Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Setelah gagal menguasai KPK, setelah gagal intervensi (Ketua) KPK, setelah gagal menghentikan penyidikan kasus korupsi e-KTP Setya Novanto, Jokowi akhirnya mengambil cara frontal dan brutal untuk menguasai KPK sepenuhnya.
Jokowi melakukan perubahan UU KPK (UU No 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU No 30/2022 tentang KPK) yang isinya mencopot independensi KPK, dan menjadikan KPK di bawah pengaruh kekuasaan Presiden.
Masyarakat menolak keras perubahan UU KPK yang bersifat tirani ini, sampai terjadi korban jiwa.
Perubahan UU KPK tersebut, yang membuat KPK di bawah pengaruh kekuasaan Presiden, mengkhianati salah satu tuntutan pokok reformasi. Yaitu, menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang hanya bisa dilakukan secara efektif melalui lembaga pemberantasan korupsi, atau KPK, yang independen.
Penanggalan independensi KPK secara menyeluruh dilakukan melalui dua tahap. Pertama, Jokowi secara eksplisit menempatkan KPK di bawah kekuasaan Presiden, dengan mengubah Pasal 3 UU KPK. Kedua, Jokowi mengambil alih wewenang KPK dengan menempatkan Dewan Pengawas yang mempunyai wewenang di atas pimpinan KPK. Artinya, pimpinan KPK dibuat sebagai subordinat (bawahan) Dewan Pengawas.
Baca juga: Jejak Intervensi Pemberantasan Korupsi oleh Jokowi (Bagian 1)
Pasal 3 UU KPK awalnya berbunyi: “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.”
Kemudian diubah menjadi: “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Kalimat “dalam rumpun kekuasaan eksekutif” menunjukkan Jokowi klaim secara eksplisit bahwa KPK berada di bawah pengaruh kekuasaan Presiden.
Kemudian, semua kata “independen” lainnya di dalam UU KPK dihapus, baik di butir Menimbang maupun di dalam Penjelasan atas UU. Penghapusan kata “independen” ini mengukuhkan bahwa KPK bukan lagi sebagai lembaga independen.
Tidak cukup klaim “dalam rumpun kekuasaan eksekutif”. Jokowi mau pastikan wewenang KPK benar-benar dicabut sampai keakarnya. KPK diwajibkan minta izin tertulis dari Dewan Pengawas, apabila mau melakukan penyadapan, penggeledahan, atau penyitaan.
Ketentuan ini sangat tidak lazim. Dewan Pengawas pada prinsipnya bukan atasan pimpinan KPK. Karena, pimpinan KPK merupakan organ tertinggi di lembaga KPK. Bagaimana bisa, pimpinan KPK sebagai organ tertinggi minta izin kepada Dewan Pengawas?
Artinya, ketentuan ini bersifat sewenang-wenang, tidak ada dasar hukumnya, dan secara sadar dan sengaja membuat KPK lumpuh.
Selanjutnya, Ketua dan anggota Dewan Pengawas KPK yang berjumlah 5 orang diangkat dan ditetapkan oleh Presiden.
Mekanisme seperti ini membuat KPK berada di bawah pengaruh kekuasaan Presiden secara mutlak, melalui Dewan Pengawas sebagai kepanjangan tangan Presiden. Dengan begitu, KPK praktis tidak mempunyai daya untuk melakukan pemberantasan korupsi secara efektif.
Cara di atas, yang membuat KPK lumpuh total, merupakan cara yang sangat brutal. Melanggar prinsip, semangat dan jiwa reformasi yang dituangkan di dalam TAP MPR Anti-KKN, yang menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang merdeka dan independen, tidak di bawah pengaruh kekuasaan manapun, dan bertanggung jawab kepada masyarakat.
Cara brutal ini juga melanggar konsep trias politica yang memisahkan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, sebagai prinsip dasar hukum konstitusi Indonesia.
Kekuasaan yudikatif di dalam konstitusi disebut Kekuasaan Kehakiman. Di dalamnya termasuk lembaga dan aparat penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, dan juga profesi advokat.
Pasal 24 ayat (1) UUD menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Hal ini juga ditegaskan di dalam UU Kekuasaan Kehakiman, dan UU Kejaksaan.
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka seharusnya juga berlaku untuk lembaga KPK sebagai lembaga penegak hukum dan peradilan, seperti dimaksud UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 24 UUD.
Sebagai perbandingan, Kejaksaan Agung yang jelas-jelas disebut sebagai bagian dari eksekutif di dalam UU No 16/2004 tentang Kejaksaan, tetapi ditegaskan sebagai lembaga yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan Presiden atau lainnya.
Penjelasan atas UU No 16/2004 menyatakan: “Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya.
Selanjutnya, Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.”
Artinya, Jaksa Agung tidak perlu minta persetujuan dari siapapun, termasuk dari Presiden, dalam melaksanakan tugasnya, antara lain penindakan kasus korupsi, melakukan penggeledahan atau penyitaan.
Karena itu, selain melanggar TAP MPR, perubahan UU KPK di atas melanggar konstitusi terkait pemisahan kekuasaan yudikatif yang diatur di dalam Pasal 24 UUD, bahwa lembaga dan aparat penegak hukum merupakan pihak yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan Presiden.
Perubahan UU KPK mengakibatkan pemberantasan korupsi gagal, dan praktek korupsi, Kolusi, dan Nepotisme semakin menggila. Terbukti, indeks korupsi anjlok dari 40 (2019) menjadi 37 (2020), dan anjlok lagi menjadi 34 (2022).
Kegagalan pemberantasan korupsi ini membuat kerugian keuangan negara dan perekonomian negara mencapai hingga ratusan triliun rupiah.
[***]