PEKALONGAN, kami datang. Entah apa yang membuat saya berani putuskan mengiyakan ajakan Om Roi untuk gowes lagi ke Dieng. Jika mengingat betapa capeknya pertama kali gowes ke sana dengan Om Roi dan Om Tito akhir tahun lalu, pastinya saya berpikir ulang, hahahahaha.
Tapi kali ini beda, semua serba cocok. Kebetulan Om Didik sebagai tuan rumah di Pekalongan sudah menyiapkan akomodasi, rute dan pengawalan logistik. Dan kebetulan juga sahabat saya Daniel kurang liburan, jadi ada kawan bisa berangkat bareng ke Pekalongan.
Tapi yang lebih menarik adalah rute via Kembang Langit ini kabarnya lebih menantang dan pemandangannya tidak kalah menarik dari rute via Wanayasa.
Jumat, 7 Agustus 2020, selepas jam kantor, berangkatlah saya dari Jakarta ke Pekalongan dengan Daniel. Sementara sahabat-sahabat saya yang lain sudah tiba di sana karena berangkat lebih dulu.
Setelah melewati rute yang cukup lancar malam itu melalui jalan tol Jakarta-Cipali dan keluar di pintu keluar Kota Pekalongan tepat pukul 23.00. Memang agak lambat sampai, karena kami memang sengaja tidak memacu kendaraan terlalu cepat dan beberapa kali juga berhenti untuk ngopi di rest area.
Setelah mencari alamat dengan Google Map, tibalah kami di DP House. Sebuah penginapan berkonsep guest house dengan arsitektur perpaduan Jawa dan modern dengan pepohonan yang rimbun di halaman.
Saya juga baru tahu ada penginapan senyaman ini di Kota Pekalongan. Mungkin karena biasanya saya hanya lewat Kota Pekalongan melaui rute jalan utama Pantura. Jadi tidak tahu banyak daerah blusukan Pekalongan yang ternyata memiliki penginapan hommy dan nyaman.
Security penginapan menghampiri kami seraya menanyakan “Tamunya Pak Didik ya?”. Saya menjawab, “Iya, betul Pak.” Dengan sigap beliau menyodorkan kunci kamar yang sudah disiapkan.
“Nama kamarnya Seno, itu di ujung lorong Pak, lurus aja” tukasnya. Saya sedikit bingung, “Unik juga tiap kamar punya nama, bukan pake penomoran” dalam hati saya. Persis di samping kamar “Seno” ternyata itu kamar Om Roi dan Om Sani sudah beristirahat lebih dulu.
Saya pun membuka pintu “Si Seno”, terlihat Om Tito langsung terperanjat bangun dari kursi kayu di depan televisi. “Waduuh, maaf jadi kebangun Om” ujar saya.
“Oh gak apa-apa, saya memang nungguin Om Vary datang” jawab Om Tito. Lalu kami bercengkrama sambil bercanda karena sudah lama juga tidak bersua setelah ekspedisi ke Dieng sebelumnya. Saya pun lantas bergegas mandi dan istirahat supaya besok pagi bugar.
Pagi Di Kota Pekalongan
Udara pagi Kota Pekalongan yang sejuk, menyapa segar di Sabtu pagi cerah. Membangunkan kami dari tidur lelap di peraduan penginapan yang sangat hommy milik kerabat Om Didik.
Tanpa mandi dan hanya cuci muka, saya pun menyempatkan diri menyapa dan bercengkrama dengan kerabat Om Didik dan pengelola penginapan sembari sarapan sebutir telur rebus dan teh hangat.
Jam sudah menunjukan pukul 06.00 pagi, kami pun lantas bergegas menyiapkan sepeda, segala perlengkapan dan perbekalan. Sebelum memulai perjalanan, kami berdoa memohon keselamatan pada Yang Kuasa.
Sekitar pukul 06.20, saya dan rombongan mulai mengayuh santai ke arah selatan menyusuri jalan perkampungan asri khas Jawa Tengah. Deretan rumah permanan pedesaan mencerminkan pemerataan pembangunan di daerah ini.
Kebun dan persawahan, dihiasi aliran sungai kecil bak hamparan permadani hijau kami reguk bercampur udara segar dan embun pagi, tuk sejenak melupakan carut-marut ibukota.
Tanpa terasa mengayuh sembari bercengkrama ceria sejauh 20-an KM, tibalah kami di Bandar. Kecamatan yang sudah masuk wilayah Kabupaten Batang. Perlahan tapi pasti jalan yang kami lalui mulai terasa menanjak.
