Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Kesaksian Agus Rahardjo, Ketua KPK 2015-2019, di KompasTV (30/11/23) mengguncang istana dan senayan. Agus Rahardjo memberi kesaksian, Jokowi minta kasus penyidikan korupsi e-KTP Setya Novanto dihentikan. Artinya, Jokowi telah melakukan intervensi terhadap KPK, dan berupaya menghalangi pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kemudian, DPR mulai menanggapi kemungkinan menggulirkan hak interpelasi. Yaitu hak DPR untuk menyelidiki apakah Jokowi benar melakukan intervensi kasus korupsi.
Sebelumnya, Jokowi memang sudah terbaca mempunyai niat (mens rea?) untuk melemahkan pemberantasan korupsi yang merupakan amanat reformasi, melalui ketetapan (TAP) MPR No XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (TAP Anti-KKN), yang kemudian melahirkan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Kemudian, TAP MPR Anti-KKN tersebut diperkuat dengan TAP MPR No VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Semua itu akhirnya melahirkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), yang diposisikan sebagai lembaga negara yang independen, yang mempunyai tugas khusus untuk melakukan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme secara tegas terhadap siapapun, termasuk Presiden. Oleh karena itu, KPK tidak boleh berada di bawah, dan tidak tunduk pada, pengaruh kekuasaan Presiden.
Hal ini dituangkan di dalam Pasal 3 UU KPK, yang berbunyi: “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.”
Di dalam Pandangan Umum UU KPK juga dijelaskan: “Penegakan hukum …. Konvensional …. terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan … pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, …”
Dan dipertegas lagi: “Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang …. terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.”
Oleh karena itu, pemilihan pimpinan KPK dilaksanakan oleh Panitia Seleksi yang independen, di mana hasil seleksinya kemudian diberikan kepada presiden. Setelah itu, Presiden akan memilih dan menyerahkan 10 nama calon pimpinan KPK (2 kali jumlah pimpinan KPK) kepada DPR. Dari 10 nama calon pimpinan KPK tersebut, DPR akan memilih dan menetapkan 5 pimpinan KPK.
Proses rekrutmen pimpinan KPK seperti itu menunjukkan KPK sebuah lembaga negara independen, di mana keanggotaan pimpinannya tidak diangkat oleh Presiden, dan tidak tunduk di bawah kekuasaan manapun, termasuk Presiden.
KPK sebagai lembaga independen nampaknya membuat Jokowi kurang nyaman. Jokowi terlihat jelas ingin menguasai KPK, dan membuat KPK berada di bawah kekuasaan Presiden.
Langkah “kecil” pertama yang dilakukan Jokowi adalah menerbitkan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) pada 18 Februari 2015, yaitu hanya 4 bulan setelah dilantik sebagai Presiden. Isi PERPPU pada dasarnya memberi wewenang kepada Presiden untuk mengangkat pimpinan KPK ketika terjadi kekosongan jabatan pimpinan KPK.
“Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyebabkan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berjumlah kurang dari 3 (tiga) orang, Presiden mengangkat anggota sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sejumlah jabatan yang kosong.”
Artinya, tata cara pengangkatan pimpinan KPK yang diatur di dalam PERPPU, dilakukan tanpa proses panitia seleksi, tanpa persetujuan DPR, dan tanpa partisipasi masyarakat, jelas melanggar UU KPK, dan melanggar prinsip KPK sebagai lembaga independen yang tidak tunduk terhadap kekuasaan manapun, seperti dimaksud TAP MPR, UU Tipikor, dan UU KPK.
Kalau benar sampai terjadi kekosongan jabatan paling sedikit 3 pimpinan KPK, maka Jokowi bisa mengangkat orangnya, dan menguasai mayoritas pimpinan KPK yang terdiri dari 5 orang, sehingga membuat KPK praktis di bawah atau tunduk pada kekuasaan Presiden, secara personalia.
Tetapi, upaya awal untuk menguasai KPK tersebut, hanya 4 bulan setelah dilantik, tidak berjalan lancar. Karena sampai 2019 tidak pernah ada kekosongan jabatan pimpinan KPK.
Tidak lama kemudian terjadi insiden Agus Rahardjo, yang pada dasarnya membongkar motif atau niat Jokowi untuk menguasai KPK yang sesungguhnya. Sepertinya untuk melindungi dan menghalangi pemberantasan korupsi?
Dua peristiwa tersebut di atas, yaitu insiden Agus Rahardjo dan PERPPU KPK tentang pengisian kekosongan jabatan pimpinan KPK, menunjukkan bahwa niat untuk intervensi KPK dan menghalangi pemberantasan korupsi sudah dibuktikan dengan tindakan nyata (actus reus?).
Bersambung – KPK Dalam Cengkeraman Presiden
[***]