Artikel ini ditulis oleh Hendri Satrio, Analis Komunikasi Politik, Ketua Umum Sepakbola Indonesia Juara (SIJ).
Polemik pro dan kontra kehadiran timnas Israel, sebuah negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia, menghangat dan membuat dunia sepak bola nasional kembali ditarik ke pu-saran politik.
Tidak mengherankan jika perhelatan Piala Dunia U-20 dengan anggaran Rp500 miliar yang rencananya digelar 20 Mei-11 Juni 2023 itu terancam batal digelar di Tanah Air dan Indonesia dibayang-bayangi ancaman sanksi FIFA. Padahal, dengan terpilihnya Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI, yang didukung oleh Presiden Joko Widodo, publik dan suporter timnas Garuda merindukan sepakbola nasional menjauh dari pusaran politik. Namun, belum satu bulan pusaran politik sepak bola nasional justru bertiup kencang.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang notabene partai pendukung Presiden Joko Widodo, termasuk yang menolak kedatangan Israel. Aksi penolakan PDIP tidak disangka- sangka publik. Menjadi tanda tanya besar, apa latar belakang ideologi yang membuat kader-kader pentolan partai yang identik dengan Bung Karno ini, seperti Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), I Wayan Koster (Gubernur Bali), elite DPD PDIP DKI Jakarta, DPD PDIP Jawa Barat, dan DPD PDIP Jawa Timur menyuarakan penolakan. Bisa dikatakan basis PDIP di kota-kota yang akan menggelar Piala Dunia U23, yakni Jakarta, Bandung, Solo, Palembang, Bali, dan Surabaya, menolak kehadiran timnas Israel.
Publik mungkin menerka latar belakang penolakan PDIP tidak terlepas dari sejarah di mana Bung Karno pada 1957 silam menolak dengan tegas timnas Indonesia bertanding dengan Israel. Padahal, ketika itu timnas sudah lolos ke babak kedua kualifikasi Piala Dunia 1958 dan berada satu grup dengan Israel, Sudan, dan Mesir.
Dalam peringatan Sumpah Pemuda di Istora Senayan, Bung Karno dengan lantang menyuarakan timnas Indonesia tidak akan pernah bermain sepakbola dengan Israel sampai Palestina merdeka dan sejarah mencatat Indonesia terus mendukung dan memperjuangkan kemerdekaan negara Palestina hingga kini.
Situasi geopolitik saat itu memang mengharuskan Bung Karno untuk mengambil sikap politik menentang Israel, karena di saat bersamaan Indonesia membutuhkan dukungan politik negara-negara Arab untuk merebut Papua di Sidang Umum PBB 1957. Di tengah pusaran politik PSSI waktu itu sudah mencoba berbagai skenario, seperti meminta agar pertandingan digelar di negara yang netral, namun ditolak oleh FIFA. Alhasil, Indonesia dikenai sanksi oleh FIFA.
Sejarah mencatat sejauh ini baru ada lima negara yang menolak melakukan pertandingan dengan timnas Israel. Selain Indonesia pada saat kualifikasi Piala Dunia 1958 dan Asian Games 1962, Pemerintah Mesir dan Turki juga menolak bertanding melawan timnas Israel, namun kejadiannya pada 1958, era di mana masih terjadi Perang Dingin. Pemerintah Iran juga pernah menolak. Argentina pun menolak, tapi saat itu hanya pertandingan uji coba pada 2018.
Kini, meski Perang Dingin sudah berakhir dan peta geopolitik sudah jauh berubah, namun, konstelasi politik menjelang Pemilu 2024 justru membuat sepak bola nasional terseret dalam pusaran politik. Apalagi, kekuatan-kekuatan politik utama Presiden Jokowi justru menjadi penolak kehadiran timnas Israel, ditambah kekuatan politik lain seperti Partai Keadilan Sejahtera ataupun organisasi kemasyaratan dan keagamaan, yakni PP Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, Persaudaraan Alumni 212, BDS Indonesia (boycott, divestment, and sanction), Mer-C, Aqsa Working Group, KISDI, Aliansi Solo Raya, PP KAMMI, dan tokoh-tokoh seperti KH Said Aqil Siradj.
Sementara itu, kubu yang tidak mempermasalahkan adalah Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf dan Partai Solidaritas Indonesia. Di sisi lain, Dubes Palestina untuk Indonesia Zuhair Al-Shun tampak bisa memaklumi pikiran rakyat Indonesia dengan menyatakan Palestina tidak keberatan bila Pemerintah Indonesia mengizinkan Israel tetap bertanding di Tanah Air dan Palestina tidak meragukan komitmen dan dukungan pemerintah dan rakyat Indonesia terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Pusaran Politik Jokowi
Aksi PDIP menolak kehadiran timnas Israel hanya karena Bung Karno pernah melakukannya justru membawa posisi Presiden Jokowi berada dalam posisi sulit dan berada dalam pusaran politik yang berat. Apa pun keputusan politik yang diambil Presiden Joko Widodo pasti ada konsekuensi-konsekuensi politik di belakangnya.