Dalam hati saya, perjuangan baru saja dimulai. Pada titik ini, saya mulai beranjak ke belakang barisan menemani Om Didik yang mulai tertinggal rombongan karena sepeda beliau bukan peruntukan untuk rute menanjak meskipun semangat beliau luar biasa.
Mobil logistik juga belum terlihat, saya kuatir Om Didik di belakang tidak aman kalau sendirian meskipun beliau berulang kali menyuruh saya tetap di depan dengan rombongan. Untung saja tak lama berselang muncul mobil double cabin Om Burhan dan mobil Daniel di belakang. Saya lega, setidaknya Om Didik sudah lebih aman bila di belakang rombongan.
Tanjakan pertama Bandar terlihat pun sangat menggoda, menyapa kami lurus teruntai terjal. Konon kabarnya di tanjakan ini banyak kendaraan truk tidak kuat menanjak dan kembali meluncur mundur.
Sesekali Om Burhan dan istri Om Didik lewat memfoto kami dan memberi semangat. Di ujung tanjakan kami sempat berhenti sejenak menurunkan heart rate. Om Burhan dan istri Om Didik menyuguhi kami pisang dan gula jahe di bawah pepohonan di pinggir kebun warga. Benar-benar spot yang sempuna untuk rehat.
Sikembang Blado
Perkebunan kopi dan teh beriring rindangnya pepohonan pinus di area Sikembang Blado dengan jalan meliuk menanjak kemudian menjadi suguhan menambah kenikmatan dan kekaguman akan jagat raya ciptaanNya.
Memasuki perkebunan teh Kembang Langit, jalanan menanjak sebagian berbatu menyambut kami untuk ramah disapa. Tanjakan ini cukup teknikal karena sepeda yang saya, Om Roi dan Om Sani gunakan yaitu sepeda lipat dengan ukuran ban 20 sampai dengan 22 inchi dengan profil halus.
Gradien yang cukup lumayan terjal ini kami harus lewati dengan konsentrasi antara mengatur nafas dan handling berusaha tetap seimbang jangan sampai terpeleset batu-batu besar. Di ujung jalan rusak ini kami kira tanjakan sudah berakhir untuk segmen ini, ternyata tidak.
Kami masih disuguhi lagi tanjakan lanjutan jalan beton meliuk membelah hutan lindung Kembang Langit dengan pepohonan rindang menaungi seolah lorong hijau. Aroma segar pepohonan sejuk diiringi suara serangga khas hutan bagaikan paduan suara merdu lebih indah dari lagu-lagu MP3 yang saya dengar dari tadi sepanjang jalan dari headset mobile phone saya.
Pak Trisno Yang Bersahaja
Tibalah kami di perkampungan dengan jalan agak rata dan terlihat sebuah warung kopi di sebelah kiri jalan dengan penataaan yang cukup bergaya warung kopi ala-ala kota-kota besar. Sambil berkelakar dengan Om Roi, terbesit keinginan menyeruput secangkir kopi pahit hangat. Pasti menambah tenaga buat lewati tanjakan-tanjakan berikutnya yang kelihatannya makin terjal.
Namun sayangnya, warung kopi itu belum buka. Meski agak kecewa, perjalanan pun kami lanjutkan. Di tengah perjalanan seorang pengendara motor mendatangi kami dari arah berlawanan. Bapak separuh baya itu menyapa “Ini tamunya Pak Didik ya?”
Kami mengiyakan pertanyaan tersebut seraya berpikir mungkin perhentian pertama sudah cukup dekat. Ternyata setelah kurang lebih 30 menit mengayuh menanjak, ternyata perhentian itu tidak kunjung sampai juga. Malah yang ada tanjakan semakin curam dan panjang.
Untungnya perut juga belum terlalu lapar, meskipun persediaan air sudah menipis. Dari kejauhan mobil double cabin Om Burhan tampak berhenti di pinggir jalan tanjakan yang dihiasi umbul-umbul merah putih rapih berjajar rapih selayaknya pagar betis hajatan.
Terlihat bapak yang tadi menyapa kami di jalan, memberikan salam di ujung tangga rumah panggung nan asri. Pak Trisno namanya, beliau menyambut hangat mempersilahkan kami masuk rumahnya yang berteraskan kolam ikan nila berhiaskan aneka tanaman hias dan paranet di atasnya menambah kesejukan.
