KedaiPena.Com – Kasus mafia minyak goreng memasuki babak baru. Kejaksaan Agung menetapkan tersangka dari tiga perusahaan, yakni PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Pelita Agung Agrindustri (Permata Hijau Group) dan PT Musim Mas.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, dalam kasus kejahatan korporasi, sanksi ditujukan ke orang atau pelaku dan juga juga ke badan hukumnya.
“Hukum semakin berkembang, terutama di ranah internasional. Teori dan praktik tentang ‘corporate crime‘ atau kejahatan korporasi, baik dalam bidang HAM, hukum lingkungan & tipikor semakin beragam. Dalam kasus kejahatan korporasi, sanksinya misalnya, bisa dengan cabut perizinan usahanya hingga ke pembubaran,” ujar Jimly saat dihubungi Kedai Pena, ditulis Jumat (22/4/2022).
Dalil kejahatan korporasi, sambung Jimly, sudah banyak dipraktikkan sejak tahun 1955 dengan UU No.7/drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
“Ada juga produk hukum lain seperti UU No.11/Pnps/1964 tentang Subversi, UU No.41/1999 tentang Kehutanan, UU No.38/2004 tentang Jalan, UU 16/2009 tentang Perpajakan, dan UU 31/1999 jo UU 21/2002 tentang Pemberantasan Tipikor dan seterusnya. Putusan pengadilannya sudah banyak, bisa dicek datanya di website MA,” lanjut Jimly.
Yang dapat dikenakan sanksi, imbuh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Iini, bisa orangnya yaitu pribadi pengurus dan karyawannya yang memanfaatkan korporasi untuk kepentingan pribadinya.
“Tapi bisa juga kejahatan dilakukan atas nama korporasinya atau untuk keuntungan korporasinya, misalnya pencemaran lingkungan, penggelapan pajak, manipulasi data di pasar modal, maka korporasinya dapat dijatuhi sanksi, misalnya dicabut izinnya atau dilikuidasi atau dibubarkan,” tandas Jimly.
Untuk diketahui, ada 88 perusahaan yang dipantau selama melakukan kegiatan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya selama Januari 2021 sampai Maret 2022.
Saat ini ada tiga perusahaan yang diusut oleh penyidik kejaksaan karena diduga melanggar hukum. Ketiganya adalah PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Pelita Agung Agrindustri (Permata Hijau Group) dan PT Musim Mas.
Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus Febrie Adriansyah menyebut terbuka peluang bertambahnya tersangka dalam perkara itu terbuka.
“88 (perusahaan) itu yang kita cek, bener enggak ekspor itu dikeluarkan dia telah memenuhi DMO (domestic market obligation) di pasaran domestik. Kalau dia enggak (memenuhi kewajiban), ya bisa tersangka dia,” kata dia kepada wartawan, Rabu (20/4/2022).
Febrie mengatakan bahwa perusahaan yang mendapat persetujuan ekspor dari pihak Kementerian Perdagangan seharusnya memenuhi kewajiban DMO sebesar 20 persen.
Ia mengatakan bahwa syarat harus dilakukan untuk menghindari kelangkaan minyak goreng di pasaran domestik. Namun, jaksa menelisik dugaan pelanggaran hukum dalam penyaluran minyak itu.
“Ini kan terjawab nih, kenapa kosong? Karena ternyata di atas kertas dia mengakui sudah memenuhi kewajiban DMO-nya, sehingga diekspor, di lapangannya dia enggak keluarkan ke masyarakat,” jelas dia.
Diketahui, kasus ini ditelisik jaksa sejak Januari 2021 hingga Maret 2022. Kala itu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengambil kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) agar perusahaan yang mengekspor komoditas itu dapat diatur alokasinya untuk kebutuhan dalam negeri.
Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Harga Eceran Tertinggi (HET) terhadap penjualan minyak goreng di tengah masyarakat.
Ada empat tersangka yang ditetapkan polisi. Mereka ialah Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor.
Kemudian, Senior Manager Corporate Affairs PT Pelita Agung Agrindustri/Permata Hijau Group, Stanley MA; dan General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas, Picare Tagore Sitanggang sebagai tersangka.
Perkara berkaitan dengan penerbitkan izin ekspor oleh Kementerian Perdagangan kepada para pengusaha dengan melakukan perbuatan hukum.
“Telah ditemukan indikasi kuat bahwa perbuatan tindak pidana korupsi terkait pemberian persetujuan ekspor minyak goreng telah membuat masyarakat luas khususnya masyarakat kecil susah,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Laporan: Muhammad Lutfi