Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior.
Waktu Ali Sadikin naik jadi gubernur (1966) inflasi sedang mencapai 650 persen. Perekonomian Indonesia merosot luar biasa dan Jakarta sedang berantakan.
Masyarakat Jakarta kala itu mengalami krisis hampir di tiap sektor, krisis perumahan, krisis lapangan kerja, krisis transportasi, krisis hubungan telepon, krisis usaha, krisis sarana pendidikan dan sebagainya. Sementara itu Pemerintah Pusat tidak memberikan bantuan keuangan yang memadai karena memang lagi cekak.
Dalam keadaan sulit itu Bung Karno ingin ada sosok baru untuk memimpin Jakarta untuk membawa harapan baru, terobosan, dan perubahan.
Menurut Leimena yang waktu itu menjabat Waperdam sebenarnya ada tiga jenderal yang diajukan sebagai calon, tapi Bung Karno menolak. “Aku perlu orang yang keras, tegas, dan berani,” kata Sukarno.
Bung Karno kemudian memanggil seorang yang koppig, seorang yang keras, a giant of a man, a nationalist, fighter, a visionary with a big heart, seorang Menko Maritim/Menteri Urusan Perhubungan Laut, yang waktu itu baru saja menempati pos baru sebagai Deputi Menteri Ekuin di bawah Menteri Sultan HB IX, dia tiada lain adalah Ali Sadikin.
Waktu dilantik di istana, 28 April 1966, Sukarno minta Bang Ali supaya menjadikan Jakarta sebagai nation pride yang bisa disaksikan oleh the next generation. Jakarta harus punya physical face yang waardig (wajah sehat, yang dihargai).
“Apa sebab saya memilih seorang gubernur dari Angkatan Laut? Oleh karena Jakarta ini kota pelabuhan. Saya memilih gubernur Jakarta dari satu orang yang mengetahui urusan laut dan urusan pelabuhan,” kata Bung Karno sebagaimana ditulis wartawan/sastrawan terkemuka Ramadhan KH dalam buku Ali Sadikin Membenahi Jakarta Menjadi Kota Yang Manusiawi.
Seperti diketahui dan tercatat sejarah, di bidang kelautan Bang Ali antara lain pernah menjabat sebagai Deputi Kepala Staf Angkatan Laut, Menko Maritim dan Menteri Perhubungan Laut Kabinet Dwikora di bawah Presiden Sukarno.
Kas Pemda Jakarta waktu Bang Ali masuk jadi gubernur total cuma 66 juta rupiah, itu dari pungutan daerah dan subsidi dari pusat, sehingga Bang Ali harus putar otak menutupi kekurangan anggaran. Dengan integritas moral yang tinggi walaupun ada bumbu-bumbu kontroversi, seperti kita ketahui Bang Ali kemudian meninggalkan banyak legacy buat kota Jakarta, yang notabene sekarang legacy-legacy itu banyak ditelantarkan , bahkan mulai digusur.
Bang Ali adalah patriot, dia melakukan pendekatan “what is wrong” dan bukan “who is wrong”.
Salah satu yang saya ingat dari Bang Ali di tahun 1990-an kalau berkunjung (meliput) ke kediamannya di Jalan Borobudur yang letaknya berseberangan dengan rumah Sudomo, adalah sebuah potret Presiden Sukarno dalam ukuran besar di salah satu ruang tamu, dalam pesona yang charmant.
Bang Ali kalau berbicara selalu keras, baik content maupun intonasinya, kepada yang muda selalu memberikan motivasi, tapi Bang Ali seorang yang lembut hati, seorang yang menjaga decency, sebagaimana patriot sejati.
Lebaran Idul Fitri 2004 misalnya Bang Ali datang ke rumah Soeharto untuk kasih selamat, datang ke kediaman orang yang selama bertahun-tahun menzaliminya, untuk bersilaturrahim, memberikan contoh keteladanan sebagai seorang patriot sejati, sebagai seorang nation builder, seperti halnya Bung Karno.
Sebagai gubernur Bang Ali dikenang karena jasa-jasanya, terutama oleh rakyat kecil.
[***]