Ternyata beliau masih kerabatnya Om Didik. Kami pun bergegas memberi salam dan ijin masuk sebagai tamu, melepas sepatu dan membasuh tangan air di keran air di depan rumah beliau. Ternyata di dalam rumah sudah terhidang beraneka makanan seperti singkong rebus, pisang rebus, jeruk, ikan nila goreng, tempe goreng, sambal, sayur asam dan lalapan segar.
Di bagian pinggir suguhan tampak jejeran teko kopi dan teh khas Kembang Langit. Saya sempat mencicipi kopi khas Kembang Langit yang ternyata aroma dan rasanya luar biasa. Jenis kopi arabika lokal yang musim panennya hanya setahun sekali ini diolah sedemikian rupa hingga menghasilkan aroma khas yang sungguh nikmat.
Dari percakapan dengan Pak Trisno, ternyata beliau cukup lama pernah bekerja di perkebunan teh Pagilaran. Perkebunan teh Pagilaran konon dibuka tahun 1880 sejak jaman kolonial Belanda. Nampaknya beliau sangat paham pengolahan kopi dan teh.
Menurut saya ini salah satu kopi dengan cita rasa terbaik selama saya berkelana di berbagai daerah Indonesia. Satu hal yang tak kalah nikmat adalah suguhan ikan nila goreng berserta sambal dan lalapan segar. Ikan nila segar digoreng kering sehingga terasa gurih dan garing.
Sungguh suatu pengalaman kehangatan kesederhanaan masyarakat lokal dan kenikmatan kuliner kekayaan alam lokal yang tak terlupakan.
Desa Gerlang
Setelah mengisi kembali persediaan air masing-masing, kami pun pamit dan melanjutkan perjalanan ke menuju Desa Gerlang, yang desas-desusnya punya tanjakan lebih kejam dari rute Blado yang sudah kami lewati.
Menyusuri menanjak melewati beberapa rumah warga tertata apik di sisi kiri kanan jalan desa. Ternyata benar saja, setelah melewati Forest Kopi, terlihat tanjakan terjal meliuk ke kiri. Apa boleh buat, dengan gear paling ringan kami berempat mencoba menikmati tanjakan berbentuk huruf “S” dengan kondisi jalan juga hanya sebagian beton dan bebatuan.
Lanjut memasuki hutan lindung, kami sempat berhenti sejenak sambil menunggu Om Sani yang masih di belakang kami berjuang meniti terjal. Daniel sempat berujar ini sudah ketinggian sekitar 1600 MDPL dan kabut sudah mulai turun. Om Sani di belakang perlahan muncul mengayuh diiringi kabut dan sorakan kami menambah semangat beliau.
Perjalanan kami lanjutkan meniti tanjakan serasa tiada akhir dan semakin terjal saja rasanya. Dari kejauhan nampak rute menukik tegak melingkari pekebunan di Desa Gerlang dengan kondisi aspal kasar bahkan sebagaian batu lepas menanti. Kami pun berhenti sejenak untuk ambil ancang-ancang serta mengatur nafas.
Sambil berhenti minum sejenak, kami memperhatikan satu persatu mobil yang lewat menanjak jalan itu. Semua mobil yang lewat menyisakan suara mesin meraung seakan merayapi tiap jengkal permukaan rute sadis ini sambil mengerang. Untungnya nyali kami tidak ciut, justru ini menarik untuk dilalui.
Sepuluh menit berlalu, kami putuskan untuk lanjut. Om Tito di depan, saya dan kemudian Om Roi serta Om Sani melaju perlahan menanjak. Posisi badan yang nyaris rata dengan handlebar sambil mengimbangi roda depan yang beberapa kali mulai terangkat. Ini sungguh menguras tenaga sementara jantung bekerja semakin keras saat badan membungkuk.
Di tengah tanjakan, kami bertemu Om Octav menyusul. Sungguh kejutan dan senang sekali bertemu beliau. Suasana lebih ceria di tengah perjuangan melewati rute tanjakan ini. Kami berhenti sejenak berfoto dengan Om Octav dan beberapa ibu-ibu petani yang pulang dari kebun. Perjalanan pun kami lanjutkan mengayuh perlahan melewati rute meliuk terjal menanjak serasa tiada akhir.
