KedaiPena.Com – Tak hanya Perusahaan Listrik Negara (PLN), perusahaan swasta dalam dan luar negeri turut membangun dan memiliki sejumlah pembangkit listrik berbahan batubara.
Perusahaan swasta dalam dan luar negeri itu bersama-sama memiliki (‘joint venture’) PLTU dalam skema independent power producer (IPP).
Di antara perusahaan swasta luar negeri, ‘joint venture’ di mana Jepang dan Cina terlibat telah menghasilkan kapasitas listrik yang tinggi setelah tanggal operasi komersial (commercial operation date/COD).
Dalam analisis yang dilakukan Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), dalam sewindu terakhir (2011-2018), perusahaan-perusahaan asal dua negara tersebut telah mengomersialkan listrik berkapasitas 3.956 MW dari unit-unit pembangkit atau boiler.
Angka ini terdiri dari 2.805 MW listrik Jepang, sedangkan Cina sebesar 1151 MW. Sementara itu, dalam periode sama, PLTU beroperasi yang sepenuhnya dimiliki oleh PLN adalah 8.836 MW.
Selain yang telah beroperasi komersial (COD), ‘joint venture’ di mana Jepang dan Cina terlibat sedang membangun PLTU di seantero nusantara. Kapasitas listrik dari PLTU ‘joint venture’ tersebut akan meningkat lebih dua kali lipat.
Bila tepat waktu hingga 2022, kapasitas listrik yang kelak dihasilkan dari IPP tersebut adalah 8,982 MW. Sebagaimana telah komersial sewindu terakhir, pada tahap kontruksi pun, kapasitas listrik ‘joint venture’ Jepang lebih tinggi dibandingkan China, yakni masing-masing 4082 MW dan 4900 MW.
Jumlah tersebut hanyalah PLTU yang sedang tahap kontruksi, tidak memuat yang tertunda atau belum dikontruksi kendati sudah diumumkan.
PLTU mulut tambang Riau-1, misalnya. PLTU Riau-1 dimiliki oleh Cina Huadian (60%) dan Black Gold (40%) dengan kapasitas 2 x 30 MW. PLTU ini tidak dimasukkan dalam kalkulasi di atas.
Kendati beberapa teknologi PLTU Batubara asal investasi dari China dan Jepang ini menggunakan teknologi Ultra Super Critical (USC), yang diklaim sebagai teknologi bersih, namun jumlah emisinya gas rumah kaca yang dihasilkan masih tinggi, yakni setidaknya sebanyak 195 kali emisi Republik Vanuatu, negara yang terancam oleh kenaikan permukaan laut karena perubahan iklim.
Survei terhadap para aktor energi di Indonesia yang dilakukan oleh PWC pada tahun 2018 melaporkan bahwa para pelaku investasi industri energi, termasuk energi fosil di Indonesia mengharapkan equity return di Indonesia sebesar 15%-20%, angka ini lebih tinggi dibanding dengan dengan nesementara itu, tingkat equity return skala global hanyalah sebesar 10.6%, lebih rendah dibanding Indonesia.
Sektor energi fosil batubara memang menjadi wahana investasi luar negeri yang jamak digeluti perusahaan-perusahaan atau pun lembaga keuangan dari kedua negeri ini.
Jasman Simanjuntak, Peneliti Energi Perkumpulan AEER menyebutkan, keterlibatan Jepang dan Cina dalam ‘joint venture’ menggambarkan sektor energi, terutama pembangkit berbahan batubara, merupakan lahan basah untuk mengakumulasi modal.
Berhasilnya upaya ini tentu tidak lepas dari pasokan dana dari sejumlah institusi keuangan publik serta swasta Jepang dan Cina.
Cina dan Jepang tercatat tercatat sebagai negara paling banyak mendanai pembangkit berbahan batubara (Global Coal Finance Tracker, Desember 2018). Perusahaan atau institusi keuangan dari kedua negara ini telah jauh terlibat dalam pengadaan pembangkit batubara di dunia, termasuk Indonesia.
Sebagai contoh, PLTU Jawa-7. Pembangkit ini berkapasitas 2 x 991 MW dan direncakan komersial pada 2020. Pembangkit ini dimiliki oleh Shenhua Group (70%) dan PT Pembangkitan Jawa-Bali (30%), anak usaha PLN. Tahun 2017, dana sebesar 1,8 miliar dolar AS dikucurkan oleh China Development Bank.
Jasman menambahkan, keterlibatan perusahaan asal Jepang dan Cina sebagai pemilik saham pembangkit listrik berbahan batubara turut menentukan lanskap energi Indonesia.
Dalam sewindu terakhir, Jepang dan Cina telah mengomersialkan listrik berkapasitas hampir empat gigawatt. Hingga beberapa tahun ke depan, keterlibatan Jepang dan Cina pada sektor energi fosil batubara akan meningkat.
“Tetapi, dampak merusak yang menyertainya juga harus diperhitungkan. Kerusakan lingkungan, permasalahan kesehatan, hilangnya akses ekonomi masyarakat karena area penghidupannya terdampak buruk tidak dapat dihindari selagi PLTU tetap dibangun dan dioperasikan,” tambah dia.
Laporan: Ranny Supusepa