Kalangan kelas menengah atas ini cenderung menilai, Jokowi belum mampu menunjukkan prestasi atau keberhasilan sesuai janji kampanye. Satu janji paling menjadi perhatian kelas menengah atas, yakni “tidak akan utang lagi”. Saat kampanye Tim Ekonomi Jokowi-JK berjanji, takkan pernah berutang lagi.
“Kita mau mandiri, sehingga segala bentuk proses pembangunan pendidikan, infrastruktur harus menggunakan dana sendiri. Jokowi-JK menolak bentuk utang baru, supaya bisa mengurangi beban utang setiap tahun”, ujar Tim Jokiwi-JK, Tjahyo Kumolo di Gedung DPR, 3 Juni 2104 lalu.
Faktanya, utang Pemerintah malah semakin menumpuk. Bahkan, utang ke Cina bertambah berlipat ganda.
Sebuah sumber portal medsos melaporkan, data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan RI. Per akhir April 2017, total utang Pemerintah tercatat Rp3.667,41 triliun. Dalam sebulan, utang ini naik Rp17 triliun, dibandingkan Maret 2017 (Rp3.649,75 triliun).
Dalam denominasi dolar AS, utang Pemerintah, April 2017, US$275,19 miliar, naik dari posisi akhir Maret 2017 sebesar US$273,98 miliar. Sebagian besar utang Pemerintah dalam bentuk surat utang atau Surat Berharga Negara (SBN).
Sampai April 2017, nilai penerbitan SBN Rp2.932,69 triliun, naik dari akhir Maret 2017 (Rp2.912,84 triliun). Sementara itu, pinjaman (baik bilateral maupun multilateral) tercatat Rp734,71 triliun, turun dari Maret 2017 sebesar Rp738,2 triliun.
Bahkan, Jokowi tak konsisten dan konsekuen atas ucapannya. Pidato Jokowi di KAA lantang menegaskan, tidak boleh bergantung kepada lembaga donor, seperti Bank Dunia, IMF, dan ADB. Fakta, pemerintahan Jokowi akan berutang Rp32,5 triliun kepada Bank Dunia.
Pencairan utang ini bagian dari kesepakatan Bank Dunia dengan pemerintah Indonesia, Mei lalu. Utang dari Bank Dunia ini akan dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan pembangunan SDM.
Dari kriteria janji kampanye, adalah layak kelas menengah atas belum melihat prestasi Jokowi urus pemerintahan dan rakyat RI. Belum ada data, fakta, dan angka signifikan dapat disajikan, Jokowi sudah merealisir atau melaksanakan janji konsisten dan konsekuen.
Agar Jokowi tidak kehilangan dukungan dari kelas menengah atas, harus mampu dan berhasil memenuhi puluhan janji. Adalah mustahil Jokowi mampu dan berhasil memenuhi 100 persen janji.
Hasil realisasi janji harus dipublikasikan, sehingga persepsi publik kelas menengah atas perkotaan ini menjadi positif dan pada gilirannya bersikap positif terhadap Jokowi Pilpres 2019 mendatang.
Jika tidak bisa dibuktikan realisasi janji, bagaimanapun kesalahan atau kelemahan Jokowi inkar janji ini dapat digunakan atau dimanfaatkan sebagai “peluru perang udara” kekuatan oposisi untuk menggerus elektabilitas Jokowi.
Harus ada klarifikasi dan pertanggungan jawab ke publik dari Jokowi, mengapa janji kampanye tidak ditepati atau dipenuhi?
Dengan perkataan lain, sesuai tradisi demokrasi sejati, harus ada akuntabilitas publik dari Jokowi terkait masalah janji-janji kampanye dimaksud.
Satu janji Jokowi membuat persepsi negatif dan cenderung tidak puas klas menengah dan kaum terpelajar khususnya, yakni “tidak menaikkan harga BBM”. Faktanya? Belum genap 100 hari Jokowi jadi Presiden, sudah menaikan harga BBM.
Akibatnya, sebuah lembaga survei menunjukkan, kepuasan publik terhadap Jokowi merosot drastis hanya mencapai 44,94 persen. Sejak Oktober 2014, Jokowi minimal enam kali melakukan kenaikan harga BBM.
Kelas menengah umumnya menggunakan kenderaan pribadi dan sangat dirugikan dengan kenaikan harga BBM. Akibatnya, mereka kian tidak puas terhadap Jokowi. Bukannya prestasi yang mereka lihat, malah kenaikan harga BBM sebagai inkar janji.
Jokowi berjanji akan mencapai pertumbuhan minimal 8 persen. Namun, fakta gagal, hanya mampu sekitar 5 persen. Hal ini semakin mendorong kelas menengah atas menilai, Ahok tak mampu dan gagal urus pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, bisa jadi, memperkuat penolakkan Jokowi lanjut sebagai Presiden melalui Pilpres 2019 mendatang.
Sebagai pemilih cenderung rasional dan punya referensi tentang keberhasilan dan kegagalan Jokowi memenuhi janji kampanye dan juga program kerja tertuang pada RPJMN, kelas menengah atas perkotaan menjadi faktor mempengaruhi merosotnya elektabilitas Jokowi. Pada gilirannya membantu kegagalan memenangkan perebutan kekuasaan Pilpres 2019.