KedaiPena.com – Sidang Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) yang memutuskan menolak gugatan pemohon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud seluruhnya, meninggalkan beberapa hal aneh, yang berpotensi mendorong masyarakat untuk bergerak mencari keadilan melalui Pengadilan Rakyat.
Pengamat Politik Muslim Arbi menyatakan sejak awal dirinya sudah merasa pesimis saat sengket Pilpres dibawa ke Mahkamah Konstitusi.
“Mengapa saya pesimis? Karena sejak MK dipimpin oleh Anwar Usman maupun dipimpin oleh Suhartoyo, MK tidak berubah,” kata Muslim, Rabu (24/4/2024).
Alasan pertama, menurutnya, Anwar Usman yang sudah dipecat oleh MKMK dan telah melanggar kode etik masih tetap bercokol sebagai Hakim di MK.
“Kedua, sejumlah gugatan yang oleh para penggugat, baik soal batas bawah umur, cawapres dan batas atas usia Capres ditolak oleh MK. Menurut saya sikap MK ini aneh. Terlihat MK ikutan bermain dalam usia cawapres yang sudah diputuskan dalam putusan No 90 MK, yang kontroversial, cacat hukum, langgar norma, langgar konstitusi dan melanggar UU,” ungkapnya.
Ia juga melihat, sebagai alasan ketiga, MK tak mau mengambil risiko, terutama risiko pemecatan posisi Ketua MK.
“Putusan jalan terus. Dan MK pada sidang Sengketa Pilpres bela keputusannya yang bernomor 90. Meski itu salah dari sisi norma, lawan konstitusi dan UU sekalipun,” ungkapnya lagi.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti sikap Ketua MK Suhartoyo yang terlihat garang dan sangar di awal, tapi ujung-ujungnya leroy.
“Awalnya seolah memberi harapan, akhirnya menyerah pada politik dinasti. Apa beda ketua MK Suhartoyo dengan Paman Usman? Sikap Suhartoyo ini aneh dan hanya membuat MK menjadi sampah pencari keadilan dan kebenaran. Apalagi kebenaran diuji dengan voting 5 – 3. Rakyat dikalahkan oleh Keputusan Istana,” kata Muslim Arbi.
Ia mengungkapkan ada isu kuat, bahwa Hakim Suhartoyo tersandera kasus saat menjabat sebagai Hakim di MA.
“Jika benar demikian, dari naluri publik dan akal sehat rakyat pemilik kedaulatan berpendapat. MK tersandera oleh kekuatan jahat kekuasaan,” tuturnya.
Hal lainnya, yang dinilai janggal olehnya, adalah hanya empat hakim yang aktif saat Sidang Sengketa Pilpres.
“Bisa jadi empat hakim itu hanya menunggu voting. Dapat diduga empat Hakim itu membawa misi Istana. Dari sisi hitung-hitungan, Istana sudah punya empat hakim yang nongol sebagai ornament. Tinggal tunggu voting ditambah satu Hakim tersandera kasus. Lalu menjadi 5:3. Skornya, Istana dimenangkan atas gugatan rakyat,” tuturnya lagi.
Atas putusan yang baru saja diumumkan, Muslim Arbi menilai hakim dan MK yang selama ini dibiayai negara melalui pajak rakyat, justru menjadi pengkhianat atas amanat rakyat.
“Jika MK tidak lagi menjadi tempat mencari keadilan dan kedaulatan bagi rakyat, maka rakyat akan mencari keadilan sendiri dengan Pengadilan Rakyat. Artinya, bisa saja rakyat akan mendatangi rumahnya di Senayan untuk segera menggelar Sidang Rakyat atau Mahkamah Rakyat,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa