Artikel ini ditulis oleh Pemerhati Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, Aktivis 77-78, Syafril Sjofyan.
Sekitar Juni 2021. Hampir setahun yang lalu. Ketika Presiden Jokowi diisukan ingin memperpanjang masa jabatan hingga tiga periode, seketika ia membantah dan menolaknya bahkan dengan raut wajah serius Jokowi menyatakan bahwa ada tiga kemungkinan orang yang mendorong agar menjabat tiga periode yaitu pertama, ingin “menampar muka saya” kedua, “mencari muka” dan ketiga, “ingin menjerumuskan saya”. Setelah itu wacana tiga periode padam.
Awal tahun 2022, kembali wacana itu menyala. Diawali oleh menterinya Jokowi. Bahlil, Menteri Investasi. Sang Menteri berada dibawah Koordinasi, Menko Maritim dan Investasi. Luhut Binsar Panjaitan.
Kemudian bergema oleh petinggi Partai yang secara berturut-turut Ketum Golkar, PAN, PKB melontarkan kata serempak ingin menunda Pemilu ke 2027. Alasan mirip hampir seragam. Hanya beda momen. Benang merahnya diakui sendiri.
Sebelumnya mereka ketemuan dengan Luhut Binsar Panjaitan. Bantah?. Tidak, LBP juga akhirnya “mengakui” karena ada big data, milik pribadi 110 jutaan katanya. Wow.
Pengakuan Big Data akhirnya heboh dan koit sendiri, setelah dibantah para ahli IT. Bukan jutaan, cuma 10,000 an. Kemudian beberapa Lembaga survei muncul dengan hasil 70 persenan rakyat tidak setuju penundaan Pemilu ataupun 3 periode. Kandas? Ternyata tidak.
Muncul APDESI (konon ormas “bodong” alias tidak berbadan hukum). Nah Ketua Dewan Pembina Apdesi “bodong” itu baru enam bulan. Masih anyar. Ternyata Luhut Binsar Panjaitan sendiri. Hah.
Konon lagi katanya masing- masing kepdes dapat 10 juta. Kalau ribuan hadir, heh di kali sendiri. Total nya banyak juga ya. Di berbagai daerah muncul baliho dukungan, termasuk biaya operasi bawah tanah untuk makar konstitusi. Biayanya jelas sangat besar.
Dana dari mana?. Sponsornya berduit, dugaan netizen, di negara Wakanda. Dana berasal dari Konglo atau Mafia Migor atau dari memeras atau nyolong atau hasil untung PCR. Ini mah dugaan yang berseliweran. Kecuali KPK punya nyali untuk menyelidiki dan menyidik kebenarannya.
Seperti kata Jokowi sendiri bahwa dukungan tiga periode itu “menampar muka saya” karenanya ketika banyak dukungan, maka yang terjadi adalah mereka itu Menteri Bahlil, petinggi partai Golkar, PAN dan PKB serta Luhut Binsar Panjaitan beramai-ramai mencari muka, menjerumuskan Jokowi dan sedang menampar-nampar muka Jokowi. Termasuk para Kepdes Apdesi “direkayasa” untuk ikut menampar muka Jokowi.
Lalu. Jokowi ditahun ini tidak selugas di tahun 2021. Jokowi mengeluarkan kata bersayap. Patuh Konstitusi. Karena demokrasi tidak bisa menghentikan wacana tersebut katanya. Heboh!. Sang Menko dan menteri Bahlil dan Ketum PKB semakin lantang, berani “menampar-nampar” Jokowi berkali-kali.
Masalahnya apa Jokowi menikmati si “pencari muka” alias si penjilat. Penjilat pantat sampai licin heh basah. Bah, apa Jokowi juga menikmati “muka nya ditampar-tampar” beramai-ramai?. Bisa bonyok hingga terjerumus.
Kata orang bijak; orang biasa takkan khawatir kehilangan. Si Pembesar khawatir kehilangan kedudukannya, Si Peng-peng (menurut Rizal Ramli Peng-Peng, Penguasa yang sekaligus Pengusaha) khawatir kehilangan hartanya, selebriti khawatir kehilangan kesohorannya, dan kalau sampai kemudian terjadi kehilangan, itu akan menimbulkan duka. Nah bagi si Pembesar akan menggunakan kekuasannya untuk tetap bertahan di “singasana” empuk.
Jika hanya jika, ternyata Jokowi “kemaruk kuasa”, untuk bertahan di singasana. Jokowi perlu ditampar mukanya tidak saja oleh yang mendukung dan menjilat, tapi ditampar oleh rakyat banyak yang tidak setuju penundaan Pemilu atau tambah periode. Menurut beberapa survei diatas 70 persen. Waduh betapa hancurnya “muka” Jokowi. Bukan lagi bonyok, bisa nyungsep ditampar 70 persen lebih. Wow 200 jutaan penduduk. Pasti dia mengakhiri kekuasaan dengan tidak husnul khotimah. Eling!
[***]