Artikel ini ditulis oleh Dr KRMT Roy Suryo, Peserta Aksi “Jogja Memanggil” di UII (14/03/24) dan UGM (12/03/2024), Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen.
Saya memang bukan mahasiswa apalagi lulusan UII (Universitas Islam Indonesia), sehingga tidak perlu harus repot-repot membuat “Ijazah” atau “Foto Wisuda” menggunakan foto orang lain sebagaimana yang sampai sekarang masih diperbincangkan sampai di level pengadilan itu. Namun sebagai warga asli Jogja, tentu nama UII bukan merupakan Kampus yang asing. Perguruan Tinggi yang usianya bahkan 4.5th lebih dahulu dari UGM ini (UII didirikan 8/7/1945 dan UGM 19/12/1949) tidak bisa dilepaskan dari dinamika dan demokrasi kota budaya ini.
Apalagi -de facto- UII memiliki sebuah radio kampus yang sampai sekarang masih bersiaran menjadi Radio Swasta Nasional “Unisi” yang merupakan akronim dari UII, dulu awalnya Studio di Kampus UII Cik Ditiro, kemudian di kawasan Pasar Kembang Malioboro dan kini di Demangan Baru. Saat di Pasar Kembang itulah sempat aktif di Organisasi off-airnya, “Dionisi Family” saat tahun 1983 sampai dengan 1990, jadi masih bolehlah disebut “Anggota Keluarga besar UII” selain Peserta Forum Cik Ditiro.
Namun kegiatan “UII Memanggil” yang dilaksanakan di Auditorium Prof KH Abdul Kahar Muzakkir Kamis, 14/03/24 Jam 14.14.14 tepat, yang mengusung tema “Selamatkan Demokrasi Indonesia” memang patut diapresiasi sebagai Ajakan Simpatik Civitas Akademika Kampus Senior ini. Apalagi dipimpin langsung oleh Rektor sendiri, Prof Fathul Wahid ST MSc PhD yang tidak hanya membacakan poin-poin tuntutan resmi aksi siang tadi, tetapi juga beliaulah yang menyemprotkan sendiri cat pilox untuk membuat tulisan (grafitty) “Demokrasi” di keranda yang dipajan sebagai properti aksi.
Diawali dengan pembacaan orasi-orasi antara lain oleh Prof Adink Masduki, kemudian dosen-dosen internal UII, baik yang senior maupun junior. Aksi yang diikuti sekitar 300-an Civitas Akademika ini memajang keranda bertuliskan “Demokrasi” sebagai wujud matinya demokrasi di Indonesia. Orasi yang disampaikan rata-rata memang menyoroti kemunduran total demokrasi negeri ini, sampai bisa dibilang “mati” di era Rezim saat ini. Praktis semua sarana untuk menyampaikan aspirasi dan ruang diskusi sudah terkunci, ibarat hidup di antara zombie.
Dalam naskah resmi yang dibacakan langsung dan ditandatangani oleh Rektor UII, disebutkan bahwa sejak awal rezim ini, telah muncul tanda-tanda kematian demokrasi. Penciptaan segregasi sosial semenjak 2014 hingga sekarang dengan label “kadrun & kampret” terbukti menjadi sarana ampuh untuk melumpuhkan sarana demokrasi. KPK dikebiri, pengkritik pemerintah dibawa ke meja hijau bahkan dijebloskan ke balik jeruji besi, aktor masyarakat sipil dibayar menjadi buzzer dan loyalis sok sejati.
Upaya membunuh demokrasi lainnya adalah “main kasar institusional” dengan cara Amandemen UU KPK, UU Minerba, UU MK, Pengesahan UU Ciptaker yang seakan-akan konstitusional, padahal sesungguhnya sangat manipulatif. Kasarnya permainan dilanjutkan dengan memunculkan gagasan 3 Periode, perpanjangan jabatan tanpa Pemilu hingga intervensi Keputusan MK yang sangat kontroversial, cacat moral dan etika. Di awal Pemilu 2024 tampak damai, namun sebenarnya terjadi Permainan Elite tertentu dengan oligarki untuk melanggengkan kekuasaan rezim sesuai dengan yang dia harapkan selama ini sebelumnya, karena demokrasi telah (di)ambruk(kan) dari semua lini.
