ADA berapa jenis ikan yang hidup di Sungai Ciliwung? Mungkin ini pertanyaan konyol. Tapi, pertanyaan ini patut dicarikan jawabannya. Kenapa? Karena air sungai besar yang membelah Jakarta itu sudah tercemar berat.
Menurut Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Depok, Rahmat Subagio, yang didampingi Kabid Pemantauan Lingkungan, Kania Parwanti, kepada wartawan, Rabu, 21 September 2011, hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa kualitas air Sungai Ciliwung sudah tidak dapat lagi dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku PDAM di Kota Depok.
“Kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) dan Biological Oxygen Demand (BOD) Sungai Ciliwung dipastikan tinggi, sehingga tidak layak dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM),” jelasnya, sebagaimana diberitakan postkotapontianak.com, Kamis, 22 September 2011 – 15:14:52 WIB, Air Sungai Ciliwung Tidak Layak Menjadi Bahan Baku PDAM.
Dengan tingkat pencemaran seperti itu, diperkirakan ada ikan-ikan tertentu yang sudah tidak mampu hidup di sana. Saya tidak menemukan data, ada berapa jenis ikan yang hidup di Sungai Ciliwung sebelum tercemar, dan berapa jenis ikan yang hingga kini masih bertahan.
Sebagai perbandingan, mari kita cermati apa yang terjadi di Sungai Seine, Perancis. Sungai ini membelah kota Paris menjadi dua bagian yang dalam bahasa Perancis disebut dengan istilah la rive droite (tepi kanan) dan la rive gauche (tepi kiri). Yang dimaksud dengan tepi kanan adalah Paris Utara dan tepi kiri adalah Paris Selatan. Paris Utara lebih makmur daripada Paris Selatan.
Secara historis, hulu sungai Seine adalah tempat yang nyaman untuk bertelurnya ikan Salmon Salar atau Atlantic Salmon. Tapi, peningkatan polusi air dan pembangunan dam setelah Perang Dunia I, membuat populasi ikan tersebut terus berkurang. Sejak tahun 1995, salmon benar-benar menghilang dari perairan Seine.
Dan, tiap tahun, ratusan ton ikan mati di sana. Tapi, pemerintah setempat tak tinggal diam. Hampir 15 tahun proyek bersih-bersih sungai secara besar-besaran digalakkan, termasuk pembangunan sebuah pabrik pemurnian air sungai. Hasilnya, sebagaimana diberitakan BBC London, Rabu 12 Agustus, 2009:
Salmon Atlantik, terdaftar sebagai spesies terancam punah di seluruh Eropa, kembali. Seperti yang dibuktikan oleh pemancing. Dan, Salmon tidak sendirian. Ratusan ikan trout laut, shad, dan belut lamprey telah terlihat berkilauan di bawah sinar matahari Paris. Jumlah spesies ikan di sungai Seine menggelembung menjadi 32 spesies.
Bukan hanya itu. Kebersihan Sungai Seine telah menjadikannya pusat wisata air paling bergengsi dan bertaraf internasional. Di tengah kota metropolis, air Seine yang meluap lebih liar dari Bengawan Solo dapat dijinakkan melalui beberapa bendungan besar, dan diolah dengan sistem yang ramah lingkungan, hingga akhirnya mampu menjadi tempat yang menyenangkan.
“Selain airnya tetap dalam kondisi jernih, juga dapat mengantisipasi bahaya banjir yang mengancam Paris. Kalau orang Perancis bisa, mengapa kita tidak? Masalahnya, ada tidak kemauan dari semua pihak ke arah situ,” kritik Pengamat sosial politik FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Dr. Andrik Purwasito, sebagaimana diberitakan harianjoglosemar.com, Minggu, 03 April 2011, 09:00 WIB, Akar Persoalan Pencemaran adalah Faktor Ekonomi.
Andrik Purwasito di atas, membandingkan Sungai Seine dengan Sungai Bengawan Solo yang pencemarannya juga sudah tinggi. Pencemaran yang terjadi pada Ciliwung dan Bengawan Solo tersebut, agaknya menjadi cermin betapa tak terjaganya sungai-sungai di tanah air. Padahal, keberadaan sungai sangat vital.
Baik sebagai jalur transportasi, sebagai bahan baku air minum, dan sebagai urat nadi pertanian. Sayangnya, perilaku masyarakat dan perilaku kalangan industri yang membuang limbah ke sungai, membuat kekayaan alam itu rusak.
Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor, Hari Sutjahyo, di sela-sela Lokakarya Tahap II Strategi Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Air Limbah Kota Bogor, yang digelar di IPB International Convention Center, Jl. Pajajaran, Kota Bogor, Senin, 27 Juni 2011:
Rumah tangga di Kota Bogor merupakan penyumbang terbanyak pencemaran sungai yang ada di Kota Bogor. Akibatnya, kandungan bakteri E-coli pada dua sungai utama di Kota Bogor yakni Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane sangat tinggi.
