JAM masih menunjukan pukul 17.30 sore, kami hanyut dalam kegembiraan karena tiba di Dieng dengan selamat. Beberapa kali masing-masing kami selfie di tugu Dieng sebagai kenang-kenangan dan untuk konten di media sosial masing-masing.
Setelah puas dan membeli oleh-oleh seadanya, kami pun putuskan kembali sore itu juga ke Pekalongan tanpa makan malam di Dieng karena takut kemalaman nanti.
Om Burhan bilang, nanti kita makan malam di Bawang saja. Dengan perut agak lapar karena hanya diisi pisang rebus di ujung tanjakan Mbaris tadi, saya lanjutkan perjalanan pulang bersama teman-teman ke Pekalongan via Bawang.
Karena saya pikir, gowes jalan menurun tidak memerlukan banyak energi dibanding gowes menanjak. Om Didik di depan memimpin rombongan turun ke arah PLTP Dieng, kemudian berbelok ke kanan setelah SPBU.
Jalan menurun membelah kampung dengan rumah-rumah yang cukup rapat, agak keliatan gelap ditambah lagi kabut sudah mulai turun. Udara dingin mulai terasa memaksa masuk pori-pori jersey kami.
Sejenak kami berhenti untuk menyalakan lampu depan dan belakang sambil merapatkan resleting jersey dan manset. Dari kejauhan uap panas dari sumur panas bumi makin menyeruak di ujung bukit dari jingga lampu penerang mengagahi gelap malam.
“Aaagh…! Masih ada tanjakan lagi rupanya” ujarku sambil bercanda.
Om Burhan dengan tenang berujar, “Habis ini udah turunan semua kok ke Bawang.”
Kata-kata yang menyejukkan hati di tengah kami sudah lelah dan “ogah” ketemu lagi dengan tanjakan.
Beberapa anak muda dengan tas carrier terlihat berarak perlahan mendaki di jalan yang sama. Tampaknya mereka hendak mendaki dan berkemah di sekitar situ.
Dengan sisa tenaga yang ada, sampailah kami di ujung tanjakan tepat di samping sumur panas bumi PLTP Dieng yang dipagari rapih.
Di ujung jalan ternyata ada persimpangan ke kiri dan ke kanan. Om Burhan sebagai penunjuk jalan sempat bingung, tapi untungnya ada warga yang lewat dari sisi jalan sebelah kanan.
Om Burhan dengan bahasa Jawa menanyakan orang itu mana jalan yang benar menuju Bawang. Orang itu pun bilang, lewat jalan yang kanan jalan yang benar sebagian sudah dicor tapi sebagian juga masih makadam.
Awalnya kami sempat ragu dan niat balik lagi ke jalan raya dan turun lewat Kembang Langit. Teringat nanti akan ada tanjakan lagi di Bukit Sikendil, maka kami putuskan untuk tetap lewat jalan ke kanan itu meski lewati beberapa bagian jalan yang masih makadam.
Dengan lampu seadanya, kami coba turuni jalan yang berbatu dan kira-kira 30 meter di depan mulai nampak ujung jalan yang baru saja beberapa hari lalu dicor dengan pasir yang masih berserakan.
Om Didik kebetulan tidak membawa lampu sama sekali. Saya minta Om Didik di belakang saya supaya agak terang kelihatan jalannya. Pelan-pelan kami turuni jalan beton gelap terjal dengan pasir yang sangat licin.
Jalan sangat terjal meliuk ke kiri, di sebelah kanan kami jurang dalam. Saya di depan berteriak ke belakang supaya Om Roi dan Om Sani berhati-hati. Mobil Om Burhan dan mobil Daniel berjalan beriringan menerangi Om Roi dan dan Om Sani di belakang.
Om Tito berada di paling depan, saya dan Om Didik menyusul di belakangnya. Jalan ini memang cocok dengan tipikal sepeda MTB yang Om Tito dan Om Didik pakai. Sebaliknya sangat menyiksa bagi sepeda lipat yang saya, Om Roi dan Om Sani pakai.
Dengan perlahan saya tetap menaiki sepeda sambil menuruni jalan makadam setelah jalan beton yang hanya beberapa meter saja awalnya. Pada beberapa bagian jalan, batu-batunya kelewat besar untuk dilalui.
Terpaksa saya turun dari sepeda dan menuntun, karena berbahaya bila slip bisa masuk jurang di kanan yang gelap pula. Sesudah beberapa puluh meter lewati jalan makadam, saya sempat berhenti menanyakan ke Om Burhan kira-kira masih berapa jauh lagi jalan makadam ini.
