Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Tugas utama partai politik seharusnya memperkuat DPR sebagai lembaga legislatif pembuat undang-undang, dan mengawasi pemerintah, presiden dan jajarannya, agar selalu melaksanakan tugasnya sesuai undang-undang dan konstitusi yang berlaku.
Memang benar, partai politik mempunyai tugas “sampingan”, yaitu mengusulkan pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden.
Pada pilpres 2014 dan 2019, PDI Perjuangan (PDIP) mengusung Jokowi, dan berhasil membawa Jokowi menjadi presiden Indonesia dua periode.
Selain PDIP, ada enam partai politik lainnya yang tergabung dalam kabinet pemerintahan Jokowi 2019-2024, yaitu Golkar, PKB, Nasdem, PAN, PPP dan Gerindra.
Masalahnya, prestasi Jokowi selama dua periode terbilang sangat buruk. Jokowi gagal membawa Indonesia menjadi lebih baik dan sejahtera.
Pertama, Jokowi gagal memberantas kemiskinan. Jangankan memberantas, sekedar mengurangi kemiskinan saja gagal.
Tingkat kemiskinan selama 2014-2022 hanya turun 1,39 persen, dari 10,96 persen (2014) menjadi 9,57 persen (2022). Sedangkan tingkat kemiskinan 2019-2022 malah naik 0,35 persen, atau naik 1,57 juta orang, dari 24,79 juta orang (2019) menjadi 26,36 juta orang.
Kedua, Jokowi gagal memberantas korupsi. Indeks persepsi korupsi selama delapan tahun (2014-2022) stagnan di skor 34. Indeks persepsi korupsi 2019-2022 bahkan anjlok dari 40 menjadi 34. Semakin rendah indeks korupsi, semakin buruk.
Artinya, korupsi semakin menggila. Tindak pidana pencucian uang tidak terkendali. PPATK menyebut, uang judi ilegal mencapai Rp155 triliun, transaksi mencurigakan di Kemenkeu mencapai Rp349 triliun, dan melibatkan 491 pegawai Kemenkeu.
Kejahatan lingkungan dan tambang ilegal dibiarkan bertumbuh liar dan tidak terkendali.
Yang lebih memprihatinkan, Jokowi gagal menegakkan konstitusi, bahkan terindikasi melanggar konstitusi.
Misalnya, PERPPU No 1/2020 (PERPPU Korona), yang disahkan dengan UU No 2/2020, melanggar Pasal 23 UUD tentang keuangan negara, di mana APBN seharusnya ditetapkan dengan UU, bukan dengan Peraturan Presiden (Perpres).
Sebagai konsekuensi, APBN 2020, 2021 dan 2022 yang ditetapkan dengan Perpres menjadi tidak sah.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga melanggar konstitusi (bersyarat), sesuai Putusan MK. Tetapi pemerintah malah undangkan lagi melalui PERPPU Cipta Kerja.
Dan masih banyak peraturan dan undang-undang lainnya yang terindikasi melanggar konstitusi.
Kegagalan Jokowi menjadi kegagalan tujuh parpol “koalisi” pendukung pemerintah, khususnya PDIP sebagai parpol pendukung utama.
Sebagai konsekuensi, perolehanan suara PDIP, dan parpol pendukung Jokowi, akan anjlok pada pemilu mendatang.
Karena rakyat akan mengalihkan suaranya kepada parpol “non-pemerintah”, atau parpol baru yang mempunyai sikap antitesa pemerintah.
Untuk mengatasi dampak negatif ini, PDIP harus berani melakukan koreksi pada pilpres mendatang.
Misalnya dengan mendukung capres harapan rakyat, yang mempunyai visi dan misi berlawanan dengan kebijakan Jokowi yang selama ini terbukti gagal.
Nasdem sebagai partai pendukung Jokowi sudah meninggalkan Jokowi terlebih dahulu. Nasdem mencalonkan Anies Baswedan sebagai capres 2024, jauh sebelum Demokrat dan PKS, dua partai “oposisi” saat ini, memberi dukungan kepada Anies.
PDIP sepertinya baru tersadar, bahwa capres hasil pencitraan pasti gagal. Jokowi gagal. Dan capres pencitraan lainnya juga pasti gagal.
Kalau pemilu (pemilihan anggota DPR) tidak bersamaan dengan Pilpres, hampir dapat dipastikan perolehan suara PDIP dan partai politik pendukung akan jeblok, karena kegagalan Jokowi.
Pemilu serentak bisa menyelamatkan perolehan suara PDIP di DPR. Syaratnya, PDIP harus mengusung capres yang mampu mengatasi permasalahan bangsa dewasa ini. Antara lain, memberantas korupsi dan memberantas kemiskinan secara efektif.
Untuk itu, PDIP sempat bersuara, calon pemimpin yang akan datang harus kokoh secara ideologi, visioner, profesional, dan memahami kehendak rakyat.
Rizal Ramli adalah sedikit dari tokoh yang memenuhi kriteria tersebut. Seperti dikatakan Anies, Rizal Ramli tokoh yang konsisten perjuangkan keadilan.
Kalau pilpres bisa diikuti oleh setidaknya Anies Baswedan dan Rizal Ramli, maka siapapun yang menang merupakan kemenangan rakyat Indonesia.
[***]