Dari hasil penelitian tahun 2009, kadar E-coli Ciliwung Hulu 50 ribu, di Ciliwung Tengah sebesar 40 ribu, Ciliwung Hilir sebesar 120 ribu, di Cisadane Hulu sebesar 18 ribu, Cisadane Tengah sebesar 60 ribu, dan Cisadane Hilir sebesar 90 ribu. Padahal, baku mutu yang diterapkan hanya 5.000. Artinya, bila berada di atas 5.000, air sungai tercemar parah.
Ciliwung, Cisadane, dan Bengawan Solo adalah bagian dari potret rusaknya sungai-sungai di negeri ini. Tentu saja diperlukan langkah besar dengan jangka waktu yang cukup panjang untuk membenahinya agar kondisi air sungai-sungai tersebut layak sebagai bahan baku air minum.
Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut dan pencemaran terus meningkat, maka bukan tidak mungkin ikan-ikan yang hidup di sana akan mati seperti yang pernah terjadi di Seine. Itu otomatis juga membahayakan bagi kesehatan masyarakat yang menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari.
Pembenahan secara menyeluruh tentulah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, sebagaimana diberitakan www.klik-galamedia.com, Selasa, 15 Maret 2011, Gubernur Minta Dana Rp 3 Triliun, meminta pemerintah pusat mengalokasikan anggaran tiga daerah aliran sungai (DAS) Citarum, Ciliwung, dan Cisanggarung sekitar Rp 3 triliun per tahun.
“Untuk mengimplementasikan hal ini, kami terus berkoordinasi dengan pemerintah pusat, karena yang berwenang mengurusi masalah sungai adalah pusat,” katanya.
Pernyataan Gubernur tersebut membuat saya menghela nafas panjang. Bukan pesimis tapi saya pikir akan membutuhkan waktu yang lama untuk tersedianya dana sebanyak itu.
Apalagi saat ini para politisi sedang konsentrasi penuh ancang-ancang menyambut Pemilu 2014. Jadi, boro-boro mereka memikirkan pencemaran sungai. Meski begitu, bukan berarti tak ada yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengurangi pencemaran sungai tersebut.
Tanpa menunggu pemerintah, masyarakat sangat bisa berperan besar mengurangi pencemaran sungai. Salah satu yang utama adalah tidak membuang sampah ke sungai. Ini membutuhkan kesadaran dari semua elemen masyarakat untuk sama-sama menjaga kebersihan sungai. Konsekuensinya, masyarakat harus mencari alternatif pengelolaan sampah yang selama ini mereka buang ke sungai.
Dalam hal ini, agaknya dibutuhkan hadirnya tokoh-tokoh masyarakat sebagaimana halnya seorang budayawan Y.B. Mangunwijaya menggerakkan masyarakat Yogya membenahi Kali Code. Mangunwijaya adalah pastor kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah, 6 Mei 1929, dan kini sudah tenang di pembaringan Tuhan sejak 10 Februari 1999. Di tahun 1970-an, sungai yang membelah kota Yogya itu penuh dengan sampah rumah tangga hingga airnya sama sekali tak bisa dimanfaatkan.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Romo Mangun adalah mendekati, dan memahamkan warga yang menghuni bantaran Kali Code, agar tidak membuang sampah sembarangan. Romo Mangun rela tinggal di bantaran kali untuk memberi contoh kepada warga tentang bagiamana menjaga kali.
Hasilnya adalah Kali Code menjadi bersih, indah, dan menjadi lokasi wisata alam yang menyenangkan dan menghasilkan nilai budaya, serta ekonomi warganya. Sejak saat itu, banyak turis lokal, nasional, dan internasional berkunjung menikmati indahnya alam Kali Code.
Sebagai penutup catatan ini, saya kutipkan petikan tentang Romo Mangun dan Kali Code sebagaimana diberitakan Koran Jakarta, 21 Januari 2010, Belajar dari Romo Mangun:
Begitulah, Kampung Code Utara yang pada 1984 dihuni 35 keluarga kini dihuni oleh 54 KK. Dengan 200-an jiwa, peninggalan Romo Mangun secara kasat mata bisa kita lihat rumah-rumah susun yang terbuat dari bambu yang dicat warna-warni, balai warga yang berarsitektur unik, tempat bermain, dan maket-maket Romo Mangun yang tersimpan di Museum Romo Mangun.
Tapi, kita akan gagal mengerti, kalau hanya melihat kerapihan bangunan, jalanan kecil yang rapi dan bersih, mengenai apa yang diupayakan Romo Mangun sepanjang hidupnya di Code. Kali Code, dan bagaimana masyarakat bersama Romo Mangun dan aktivis-aktivis sosial lain di sana, memberi inspirasi kepada kita semua mengenai bagaimana seharusnya bekerja melawan kemiskinan.
Oleh Isson Khairul, Pemimpin Redaksi KedaiPena.Com