Beliau pun ragu-ragu menjawab, jadi okelah kita lanjutkan sekuatnya karena kalau mau balik lagi ke Dieng sudah jauh dan tanjakannya sangat terjal pula. Saya sejenak menoleh ke belakang memastikan Om Roi dan Om Sani di belakang baik-baik saja.
Terlihat mereka berdua menuntun sepeda serta sayup-sayup terdengar senda gurau sambil disorot lampu terang mobil Om Burhan dan Daniel berjejer. Sesudah kira-kira 700 meter menuruni jalan makadam kejam, Om Tito di depan berujar “Udah jalan beton nih.”
Nah, saya pikir selesai juga nih penderitaan jalan makadam. Ternyata jalan beton yang dimaksud jalan sebagian yang dicor dan sudah mengelupas. Turunannya tidak kalah terjal pula dari sebelumnya.
Di ujung tikungan tajam, saya berhenti sebentar untuk ingatkan Om Didik berhati-hati sambil menunggu Om Roi dan Om Sani jauh di belakang. Setelah lampu mobil mulai terlihat, saya dan Om Didik pelan-pelan lanjutkan perjalanan menurun.
Di sisi kanan dan kiri mulai nampak hamparan kebun kentang meskipun gelap terlihat. Di penghujung jalan mulai nampak bangunan seperti sekolah yang gelap tanpa penerangan sama sekali. Di bagian jalan yang agak rata, saya menepi menunggu lagi rombongan di belakang.
Selang sekitar 2 menit, Om Didik lewat sambil bilang “Om Roi jatuh tuuh.”
“Waduuuuh…!” sahut saya, bergegas saya kembali ke atas dan mendapati Om Roi sedang menuntun sepeda pelan-pelan. “Om Roi gak apa-apa?” saya bertanya.
“Udah…gak apa-apa kok cuma kepleset batu aja” sahutnya.
“Ada yang luka Om? Saya bawa Betadine nih” saya balik bertanya. “Gak apa-apa, masih aman” sahutnya lagi, syukurlah lukanya tidak parah.
Kami behenti beberapa menit di depan bangunan sekolah yang gelap itu. Mendadak di balik pagar sekolah muncul sosok, ternyata penduduk sekitar.
“Waah…syukurlah masih ada tanda-tanda kehidupan di sini” dalam hati membatin. Om Burhan dengan sigap menghampiri orang itu menanyakan berapa jauh lagi jalan makadam ini dan sejauh mana kampung terdekat.
Orang itu ternyata habis memancing ikan seorang diri di belakang sekolah gelap itu. “Gila juga gelap-gelap begini mancing sendirian di situ” pikir saya.
Tak lama setelah berbincang dengan Om Burhan sambil memberikan info arah menuju desa terdekat, orang itu pun berpamitan lalu mengendarai motornya ke arah jalan desa yang dia tunjukan tadi.
Di kejauhan terlihat lampu motornya merayap menanjak. Om Tito lantas berujar “Liat tuuuh…tanjakan lagi di atas sana.”
Saya pun tertawa sambil berujar “Sabaaar Om…! Hahahaha…” Jalan masih berbatu dan gelap perlahan menanjak, di sebelah kanan terlihat lembah dan lampu-lampu Kota Wonosobo tanda peradaban nan jauh di sana.
Baca Juga: Jejak Kayuhan Menuju Dieng Negeri Para Dewa (Bagian 1)
Mendadak kangen dengan mie ongklok, makanan khas Wonosobo. “Ah…sudahlah, lain kali aja ke kota itu” ujar saya dalam hati. Setelah mengayuh tertatih menapaki tanjakan terjal berbatu, lalu jalan berbelok ke kiri dan mulai menurun beberapa ratus meter.
Mulai terlihat ujung kampung dan kerlip beberapa lampu rumah warga. Lega rasanya ketemu lagi jalan yang setidaknya lebih beradab. Tidak beberapa jauh jalan kampung kami lewati, nampak pula jalan mulus menanjak sekitar 80 meter tapi lumayan terjal lurus ke kanan.
Om Tito di depan saya tetap melaju menanjak perlahan, saya berhenti sejenak menunggu Om Didik di belakang di sisi kiri jalan yang kebetulan ada bangunan kecil. Ternyata itu toilet desa, yang cukup bersih kelihatannya.