Di sebelah kiri terlihat kabut berarak menuruni tangga langit menuju pedesaan di lereng bukit, seakan berada di negeri di atas awan. Rute pun makin menggila, tapi kami tidak terasa lelah karena terbayar pemandangan luar biasa ini. Di ujung tanjakan terlihat jembatan dan beberapa rumah, artinya sebentar lagi kami memasuki ujung Desa Gerlang.
Terlihat di sebelah kiri mobil Toyota Avanza hitam bernomor polisi Jakarta berhenti karena mogok disebabkan overheating. Para penumpang mobil itu keluar sambil sempat berfoto dan menyemangati saya. Saya pun membalas sambil tersenyum “Saya juga dari Jakarta kok Pak.” Di ujung gapura desa sudah terlihat Om Roi, Om Burhan dan Daniel menunggu di sisi kiri jalan.
Sementara Om Tito sudah menghilang entah kemana. Saya pun berhenti sejenak menunggu Om Sani dan Om Didik di belakang. Sambil bercengkrama, pandangan mata saya tertuju pada jejeran rumah-rumah permanen warga desa yang umumnya dua tiangkat tertata apik menandakan kemakmuran warga yang mayoritas merupakan petani kentang.
Nampak pula mobil truk berhenti di tepi jalan desa sedang dimuati kentang untuk dijual di kota-kota sekitar Jawa Tengah.
Tanjakan Mbaris
Selepas istirahat sejenak, kami pun beranjak melanjutkan perjalanan ke Bukit Sikendil melewati jalan yang kondisinya relatif lebih mulus dan tanjakannya pun tidak terlalu berat membuat kami merasa lebih bersemangat dan ceria memasuki jalan ini.
Setelah melewati puncak bukit, terlihat jalan sudah semakin menurun. Sambil recovery, sepeda kami pacu hingga kecepatan 45 km/jam meliuk turun hingga persimpangan ke arah Batur. Sesampainya di Batur, perut mulai terasa lapar lagi. Rasanya semua makanan yang saya santap tadi di rumah Pak Trisno langsung lenyap tak bersisa di perut saya terhisap habis di tanjakan Desa Gerlang.
Melewati Kota Batur, nampak jejeran rumah makan tradisional seolah menyapa untuk berhenti sejenak dan bersantap. Apalagi teringat pagi tadi Om Burhan sempat bercerita ada makanan enak di Batur, saya pun sempat berhenti dan bertanya pada teman-teman mau berhenti untuk makan atau lanjut.
Merekapun berkata untuk lanjut saja dan makan nanti di Dieng. Dengan kayuhan agak melemah, saya pun melanjutkan melewati rute turun dan naik tipikal khas pegunungan Dieng. Om Tito disamping saya berkelakar, “Mudah-mudahan kita gak lewat tanjakan Irung Petruk ya Om Vary.”
Saya menyahut, “Iya Om, soalnya saya juga udah agak lemes nih.” Sepeda saya kayuh sudah dengan gear yang agak ringan supaya tidak telalu menguras tenaga. Dan benar saja, Om Tito berujar “Wah ini dia tanjakannya.” “Ya ampun…!” jerit saya dalam hati.
Dengan tenaga tersisa, saya pun mencoba tetap mengayuh. Di tengah tanjakan saya pun berhenti sejenak mengatur nafas dan lanjutkan lagi sekuatnya. Terlihat Om Tito dan Om Roi tetap mengayuh beriringan pelan melewati tanjakan maut ini. Menjelang tikungan tajam, saya pun putuskan berhenti dan menuntun sepeda hingga ujung tanjakan.
Istri Om Didik terlihat sudah menunggu kami di sana, mengamati barangkali salah satu dari kami perlu bantuan. Dengan napas terengah sampai juga saya di ujung tanjakan yang belakangan baru saya tahu terkenal dengan nama tanjakan Mbarisan itu sambil memandang ke bawah mencari Om Sani dan Om Didik yang masih di belakang.
Di kejauhan nampak Om Sani dan Om Didik masih berjuang mendaki tanjakan ini. Dengan susah payah mendorong sepeda, sampai juga Om Sani dan Om Didik di ujung tanjakan. Sungguh semangat juang yang luar biasa dari mereka berdua.
Pisang Rebus dan Gula Jahe
Selepas tanjakan, terlihat mobil Om Burhan dan Daniel di sisi kiri jalan. Perlahan saya berjalan menuju mereka untuk berhenti sejenak di tengah tenaga makin lunglai. Sambil bercengkrama dan bercanda, saya sempatkan makan pisang rebus yang dibawa dari rumah Pak Trisno dan sepotong gula jahe oleh-oleh khas Dieng yang dibawa oleh istrinya Om Didik.
Menu ini sempat saya tolak pada perhentian pertama di Bandar. Berhubung lapar yang sangat, saya lahap pisang rebus sambil gigit gula jahe. “Astaga! ini enak banget” ujar saya. Tak terasa empat potong pisang rebus dan potong gula jahe saya lahap sudah.
Duduk santai sejenak melepas lelah di atas potongan kayu di pinggir jalan sambil menatap hamparan kebun sayur di lembah Batur. Sementara jam sudah menunjukan pukul 15.30, kami lanjutkan perjalanan dengan menyisakan satu tanjakan yang tidak kalah terjal dari tanjakan Mbarisan tadi.
Tapi sebelum lebih jauh, beberapa dari kami hendak sholat Ashar. Maka kami pun mencari masjid di sekitar perjalanan. Tak begitu jauh, nampak di sebelah kanan masjid yang cukup besar. Kami pun putuskan untuk berhenti sejenak untuk sholat.
Saya dan Om Roi yang tidak menjalankan sholat menunggu di pelataran masjid. Sesudah Om Didik, Om Sani dan Om Tito selesai menjalankan sholat, saya dan Om Roi masuk ke toilet pria untuk membasuh kaki. Itu dingin air membasuh betis seakan menyeka asam laktat di kedua betis yang mencengkram sepanjang jalan tadi perlahan sirna.
Tanjakan Menara BTS
Fisik serasa bugar kembali, saya pun siap lanjutkan perjalanan. Kemudian Om Roi, Om Tito, Om Sani dan Om Didik lebih dulu keluar dari masjid melaju perlahan meniti tanjakan panjang pamungkas menuju Dieng. Sambil mengatur napas dan menjaga stabilitas kayuhan, saya pelan menyusul paling belakang.
Dari kejauhan nampak menara BTS provider telekomunikasi berdiri angkuh menyambut. Seakan gapura terpancang megah pertanda pintu masuk negeri para dewa dataran tinggi Dieng. Tak terasa kayuhan perlahan tanpa henti dengan energi baru mengantarkan saya pada akhir tanjakan.
Lalu saya berhenti sejenak menunggu Om Sani di belakang. Sembari menunggu, teringat anak dan istri di Jakarta untuk setidaknya berkabar. Saya pun menyapa anak dan istri lewat video call melepas rindu, sekedar menenangkan mereka bahwa saya baik-baik saja.
Dieng Negeri Para Dewa
Sekitar sepuluh menit berlalu menunggu, Om Sani perlahan terlihat muncul di punggung tanjakan. Beliau terlihat lelah tapi tetap bersemangat. Setengah bercanda, saya dan Om Roi memotivasi beliau bahwa tinggal dua tanjakan pendek di depan, setelah itu kita sampai di Dieng.
Tak lama perjalanan kami lanjutkan, ternyata masih ada tiga dan bukan dua tanjakan. Ini yang membuat Om Sani dalam nada bercanda sedikit marah ke Om Roi. Di sebelah kiri jalan tampak papan nama PLTP Dieng, artinya setelah tanjakan di depan kantor perusahaan pembangkit tenaga listrik tenaga panas bumi ini kami sudah tiba.
Gugusan asap putih uap panas yang keluar dari perut bumi menyeruak di bukit sebelah kiri kami laksana permadani negeri para dewa. Alam dengan kebijakannya menyuguhkan manfaat sebesarnya bagi kehidupan manusia, sementara manusia lebih banyak membalas kebaikan alam dengan sebaliknya.
Dalam kerendahan hati serta bersyukur pada kemurahan Tuhan, kami tiba di Dieng. Negeri para dewa, konon kabarnya cikal bakal berdirinya Wangsa Mataram Kuno (Sanjaya dan Syailendra) yang mencapai puncaknya pada abad ke-8.
Dieng berasal dari bahasa Sansekerta “Di” yang artinya tempat yang tinggi atau gunung dan “Hyang” yang artinya leluhur atau dewa-dewa. Namun kini menjadi kota kecil dengan ketinggian 2000 MDPL yang marak dengan penginapan-penginapan dengan harga terjangkau dan beberapa warung kopi ala kota di kiri kanan jalan.
Oleh Kalvari D.H. Situmorang, Goweser Enthusiast