Secara rinci tujuh poin Tuntutan Aksi “UII Memanggil” siang tadi adalah (1) Menuntut seluruh penyelenggara negara utk menjunjung tinggi etika berbangsa & bernegara, menghormati hak kebebasan warganegara & mengembalikan prinsip independensi peradilan. (2) Mengingatkan pejabat negara bahwa mereka memiliki tugas konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa & tercapainya masyarakat sejahtera, adil & makmur. (3) Mendorong Partai Politik untuk menjaga independensinya sehingga berdaya untuk menjunjung tinggi kedaulatan rakyat & mampu membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat & bernegara.
Selain itu, (4) Mendesak partai politik yang kalah dalam Pilpres 2024 ini untuk berperan menjadi oposisi penyeimbang yang berpegang teguh pada etika berbangsa bernegara dan menjunjung tinggi Konstitusi dan HAM dengan menggunakan Hak Angket dan mencari langkah Hukum dan Politik lainnya sebagai penghukuman terhadap Presiden Jkw yang terbukti mengkhianati Reformasi 1998 dan telah melakukan praktik korupsi kekuasaan secara terbuka. (5) Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk kembali sadar dengan memboikot partai politik yang menjelma menjadi penghambat kekuasaan dan uang serta terang-terangan mengkhianati tugas utamanya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
Selanjutnya (6) Meminta lembaga-lembaga negara sesuai tugasnya seperti KPU, Bawaslu, DKPP dan Ombudsman RI untuk mengusut semua kecurangan pemilu, termasuk yang dilakukan Presiden Jkw sebelum, ketika, dan sesudah pemungutan suara. Pemilu harus menjadi sarana menghasilkan pemerintahan yang sah (legitimate).
Terakhir (7) Menyerukan kepada khusus masyarakat sipil utk melakukan pembangkangan sipil dan menolak menjadi bagian kekuasaan yang timbul dari berbagai muslihat tuna etika. Secara khusus kami menyerukan para tokoh nasional untuk bersatu dan membuat oposisi permanen melawan rezim politik dinasti yang menjadi predator pemangsa dan pembunuh demokrasi Indonesia.
Kesimpulannya, aksi “Selamatkan Demokrasi Indonesia” ini memang penting harus terus digelorakan di kampus-kampus seluruh Indonesia, agar daya nalar dan kewarasan berpikir masyarakat tidak menjadi sesat dan tuna etika sebagaimana yang ditunjukkan oleh rezim penguasa saat ini. Mungkin memang masyarakat masih ada yang belum tersadar bahwa gerakan moral dari kampus-kampus sebagai Benteng Penjaga Demokrasi begini adalah penting, apalagi bagi pihak-pihak yang menafikan pemikiran para Guru Besar, Profesor, Doktor, Master, Sarjana dan Mahasiswa progresif begini. Selain di UII hari ini, aksi yang sama juga berlangsung di UI Salemba dan InsyaaAllah kampus-kampus lain di seluruh Indonesia.
At last but not least, menyongsong Indonesia Emas 2045, masyarakat harus tetap semangat mendobrak semua ketidakbenaran yang dilakukan oleh rezim begini. Vox Populi Vox Dei, suara rakyat (termasuk dari Kampus) harus dihargai sebagai penyampai kehendak Ilahi. Setiap usaha demi kemaslahatan bangsa pasti akan ada hasilnya, sedangkan yang bathil pasti akan juga menemui ganjarannya. Maju terus akal sehat dan kewarasan Indonesia, jangan pernah lelah dan putus asa dalam berjuang karena perjuangan memang panjang namun jangan takut, Gusti Allah SWT mBoten Sare.
[***]