KedaiPena.com – Menjelang berakhirnya masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, salah satu masalah yang belum terselesaikan adalah terkait akses masyarakat pada air layak pakai dan air layak minum. Dimana saat ini persentase akses air minum perpipaan di Indonesia baru berkisar 20.69 persen di tahun 2022.
Anggota Dewan Pakar DPP Gerindra, Bambang Haryo Soekartono (BHS) menegaskan dalam hal peningkatan akses masyarakat pada air layak pakai dan air layak minum, yang paling utama adalah komitmen pemerintah. Karena Indonesia adalah negara dengan jumlah sumber daya air nomor 8 terbesar dunia dan negara dengan curah hujan nomor 5 tertinggi di dunia.
“Jadi, tidak ada itu alasan bahwa wilayah Indonesia tidak memiliki bahan air baku untuk dijadikan air layak pakai dan minum,” kata BHS dengan tegas saat dihubungi, Kamis (8/8/2024).
Ia menegaskan bahwa semua wilayah Indonesia, sejak dahulu kala, baik sebelum masa kedatangan Belanda hingga paska penjajahan Belanda, perkembangan kota itu selalu ada di pinggir sungai.
“Karena dulu itu, transportasi kan lewat sungai. Terutama Kalimantan ya, itu hampir 100 persen pergerakan masyarakat itu melalui sungai. Kalau di Jawa itu sekitar 80 persen lah. Dan semua sungai itu, sekarang masih ada semua, tidak ada yang kering total, hanya berkurang saja debit airnya,” urainya.
Sebagai contoh Sungai Brantas di Jawa Timur, masih tetap mengalir, walaupun mengalami penurunan debit air hingga 40 persen.
“Rata-rata sungai di Indonesia itu memiliki penurunan debit air sekitar 30 persen. Artinya, masih ada 70 persen debit yang bisa dikelola oleh Pemerintah sebagai sumber air untuk irigasi dan sumber air baku untuk air layak pakai dan air minum,” urainya lagi.
Ia menyebutkan Pemerintah, baik pusat maupun daerah saat ini, belum secara maksimal memanfaatkan sungai sebagai sumber air baku.
“Contohnya di Surabaya yang pipanisasi akses air layak pakai sudah mencapai 100 persen untuk penduduk seluruh Surabaya. PDAM Surabaya mengambil air baku dari Sungai Kalimas yang mengalir dari Sungai Surabaya dari Wilayah Sidoarjo, yang hanya sekitar tidak lebih dari 10 persen saja dari total debit yang dipakai untuk PDAM Surabaya. Sisanya yang 90 persen mengalir ke laut. Artinya aliran air sungai tersebut masih bisa dimanfaatkan untuk pengelolaan air layak pakai di wilayah sekitar Surabaya, Gresik, Bangkalan termasuk Sidoarjo. Tetapi ironisnya, di wilayah Sidoarjo yang mempunyai dua aliran sungai dengan ukuran jauh lebih besar dari Surabaya, akses air layak pakai masyarakat Sidoarjo baru mencapai sekitar 35 persen. Ini tentu sangat memprihatinkan,” kata BHS lebih lanjut.
Selain itu, ia juga menyampaikan keprihatinannya, karena selain belum meratanya akses air bersih melalui pipa, masyarakat juga terbebani dengan mahalnya harga air PDAM yang hanya layak pakai bukan layak minum. Dimana harga air layak pakai di Indonesia bisa mencapai Rp17.000 per meter kibik, seperti di Jakarta dan Sidoarjo.
“Sebagai perbandingan, di Eropa, walaupun bisa dikatakan negara yang memiliki tarif air minumnya paling mahal di dunia, setara dengan Rp80 ribu per meter kubik, tapi akses air minum tersebut betul-betul layak di minum. Berbeda dengan di Indonesia, akses air minumnya tidak layak diminum, hanya layak dipakai. Dan bila ingin mendapatkan air yang bisa diminum, masyarakat harus membeli air kemasan atau air galon yang harganya sekitar Rp3.000 per liter. Berarti air layak minum di Indonesia harganya sama dengan Rp3 juta per meter kubik. Sehingga air layak minum di Indonesia mempunyai harga yang termahal di dunia. Harusnya air minum di Indonesia yang tidak layak minum tersebut, tidak semahal itu. Dan bahkan harusnya bisa gratis seperti yang ada di Undang Undang Dasar tahun 1945 Pasal 33 ayat 3, bahwa air betul betul digunakan untuk kemakmuran kakyat, bukan malah menyulitkan bahkan memiskinkan masyarakat,” ujar Politisi Gerindra ini.
Indonesia seharusnya mengacu kepada referensi negara yang memberlakukan air minum gratis seperti di Swiss, Swedia, New Zealand, Kolombia dan bahkan Singapura. Ia menyatakan semua negara tersebut tidak memiliki sumber air yang besar seperti yang dimiliki oleh Indonesia, apalagi Singapura.
“Tetapi para negara tersebut menggratiskan air minum kepada rakyatnya dan betul-betul layak minum. Padahal UMR di Singapura sebesar Rp60 juta, sedangkan di Indonesia rata rata 85 persen daerah mempunyai UMR berkisar Rp3 juta. Ini tentu sangat memprihatinkan dan sudah waktunya Pemerintah bisa memberdayakan air layak minum untuk 100 persen penduduk di Indonesia,” ujarnya lagi.
BHS pun menegaskan bahwa pemerintah harus berani maju dan mengendalikan pengelolaan sumber daya air ini.
“Harus ada kajian berapa biaya pengelolaan air ini, lalu tentukan margin keuntungannya. Dan harus dilakukan audit bersama perwakilan dari masyarakat, sehingga masyarakat tidak dirugikan. Perlu diingat, bisnis infrastruktur itu harusnya mempunyai keuntungan yang tidak boleh lebih dari 10 persen,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa