Kalimasodo adalah kekuatan kalimah syahadat yang disembunyikan dan terlempar diujung masa jabatan. Agama yang dicampakkan. Petruk tetap Petruk bukan Raja atau sang Prabu.
Kembali menjadi wong cilik itu lebih baik daripada ngotot untuk tetap berada di singgasana yang memang bukan tempat dan haknya.
Petruk bukan negarawan. Apalagi pahlawan. Ia hanya punakawan. Atau mungkin relawan. Kasihan.
Bandung, 2 Mei 2023
[***]