KedaiPena.Com – Guru Besar dalam bidang Manajemen Kawasan Hutan Konservasi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Sambas Basuni menilai, persoalan kebakaran hutan akan terus terjadi selama pemerintah tidak merubah pola Dan model kebijakan dari negatif ke positif.
“Pemikiran tersebut bertujuan untuk mengubah model kebijakan yang bersifat command and control (sentralistik) ke yang bersifat insentif dan disinsentif (desentralistik),” ujar Sambas kepada KedaiPena.Com, Kamis, (26/9/2019).
Sedangkan untuk antispasi, Sambas begitu ia disapa, menilai pemerintah perlu internalisasi biaya lingkungan secara jelas dan mudah dipantau.
Sambas juga menyarankan, ketimbang pemerintah melarang masyarakat membakar lahan untuk membangun perkebunan, lebih baik diatur soal regulasinya.
“Intinya, daripada pemerintah melarang masyarakat membakar hutan. lebih baik pemerintah mengeluarkan izin membakar hutla secara bertanghung jawab,” imbuh Sambas.
Selain itu, lanjut Sambas, perlu juga ditetapkan biaya persatuan luas yang dibakar. Dan, daftar jumlah biomasa per hektare untuk setiap jenis tutupan lahan, potensi emisi karbon dan lain-lain, semestinya didelegasikan ke setiap provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa.
“Masing-masing unit wilayah ini harus memiliki baku mutu luas maksimum karhutla, daftar yang mendapat izin, dipantau,” papar Sambas.
Sambas mengaku dirinya tidak terlalu mempedulikan langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang sudah menyegel 52 perusahaan karena diduga terlibat kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan.
“Saya tidak peduli dengan jumlah perusahaan yang disegel, 52 itu boleh jadi kurang atau lebih, pembuktian itu mahal,” tandas Sambas.
Kebakaran Hutan, 10 Juta Anak Terancam Bahaya Polusi
Musibah kebakaran hutan di Indonesia menjadi perhatian Badan PBB yang memusatkan perhatiannya kepada anak-anak, UNICEF. Menurut UNICEF, kebakaran hutan di Indonesia menempatkan hampir 10 juta anak dalam bahaya karena polusi udara.
Kebakaran hutan telah memuntahkan kabut beracun di Asia Tenggara dalam beberapa pekan terakhir. Peristiwa ini membuat sekola dan bandara ditutup, orang-orang pun membeli masker dan mendapatkan perawatan medis karena penyakit pernapasan.
Dikutip dari Guardian, menurut UNICEF, hampir 10 juta orang di bawah 18 tahun, seperempat dari mereka di bawah lima tahun, tinggal di daerah-daerah yang paling parah terkena dampak kebakaran di pulau Sumatra dan Kalimantan.
UNICEF mengatakan anak-anak sangat rentan karena sistem kekebalan yang tidak berkembang, sementara bayi yang lahir dari ibu yang terpapar polusi selama kehamilan mungkin memiliki masalah seperti berat badan lahir yang rendah.
“Kualitas udara yang buruk adalah tantangan yang berat dan terus berkembang bagi Indonesia,” kata Debora Comini dari UNICEF.
“Setiap tahun, jutaan anak menghirup udara beracun yang mengancam kesehatan mereka dan menyebabkan mereka bolos sekolah, mengakibatkan kerusakan fisik dan kognitif seumur hidup,” imbuhnya.
Dia juga menjelaskan, ribuan sekolah telah ditutup di seluruh Indonesia karena kualitas udara yang buruk, dengan jutaan anak-anak kehilangan kelas.
Gambar-gambar yang beredar di media sosial menunjukkan langit merah darah di atas provinsi Jambi, Sumatera, pada tengah hari karena kabut asap.
Selain itu, sekolah-sekolah terpaksa ditutup di seluruh Malaysia pekan lalu ketika kabut asap dari Indonesia menutupi langit, sementara Singapura juga diselimuti kabut asap selama balapan motor Formula Satu pada akhir pekan lalu.
Laporan: Muhammad Hafidh