Jika Presiden Jokowi mengakomodasi kubu yang menentang kehadiran timnas Israel, Indonesia berpotensi mendapat sanksi dari FIFA dan tidak akan dipercaya lagi menjadi tuan rumah kompetisi sepak bola internasional. Selain itu, hubungan diplomasi Indonesia dengan Amerika Serikat dan pendukungnya akan terganggu.
Kerugian akibat sanksi FIFA akan sangat mengganggu perkembangan sepak bola dan timnas Indonesia yang sedang dalam tren perbaikan. Kita tentu saja masih ingat sanksi FIFA 30 Mei 2015 akibat intervensi pemerintah ke PSSI, yang membuat timnas tidak bisa ikut ajang sepak bola internasional, baik Kualifikasi Piala Dunia 2018 maupun Kualifikasi Piala Asia 2019 hingga merembet ke timnas U-19 dan timnas U-16. Akibatnya, peringkat Indonesia melorot tajam dari posisi 164 sesaat sebelum sanksi (Juli 2015) ke menjadi peringkat 174 (Oktober 2015). Sebaliknya, pusaran politik akan berat dihadapi Presiden Jokowi jika tetap menerima kehadiran timnas Israel. Jokowi akan “dimusuhi” oleh PDIP, karena sebagai petugas partai, malah sikap dan keputusan politiknya bertentangan dengan garis politik PDIP. Belum lagi Jokowi akan kehilangan simpati dari para pengikut dan simpatisan Bung Karno.
Jokowi juga akan menghadapi pusaran protes, bahkan perlawanan, dari kelompok-kelompok kepentingan yang menolak kehadiran timnas Israel.
Skenario Dalam hal ini, saya melihat ada baiknya Pemerintah Indonesia mengirim surat resmi kepada FIFA mengenai konstitusi Indonesia dan sikap politik rakyat Indonesia. Dengan adanya pertimbangan-pertimbangan konstitusi di dalam surat tersebut Pemerintah Indonesia bisa meminta kelonggaran terhadap FIFA, apakah perhelatan pertandingan bisa digelar di kota atau negara yang netral atau pertandingan bersifat tertutup.
Langkah ini juga disertai pernyataan sikap resmi dan tegas bahwa Indonesia terus mendukung kemerdekaan rakyat Palestina sebagaimana diamanat kan UUD 1945. Dalam hal ini, Kementerian Luar Negeri harus membuat corong suara yang keras dan lantang. Di sisi lain, pemerintah juga bisa mengakomodasi aspirasi sebagian kelompok masyarakat yang simpati dengan perjuangan rakyat Palestina, misalkan dengan mengizinkan demo, namun di lokasi-lokasi tertentu yang telah ditentukan dan tidak berdekatan dengan stadion tempat bertanding.
Sepak bola memang seharusnya tidak dicampurkan dengan politik, sebagaimana anggaran dasar FIFA. Namun, FIFA sebagai penyelenggara dan pemilik event pun pernah “mencampurkan sepak bola dengan politik ketika FIFA melarang dan mencoret Rusia ikut serta dalam Piala Dunia 2022, karena alasan invasi Rusia terhadap Ukraina. Melihat preseden ini, justru FIFA-lah yang bisa mengambil keputusan terhadap para negara yang menjadi anggotanya, sementara Pemerintah Indonesia sebagai tuan rumah hanya menjalankan amanat FIFA untuk menggelar perhelatan tersebut agar sukses menjadi tuan rumah yang baik.
Pemerintah dan PSSI harus memastikan seluruh tahapan pelaksanaan Piala Dunia U-23 berjalan sesuai jadwal. Pemerintah dan PSSI juga harus mengantisipasi jika seandainya timnas berada dalam satu grup dengan timnas Israel. Akan muncul penolakan besar-besaran dan pemerintah harus memiliki strategi yang tepat.
Yang jelas, seperti kata Bung Karno, internasionalisme dan nasionalisme harus berdampingan, tapi kepentingan nasional harus lebih diutamakan. Sikap frontal Bung Karno yang menolak timnas Israel 66 tahun silam dilakukan sepenuhnya demi kepentingan nasional, merebut kembali Papua. Saat inisikap penolakan, bila dilakukan pemerintah, malah justru merugikan Indonesia, khusus nya sepak bola nasional.
Pemerintah harus aktif membuka dialog terhadap elemen-elemen yang menolak kehadiran timnas Israel, berkomunikasi dengan FIFA, agar kepentingan memajukan sepak bola nasional tidak terpinggirkan. Pasalnya, hingga kini, koordinasi siapa menteri yang menangani isu ini tidak ada sama sekali. Komunikasi dan koordinasi antar kementerian untuk merespons isu politis ini juga harus dilakukan. Jangan sampai ada berita simpang siur dan PSSI pun “kebingungan” merespons isunya.
[***]