Artikel ini ditulis oleh Syafril Sofjan, pemerhati kebijakan publik, aktivis pergerakan 77-78, Sekjen APPTNI.
Lembaga tinggi negara independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan amanah reformasi.
Sebelumnya, KPK merajalela, garang dan ditakuti para penyelenggara Negara sebagai pemberantas korupsi efektif. Sebagai lembaga yudikatif sebelumnya sangat dipercaya rakyat memberantas korupsi.
Pada era Jokowi, KPK dirusak secara sistematis melalui perubahan UU KPK. Perubahan UU KPK diputus secara terburu-buru melalui kolaborasi elit parlemen dan pungawa istana. Koruptor tepuk tangan.
Gelombang protes rakyat melalui demo menentang perubahan UU tersebut berakibat matinya tiga aktivis mahasiswa terbunuh oleh peluru dan kekerasan brutal aparat.
Tujuannya membungkam protes dan memuluskan UU KPK versi rezim Jokowi. KPK dilumpuhkan berada dibawa ketiak Presiden.
KPK enjadi jinak. Berubah sebagai Komisi Pembelaan Korupsi cabang eksekutif. Status semua pegawai menjadi ASN. Tunduk terhadap aturan Menteri.
Komisioner KPK walaupun dipilih “demokratis” diharuskan ikut rapat kabinet. Setara menteri pembantu yang diangkat Presiden. Ketatanegaraan yang diatur seenaknya.
KPK versi rezim Jokowi. Ketua pilihan Jokowi terkena tindakan pidana. Sekarang tertatih-tatih tak berdaya. Bahkan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, Presiden Jokowi dapat mempergunakan KPK sebagai alat penyandera. Lawan maupun kawan politik untuk tetap patuh terhadap kemauannya.
Baca Juga: Rencanakan Pertemuan dengan Jokowi dan Anies, Pramono Anung Klaim Ingin Belajar
Masyarakat hanya mampu menonton kebobrokan negeri. Kian parah. Para koruptor berpesta pora bisa hidup enak, dan nyaman. Asal patuh jadi sandera. Bahkan jika teledor sendiri kena tangkap dan ditahan.
Sebagai terdakwa masih bisa hidup layak. Berasyik masyuk pun disediakan. Diskon besar masa tahanan juga bisa didapat. Keluar tahanan. Masih punya kekayaan luar biasa. Masih bisa jadi caleg, cakada ataupun direksi/komisaris BUMN. Parah negeri ini.
Setelah KPK dilumpuhkan. Lalu bagaimana dengan korupsi keluarga Istana? Beberapa tahun lalu sudah ada laporan dugaann korupsi putra-putra Presiden Jokowi, yaitu Kaesang dan Gibran ke KPK. Dugaan kasus tindak pidana korupsi (money laundering) dari “dagang pengaruh” bapaknya, Jokowi.
Perusahaan Kaesang dan Gibran mendapat kucuran ratusan miliar dari konglomerat yang bermasalah merusak lingkungan dan dihukum denda triliunan. Mereka mendapat keringanan.
Konon di samping dapat kucuran dana besar untuk bisnis Kaesang dan Gibran, juga dapat partner bisnis sang putera konglomerat.
Presiden Jokowi “membalas budi/dagang hadiah” menunjuk sang konglomerat, tanpa pengalaman diplomat menjadi Dubes. KPK tak berdaya.
Laporan dugaan korupsi oleh akademisi Ubedilah Badrun terhadap anak-anak Istana “diabaikan”. Jika diusut dimungkinkan keterlibatan korupsi Jokowi terkuak.
Tidak berdayanya KPK. Anak-anak Istana berpesta. Putra bungsunya Kaesang naik privat jet yang punya hubungan bisnis di Solo, berulang kali ke Jepang dan Amerika.
Asyik masyuk wisata dan belanja barang mewah. Gratifikasi karena kakaknya sebagai walikota Solo serta sang bapaknya Jokowi Presiden Indonesia.
Lucunya KPK jadi tontonan masyarakat terhadap salah tingkahnya.
Sang menantu Bobby Nasution sebagai walikota Medan, mendapatkan gratifikasi menggunakan private jet dari perusahaan Medan terdaftar di Negara bebas pajak, konon pemilik juga punya bisnis judi online.
Walapun sudah jelas sebagai penyelenggara Negara di kota Medan tersebut. Terhadap Bobby Nasution, yang juga terlibat penyelundupan bijih nikel keluar negeri. KPK tetap salah tingkah tak berdaya.
Termasuk tak mampu mengusut “tambang hadiah” dikenal sebagai “Blok Medan”. Melibatkan baik sang menantu juga sang puteri Jokowi bernama Kahiyang Ayu. Tiba-tiba berbisnis tambang. Diduga juga berasal “dagang pengaruh” sang Raja Jawa.
Kondisi yang sangat merusak dan merugikan rakyat. KPK (Komisi Pembela Korupsi). Rakyat muak. Pengadilan rakyat bisa terjadi. Ingat Bangladesh. Perdana Menterinya diturunkan paksa.
Segera lakukan tindakan hukum terhadap Jokowi sekeluarga. Adili mereka. Patut mencontoh negara lain. Menghukum pemimpin negara yang korup secara tegas, tanpa pandang bulu.
Tindakan mengadili Presiden ini sebagai shock therapy. Sehingga kedepan Indonesia bisa bebas korupsi. Negara maju rakyat sejahtera.
[***]