MUSYAWARAHÂ Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar di Bali, 15-17 Mei 2016, akan menjadi penentu arah kepemimpinan Golkar ke depan. Ini momentum mengembalikan kejayaan partai. Apakah kepemimpinan partai beringin ini akan tetap melanjutkan kultur plutokrasi ataukah demokrasi?
Dinamika politik pun semakin memanas, manuver serta strategi pertarungan mulai dikerahkan untuk saling menggempur. Namun secara politik, hal seperti ini adalah sebuah partisipasi politik yang sangat baik sepanjang semua calon ketua umum beserta tim sukses bermain secara sehat dan jujur.
Sikap jujur dan demokratis menjadi kunci berdemokrasi yang sehat dalam rangka proses rekonsiliasi partai Golkar yang mengalami konflik dan perpecahan secara internal. Selain itu, nilai-nilai politik haruslah dikedepankan, seperti misalnya etika politik, moral politik, budaya politik yang luhur, dan praktek demokrasi yang jujur, adil dan transaparan.
Apakah kepemimpinan Golkar hasil munaslub mampu menyatukan kembali semua unsur di dalamnya? Setelah periode ’’penyelamatan’’ partai pada era Akbar Tanjung, Golkar berturut-turut dipimpin pengusaha besar. Jusuf Kalla (JK) dan Aburizal Bakrie (Ical) mengusung budaya partai yang mengandalkan kekuatan dana sebagai modal politik.
Faktanya Semasa Orde Baru, Golkar didanai oleh Yayasan Dana Abadi Karya Bakti. Dana itu kemudian dihentikan semasa Akbar memimpin Golkar. Kini, untuk membiayai munaslub dan memodali kepengurusan, panitia mewajibkan tiap calon ketua umum menyetor dana sebesar Rp1 miliar.
Setelah ada peringatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kemungkinan gratifikasi, panitia mengendurkan persyaratan itu. Dua dari delapan calon yang akan bertarung di Bali, Indra Bambang Utoyo dan Syahrul Yasin Limpo, lolos meski tidak setor Rp 1 miliar.
Artinya, panitia munaslub hanya mengantongi sekitar Rp 6 miliar dari setoran Ade Komaruddin, Setya Novanto, Azis Syamsuddin, Mahyuddin, Airlangga Hartarto, dan Priyo Budi Santoso. Dana ini tentu tidak cukup untuk membiayai munaslub yang dialokasikan Rp 45 miliar.
Golkar sekarang merupakan ’’sisa-sisa laskar’’ kejayaannya di masa Orde Baru setelah melahirkan enam partai lain.
Dimulai dari Partai MKGR yang didirikan Mien Sugandhi pada 27 Mei 1998, disusul PKPI yang dibentuk Edi Sudrajat dan Hayono Isman, PKPB pada 9 September 2002 oleh R Hartono dkk, kemudian Hanura, Gerindra, dan Nasdem. Hebatnya, pada Pemilu 2014, Golkar masih mampu menduduki peringkat kedua di bawah PDIP dengan 14,75 persen suara.
Golkar bersama Gerindra dan Partai Demokrat bahkan masuk empat besar yang perolehan suaranya di atas 10 persen. Ketiganya hanya kalah dari PDIP dengan 18,95 persen suara. Artinya, potensi Golkar untuk memenangi Pemilu 2019 masih cukup besar. Tentu saja dengan catatan seluruh sumber daya mampu terintegrasikan lewat Munaslub Bali.
Golkar membutuhkan sosok yang mampu merepresentasikan Golkar secara utuh. Artinya, sosok ketum yang meninggalkan tradisi lama dan melahirkan Golkar baru.
Munaslub sebagai momen untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Golkar. Karena penggunaan uang yang berlebihan adalah sesuatu yang tidak beradab. Penggunaan uang dalam masyarakat sangat serius dan sensitif.
Kepemimpinan tidak boleh dikaitkan uang, tapi ketulusan dan kemauan untuk membesarkan partai, bukan dengan mempertaruhkan idealisme, yang paling penting Munaslub seharusnya dapat menjadi pencitraan kembali kekuatan kader-kader Golkar.
Terserah Pilihan ada pada seluruh pengurus dan elite partai Golkar kini apakah mau menghalalkan segala cara dengan Munaslub yang transaksional atau mau memotong mata rantai menjadikan Golkar baru, nilai dan tradisi baru.
Oleh Ketua Umum Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB) Dodi Prasetya Azhari