KedaiPena.Com – Belum lama ini, Presiden Jokowi menyampaikan keprihatinan atas besarnya impor baja yang masuk ke Indonesia. Baja, kata Jokowi, masuk urutan ketiga terbesar dalam daftar impor. Besarnya jumlah impor baja itu tidak bisa dibiarkan sebab disamping merugikan industri baja nasional, juga memicu defisit transaksi berjalan.
“Ini tentu saja menjadi salah satu sumber utama defisit. Defisit transaksi berjalan kita. Apalagi baja impor tersebut, kita sudah bisa produksi di dalam negeri,” tegas Presiden Jokowi saat membuka rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden.
Sejumlah media massa nasional, memberi judul yang beragaman atas pernyataan presiden itu. Ada yang menulis Jokowi kesal, Jokowi dongkol, Jokowi bingung, Presiden prihatin, serta judul-judul lain, yang secara umum memberi kita lukisan tentang persoalan dalam sistem impor kita dan tata pengelolaan industri baja nasional, yang daya tekannya terhadap transaksi berjalan cukup signifikan.
Jauh sebelum Presiden Jokowi menyampaikan keprihatinan, atau rasa kesal, atas besarnya impor baja ini, ekonom senior Rizal Ramli sesungguhnya sudah memberi peringatan. Lonjakan impor baja, kata Rizal, tidak saja membuat defisit transaksi berjalan kian melebar, tapi juga menyulitkan industri baja nasional. Jika sudah sulit, kenaikan pengangguran serta masalah sosial yang mengikutinya, tinggal menunggu giliran. Karena itu, kata Rizal, harus ada terobosan yang memadai.
Terobosan itulah yang diuraikan Rizal Ramli kepada para wartawan dari berbagai media massa pada hari Sabtu 6 Oktober 2018. Mantan Menteri Kordinator Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu mengusulkan sejumlah langkah yang bisa ditempuh tim ekonomi kita.
Pertama, memanfaatkan kedekatan kita dengan Cina, demi melobi pemimpin negara itu. Poin kita jelas. Kurangi ekspor baja mereka ke sini. Dan perlu disampaikan secara tegas bahwa kalau ekonomi Indonesia sempoyongan,
mereka akan getah juga. Dan jika cara negosiasi itu seperti memukul angin alias sia-sia belaka, harus pikirkan cara lain yang lebih bergigi.
Kedua, cara lain itu adalah kebijakan anti dumping. Rizal mengusulkan agar Indonesia menetapkan tarif bea masuk 25% untuk impor baja dan segala turunannya. Langkah itu, lanjut Rizal, sangat beralasan lantaran di negeri asalnya, para importir baja mendapat keringanan pajak. Mereka bahkan sudah mendapat tax rebate 10 % dari pemerintah.
Dengan tarif bea masuk 25% itu, lanjut Rizal, pasar akan kembali sehat. Harga jadi kompetitif. Ekonomis bagi industri baja dalam negeri. “Mereka bisa bersaing, produksi bisa naik, dan tentu saja bisa membukukan keuntungan,” katanya. Usulan terobosan Rizal satu setengah tahun silam itu, bisa Anda baca di tautan ini.
Entah lantaran tak kunjung ditempuh langkah terobosan yang signifikan dalam impor baja ini, sejumlah industri baja dalam negeri kemudian dikabarkan kesulitan. Pada Februari 2019, ramai diberitakan perusahaan seperti Krakatau Steel akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) demi menyelamatkan keuangan perusahaan. Tentu saja kabar ini menggetirkan. Krakatau Steel, adalah pabrik baja terbesar yang pernah kita miliki, serta mencatat jejak gemilang dalam sejarah pembangunan bangsa.
Kabar tentang rencana PHK itulah yang memantik ribuan buruh Krakatau Steel, pada Selasa 7 Februari 2019, bergerak ke jalan. Berunjuk rasa, menolak rencana yang menurut mereka tidak saja mengancam periuk nasi, tapi sekaligus membuat masa depan keluarga mereka menjadi gelap. Aksi unjuk rasa ribuan buruh itu bisa dibaca pada tautan ini.
Demonstrasi ribuan buruh itu diberitakan banyak media; online, koran, dan televisi. Pada sebuah diskusi di stasiun televisi swasta, Direktur Utama PT Krakatau Steel, Silmy Karim, menyampaikan upaya untuk melakukan restukturisasi dan pentingnya pasar yang fair dalam bisnis baja. Kalau ada upaya mengelabui bea masuk dan tax rebate di negeri asal importir, “Bagaimana kita bisa bersaing,” kata Hilmy.
Rizal Ramli yang juga hadir pada acara diskusi yang sama menegaskan bahwa upaya restukturisasi itu memang penting, tapi itu hanya temporary solution. Yang juga sangat menentukan, lanjut Rizal, adalah terobosan pada level kebijakan, yang posisi dan dayanya di atas solusi level korporasi itu.
Laju pertumbuhan ekonomi Cina yang menurun, lanjut Rizal, menyebabkan ekses kapasitas dalam produk baja di negeri itu. Dengan sistem dumping mereka bisa menjual murah kepada negara importir.
Pada diskusi yang disiarkan secara langsung itu, Rizal kembali mengingatkan usulan dia setahun sebelumnya. Bahwa pemerintah Indonesia harus melobi pimpinan Cina. Atau menetapkan tarif anti dumping 25%.
“Dengan cara itu baja lokal jadi kompetitif, dan tidak justru kelimpungan di tengah pembangunan infrastuktur yang memang bagus ini,” kata Rizal.
Menata kembali keran impor kita, lanjut Rizal, bukan bukan saja menolong industri tapi juga menekan defisit transaksi berjalan. Dalam siaran pers, yang dipublikasi sejumlah media 5 Juli 2019, Rizal mengkritik keras kebijakan tim ekonomi pemerintah yang punya nyali mengurangi impor barang-barang kecil seperti bedak dan lipstik, yang nyaris tidak punya daya tekan terhadap defisit transaksi berjalan.
“Kenapa tidak fokus kepada yang besar-besar seperti baja dan turunannya itu,” tegas Rizal.
Meski agak terlambat, keberanian Presiden Jokowi untuk tidak membiarkan negeri ini terus-terusan impor baja dalam jumlah besar, dinilai baik oleh Rizal Ramli.
“Memang dibutuhkan langkah terobosan yang berani dari pemerintah kita,” katanya.
Laporan: Muhammad Hafidh