KedaiPena.com – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai akuisisi saham Freeport sebesar 51 persen tak berdampak pada menguatnya kedaulatan pemerintah Indonesia untuk mengatur Freeport, agar taat dan patuh pada hukum dan peraturan yang berlaku.
“Sedang berlangsung pagelaran pelanggaran hukum yang dilakukan secara bersama oleh korporasi dan negara dengan melakukan pembiaran atas praktik kejahatan tanpa adanya penegakan hukum. Hal ini jelas menunjukkan pembangkangan oleh korporasi–negara secara terang-terangan terhadap konstitusi UUD 1945,” kata Kepala Divisi Hukum JATAM, Muhammad Jamil, mengutip keterangan tertulis JATAM, Minggu (5/2/2023).
Ia menyebutkan pembiaran atas seluruh tindak kejahatan itu tidaklah mengherankan, sebab, pemerintah Indonesia telah berkali-kali kehilangan akal sehat dan tunduk pada Freeport.
“Pertama, saat Presiden Megawati pada 2004 menerbitkan Keppres yang melegalkan 13 perusahaan tambang yang lahannya tumpang tindih dengan hutan lindung, diizinkan melanjutkan kegiatan operasionalnya di kawasan tersebut hingga kontraknya berakhir, Freeport menempati nomor urut pertama,” urainya.
Kedua, Kementerian ESDM RI, menghapus Permen ESDM Nomor 11/2014 dengan mengeluarkan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2016, yang akhirnya memberikan keleluasaan bagi Freeport untuk tetap melakukan ekspor bahan tambang mentah konsentrat ke luar negeri.
Ketiga, Kementerian LHK yang kehilangan akal sehat pada 2018, saat menemukan 22 kegiatan melanggar Amdal, salah satunya perluasan ukuran tambang terbuka grasberg dari 410 hektar menjadi 584 hektar, menjadikan lima sungai sebagai tempat pembuangan limbah beracun (merkuri dan sianida), bukannya melakukan penegakan hukum, justru malah menerbitkan surat agar Freeport menyusun Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH).
“Keempat, temuan BPK yang menyebutkan terdapat kerugian negara mencapai Rp185 triliun akibat saat operasi produksi, Freeport menggunakan kawasan hutan lindung seluas minimal 4.535 hektar tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH),” urainya lagi.
Adapun terkait konflik horizontal akibat siasat licik Freeport yang hanya memilih orang-orang tertentu untuk membicarakan AMDAL yang menjadi syarat terbitnya perizinan lingkungan dan dokumen-dokumen lain terkait aktivitas tambang, juga menyalahi aturan.
“Model pelibatan masyarakat ala Freeport adalah salah secara hukum, melanggar ketentuan Pasal 26 UU PPLH 32/2009 dan turunannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 17/2012 Tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Amdal dan Izin Lingkungan. Jika proses tersebut tetap diteruskan oleh Freeport bersama Menteri LHK maka amdal dan perizinan lingkungan yang dihasilkan cacat prosedur dan cacat yuridis sehingga harus batal demi hukum,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa