PENDEKATAN historis memberi pelajaran bagaimana Pancasila digodok, dibahas, bahkan diperdebatkan hingga menghasilkan rumusan akhir Pancasila saat ini.
Pertarungan politik juga tercermin di sana. Aliran terkuat adalah “Kebangsaan” dan “Islam”.
Kebangsaan berspirit sekuler sedangkan Islam didukung oleh kekuatan keagamaan.
Perjuangan politik umat Islam saat itu adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 maka akhir rumusan adalah sebagaimana yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Umat Islam telah memberi “hadiah” pada bangsa. Pancasila disepakati sebagai dasar penyelenggaraan Negara.
Kini yang secara simbolik menyatakan “Aku Pancasila” atau “Pancasila Harga Mati” atau sejenisnya itu mengarahkan tudingannya kepada umat Islam.
Bahwa kekuatan umat Islam itu radikal dan intoleran serta menjadi “bahaya Pancasila”.
Tuduhan yang kadang seenaknya dan tidak bertanggungjawab. Sebenarnya justru mereka yang berteriak paling Pancasila itu perlu membuktikan diri faham atau tidak tentang makna ideologi negara ini.
Jangan-jangan seperti orang yang sedang mabuk alias “teler” teriak “Aku Pancasila” sambil sempoyongan dengan mulut bau alkohol. Tak ngerti omongan sendiri.
Karena tidak faham sejarah tapi sok faham maka Pancasila jadi berhala baginya.
Gampang menuduh orang lain “tidak Pancasilais”, “anti Pancasila”, “bahaya Pancasila” dan lainnya.
Lucunya itu sebutan ditujukan pada umat Islam yang dalam kesejarahannya justru berjasa besar bagi kelahiran Pancasila itu sendiri.
Penyembah berhala Pancasila ini adalah kaum jahiliyah musyrikin, kafirin, munafikin.
Kaum sekuler dan komunis berlindung di Pancasila untuk mengamankan diri. Agama dimusuhi dan di pecah belah.
Pancasila menjadi senjata sekaligus benteng persembunyian untuk misi sesat. Memperkuat kekuasaan dengan menciptakan musuh buatan yang disebut radikalisme, intoleran, ekstemisme bahkan terorisme.
Penuh dengan prasangka dan kebencian menuduh bahwa kaum beragama adalah anasir berbahaya. Mengancam Pancasila.
Moderasi, toleransi, dan “pengambangan” nilai adalah racun yang disuntikan kepada umat Islam untuk melumpuhkan kekuatan.
Pancasila merupakan kesepakatan, perjanjian, dan keseimbangan politik. Bukan berhala. Karenanya dahulu ada diskursus Pancasila sebagai ideologi terbuka yang bisa didiskusikan.
Hanya orang komunis yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Lalu dengan doktrin “membela Pancasila” semakin anti pada agama.
Umat Islam apalagi tokoh tokoh Islam tak mungkin berkhianat terhadap produk yang dibuat bersama dan disepakati. Nabi mengajarkan demikian.
Pengkhianat itu adalah mereka yang lupa akan kesepakatan, memberhalakan Pancasila, memperalat Pancasila, menghalalkan segala cara, korup, sewenang wenang, curang, antek asing, memeras rakyat dengan pajak dan kenaikan tarif, serta kolusi jabatan dengan pelaku usaha.
Mereka itulah yang berlindung dan sembunyi di bawah bendera Pancasila.
Penghianat itu mengarahkan telunjuknya ke arah umat, ulama, tokoh, dan aktivis Islam lalu teriak siapa tak setuju Pancasila keluar dari Indonesia.
Angkuh dan merasa negeri ini milik mbahnya sendiri. Tidak sadar bahwa di bawah ketiak mereka sembunyi aktivis komunis yang nyaman dan menikmati hidup ber Pancasila.
Merekalah yang seharusnya segera diusir dari posisi penting negara, wakil rakyat, atau orang dekat penentu negara. Komunis itu dilarang oleh Undang-undang.
Dasar pemenjaraannya sangat kuat bukan justru diberi kebebasan untuk meracuni rakyat dengan penipuan dan penggelapan.
Komunis bergerak diam-diam di bawah bendera Pancasila. Mengacak-acak perasaan umat beragama. Sementara sang “Badan Pembina” sepertinya kurang kerjaan dan hanya makan gaji buta.
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik, Tinggal di Bandung