KedaiPena.Com – Pemerintah sedang mempersiapkan agenda investasi untuk pertemuan Belt Road Initiative yang akan berlangsung pada akhir April 2019 di Beijing.
Terdapat 3 proyek PLTU yang ditawarkan untuk investasi, yakni PLTU Ekspansi Celukan Bawang (2 x 350 MW), PLTU Mulut Tambang Kalseteng 3 ( 2x 100 MW) dan PLTU 1000 MW di Kalimantan Utara.
Sebuah unit pembangkit batu bara berusia 20 hingga 30 tahun. Artinya, pembangunan pembangkit batu bara terkunci dengan pembangunan listrik batu bara bara (locking-in investment), menutup ruang pengembangan energi terbarukan dalam waktu yang cukup panjang.
Mardan Pius Ginting, Koordinator Perkumpulan AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat) menyatakan, lokasi-lokasi PLTU yang hendak ditawarkan ke dalam BRI telah memiliki persoalan.
“PLTU Celukan Bawang mengalami penentangan dari warga nelayan dan mendapat perhatian dunia internasional karena berlokasi di Pulau Bali yang merupakan daerah pariwisata utama dimana pengunjung mencari tempat yang memiliki udara bersih,” kata dia ditulis Sabtu (30/3/2019).
Bahkan Gubernur Bali telah mendesak penghentian penggunaan batu bara bagi PLTU Celukan Bawang yang telah beroperasi.
Sementara, Kalimantan Tengah salah satu provinsi mengalami deforestasi terluas akibat pengembangan pertambangan dan perkebunan.
Tercatat pada tahun 2016 deforetasi terjadi seluas 44.726,3 Ha. Dengan mengembangkan PLTU Mulut Tambang, daerah yang relatif terisolir dari investasi akan dibukan menjadi pertambangan untuk pemasok PLTU Mulut Tambang.
Berdasarkan RUPTL, Kalimantan Tengah memiliki sumber energi terbarukan, diantaranya air. Sebaiknya pengembangan listrik tenaga air dengan kapasitas terbatas yang perlu dikembangkan sejalan dengan pelestarian hutan.
“Kalimantan Utara sendiri telah terdapat rencana pembangunan listrik tenaga air. Pembangunan PLTU skala besar di Kalimantan Utara akan memperluas deforestasi demi pasokan batu bara,” lanjut Pius, sapaannya.
Pembiayaan PLTU batubara ini menghambat pengembangan energi terbarukan. Harga teknologi listrik tenaga angin dan surya terus berkurang, namun penerapannya ke dalam sistem kelistrikan menjadi terhadap karena pemerintah hendak melindungi pasar listrik dari pembangkit listrik batu bara.
“Hal ini tercermin dari hambatan yang dibuat pemerintah bagi pemasangan listrik tenaga surya di Jakarta, di antaranya dengan hanya menghargai 65% setiap setiap satuan listrik yang dihasilkan dari tenaga surya, sementara itu listrik dari sistem pembangkit yang dijual ke konsumen (hampir 50% dari batu bara) dihargai 100%. Hal ini merupakan bentuk dis-insentif bagi pembangunan energi terbarukan,” papar Pius.
PLTU batubara telah menciptakan kerusakan lingkungan, kesehatan dan memperparah pemanasan global. Dunia sedang mengusahakan transisi meninggalkan PLTU Batubara. Protes terhadap kelanjutan penggunana bahan bakar fosil terjadi di banyak negara, dan bahkan anak-anak sekolah turut serta dalam mobilisasi besar menentang penggunanaan bahar fosil yang merupakan sumber gas rumah kaca.
“Pemerintah Indonesia sebaiknya tidak bertentangan dengan arus global yang menghendaki keluar dari dari penggunaan bahan bakar batu bara. Karena dengan melawan arus tersebut kerusakan justru dialami oleh rakyat Indonesia, lingkungan di daerah tambang batu bara berlanjut, pencemaran udara dari pembangkit menambah jumlah warga yang sakit,” imbaunya.
Sementara itu anggaran kesehatan lewat BPJS kian dirasakan jadi beban oleh pemerintah, perusakan wilayah tangkap nelayan karena pembuangan limbar cair dan lalu lintas tongkang batu bara yang masif di tempat berdirinya PLTU.
“Agar sejalan dengan arus global yang menghendaki dilakukan tindakan segera mengatasi pemanasan global, maka Pemerintah Indonesia diminta tidak memasukkan pembangkit listrik batu bara (PLTU) dalam negosiasi BRI (Belt Road Iniative),” pungkasnya.
Laporan: Muhammad Lutfi