“Hebat juga warga desa di sini bisa bikin toilet umum bersih begini, jarang-jarang lho di desa lain ada yang begini” dalam hati saya.
Kebetulan sekali saya memang dari tadi menahan buang air kecil karena dingin. Om Didik tidak lama kemudian muncul, saya tawarkan beliau “Ada toilet nih Om, mau buang air kecil dulu gak?” Beliau pun mampir sejenak untuk buang air kecil di toilet itu.
Sepeda beliau disandarkan pada tembok toilet, saya menjaganya sambil menunggu yang lain. Setelah beliau selesai, maka saya masuk toilet. Selesai dari toilet, cahaya lampu mobil mulai muncul di ujung jalan artinya Om Roi dan Om Sani sudah dekat.
Tidak lama mereka pun lewat, Om Didik lanjut menanjak. Sementara Om Sani berhenti sejenak di toilet desa itu. “Om Sani istriahat dulu aja” ujar saya. “Gilaa…tanjakan lagi!” seru beliau.
“Udah, Om berhenti dulu tenang di sini aja” sahut saya. Sekitar 3 menit berlalu, saya pun dan Om Sani lanjut mendaki tanjakan itu. Portal bambu mulai kelihatan, artinya sudah di ujung kampung. Lega juga, dan mulai terlihat warung-warung dengan penerangan seadanya menyapa “Mampir Om”.
Di sebelah kanan meskipun gelap terlihat lembah luas, dalam hati saya berujar apakah ini yang namanya “tol di atas awan” yang sedang trending di media sosial ya?
Nampaknya benar, setelah saya dapatkan konfirmasinya dari pedagang kelapa muda di ujung pertigaan jalan di tenda dengan penerangan seadanya. Heran juga, kenapa malam begini dan di tempat setinggi ini masih ada yang jualan kelapa muda.
Tapi saya anggap saja ini rejeki kami, dahaga lelah dan frustasi melewati jalan ekstrim tadi terobati dengan segarnya kelapa muda. Kami duduk di pinggir jalan sambil menikmati segarnya air kelapa muda serta isi kelapa yang lembut.
Sesekali lewat truk sayur turun dengan suara mesin menderu nyaring karena ‘engine brake’. Om Burhan berkali berujar pada kami, “Hati-hati ya nanti pas turunan! Ini turunannya terjal banget lho.” Makanya tidak heran truk-truk sayur yang tadi bersusah payah turun mengerang sambil engine brake.
“Beberapa waktu lalu, ada kecelakaan mobil Fortuner baru nabrak pohon di turunan di bawah sana lho” ujar Om Burhan lagi. Dalam hati saya, “Waah ini kayanya memang serius ekstrim nih turunannya.”
Sebelum lanjut turun, saya kembali memeriksa rem sepeda, lampu depan dan belakang. Kami pun bergegas turun beriringan menyusuri jalan beton meliuk terjal seakan memaksa badan menghujam bumi.
Perlahan adrenaline semakin berpacu dengan jantung, apalagi rem sepeda saya paling berisiko diantara peserta lainnya karena masih konvensional tipe v-brake.
Apalagi pada beberapa touring sebelumnya sudah 3 kali pecah ban belakang karena rem terlalu panas menginduksi rims atau velg belakang. Beberapa kali ditemui tikungan tajam menurun membuat kami makin ekstra hati-hati.
Sayup-sayup terdengar rem Om Didik berdecit di belakang saya. Mungkin karena sudah terlalu panas. Sampailah di jalan agak mendatar di ujung turunan panjang pertama, kami berhenti sejenak sambil menyiram ‘disc brake’ masing-masing.
Cesss, suara mendesis terdengar beriringan dengan asap putih selayaknya asap putih sumur panas bumi Dieng nampak dari masing-masing rem sepeda Om Sani, Om Roi dan Om Didik setelah disiram air mineral.
Beberapa menit kami berhenti sambil membiarkan rem agak dingin. Di sebelah kanan, ada warung kecil dengan lampu seadanya dan diterangi api unggun dengan beberapa pemotor yang sedang beristirahat terlihat heran melihat kami turun dari pegunungan Dieng dengan sepeda malam-malam begini.
Sebelum melanjutkan perjalanan, saya minta mobil Daniel di depan kami supaya pencahayaan jalan lebih baik. Perjalanan kami lanjutkan, melewati kawasan hutan gelap dengan jalan turunan terjal sebagian berbatu dan tikungan-tikungan tajam.
Pada satu tikungan tajam turun ke kanan, nampak empat lampu sepeda motor yang sedang berhenti dan menyoroti kami dari sisi jalan sebelah kiri jalan. Beberapa pemuda itu memberikan instruksi pada kami untuk berhenti dan berhati-hati menuruni jalan.
Mendadak Om Tito berujar, “Aduh! tangan saya sakit.” Kami pun berhenti sambil menunggu Om Tito. Ternyata tangan Om Tito yang dulu sempat retak karena kecelakaan, terasa nyeri kembali disebabkan terlalu intens menarik tuas rem dari atas tadi.
Bisa berbahaya jika diteruskan. Setelah tangan Om Tito terasa agak baikan, perjalanan kami teruskan dengan menuntun sepeda beberapa meter melewati jalan menurun sangat terjal dengan kondisi cor beton yang tidak sempurna karena bergelombang di tengah.
Sangat berbahaya bila dipaksakan untuk dilewati tanpa menuntun sepeda. Baru saya sadari mengapa pemuda-pemuda tadi menunggu malam-malam begini di tikungan tajam tadi sambil meminta kami berhenti dan berhati-hati. Bisa jadi pada spot itu sering terjadi kecelakaan.
Saya hitung malam itu empat kali kami berhenti untuk siram rem. Menjelang memasuki desa, saya di paling depan persis di belakang mobil Daniel. Tercium aroma kanvas rem mobil Daniel. Di ujung jalan yang sudah agak datar dan masuk perkampungan, mobil Daniel berhenti. Saya menghampiri Daniel sementara yang lainnya menunggu di persimpangan jalan.
“Rem mobil gue panas Bro” ujarnya. Ternyata indikator suhu ban belakang mobilnya sudah menunjukan 70 C.
“Udah tenang dulu Bro, biarin dingin dulu” ujar saya. Setelah cukup aman, kami lanjutkan perjalanan dengan jalan agak datar dan menurun ke kota Kecamatan Bawang.
Jam menunjukkan pukul 21.30, memasuki tengah kota kami berbelok ke kiri dan berhenti untuk istirahat sejenak dan makan malam di rumah makan di sisi kanan jalan.
Ugal-Ugalan Malam
Menu ayam goreng, ikan goreng, lalapan, sambal dan sayur gori (nangka muda) khas daerah Bawang kami lahap sekejap karena lapar. Sesudah istirahat sejenak menyuruput minuman hangat sambil bercanda melepas lelah, kami lanjutkan perjalanan ke arah Alas Roban, Kabupaten Batang.
Mobil Daniel kembali di posisi paling depan dan mobil Om Burhan di paling belakang, kami beriringan kembali menyusuri jalan menurun. Kali ini kondisi jalan cukup lebar, mulus dan sepi. Pas sekali untuk dilibas, apalagi perut juga sudah cukup terisi energi baru.
Jalan mulus menurun melewati perkampungan dan kebun-kebun sepi kami lalui dengan kecepatan hingga lebih 50 km/jam. Cukup nekat mengingat kondisi gelap dan beberapa kondisi jalan berlubang. Tapi sudahlah, kami pun nekat memacu adrenaline sambil ugal-ugalan sebagai bonus melepas frustasi menuruni jalan ekstrim sebelumnya.
Beberapa kali saya coba melewati polisi tidur dengan lompatan kecil ‘bunny hop’ supaya lebih seru. Tanpa terasa, kami pun tiba di penghujung jalan raya Alas Roban di Kabupaten Batang. Kondisi saat itu sudah mulai larut, jam menunjukan pukul 22.45. Sementara jarak ke Kota Pekalongan masih sekitar 40 KM lagi.
Terlihat Om Sani berhenti menepi sambil memegang betisnya. Ternyata beliau kram kakinya saat ugal-ugalan turun tadi. Dengan pertimbangan kondisi keselamatan bersama mengingat kondisi jalan yang ramai dengan kendaraan besar di jalur pantura di malam hari akan sangat berbahaya.
Kami putuskan untuk evakuasi dengan mobil Daniel dan Om Burhan. Perjalanan ini sudah kami akhiri dengan baik dan selamat. Suatu pengalaman perjalanan yang mengesankan, melampaui keterbatasan kondisi sepeda dan fisik kami.
Perjalanan kontemplasi spiritual ke Dieng “Negeri Para Dewa” yang mengingatkan kembali akan kesederhanaan keindahan semesta serta kebaikan Tuhan Yang Maha Kuasa pada kehidupan.
Oleh Kalvari D.H. Situmorang, Goweser Enthusiast