NEGARA konstitusional adalah syarat negara modern dan demokratis. Konstitusi UUD harus menjamin dan melindungi bangsa kita secara demokratis, berdaulat, berkemakmuran, dan berkeadilan. Proses perubahan UUD kini sedang ditangani Badan Pengkajian Ketatanegaraan yang dibentuk MPR.
Salah satu amanat gerakan reformasi 98 adalah tuntutan Amandemen UUD45 dengan catatan: tidak lagi memberi jalan munculnya penguasa despotik dan otoriter tanpa pengawasan dan kekuatan pengimbang; tidak lagi memberi jalan terhadap setiap upaya monopoli ekonomi serta penjarahan SDA oleh pihak asing (/aseng) dalam industri dan perdagangan; tidak ada lagi “regulasi pesanan” yang dibungkus agenda privatisasi dan globalisasi.
Agenda lain adalah mengadili rezim Soeharto yang telah menyebabkan kemunduran sehingga bangsa kita kehilangan momentum lompatan kemajuan seperti negara kawasan Asia; RRC, Malaysia, Korsel dan Singapura. Kini kita harus menebus dengan kerja dan kerja sampai rakyat sendiri yang ngos-ngosan demi  mengejar ketertinggalan itu sambil merevitalisasi prinsip kedaulatan bangsa yakni Trisakti.
Kemajuan ekonomi dan teknologi tanpa kedaulatan bangsa dan kesejahteraan rakyat menengah-kebawah ibarat orang berlari tak tentu arah. Perubahan dan kemajuan bangsa harus memiliki fondasi ideologis yakni Pancasila.
Secara umum ada 2 kutub kepentingan dalam pembahasan Amandemen UUD, pertama: penguatan peran dan fungsi DPD dengan melanjutkan Amandemen 2002. Kedua, Amandemen terbatas dengan memfungsikan kembali GBHN atau konsep Pembangunan Semesta Berencana sebagai pola pedoman pembangunan nasional secara menyeluruh.
Suasana psikologis para elit politik yang labil dan saling curiga membuat pembahasan perubahan UUD menjadi tidak progresif dan jauh dari suasana kebatinan seperti para pendiri bangsa dahulu. Tarik menarik kepentingan pribadi, kelompok, dan partai lebih dominan.
Salah satu produk Amandemen adalah kasus PILGUB DKI yang telah menciptakan kontroversi yang memicu sentimen SARA yang reaksioner dan kekanak-kanakan. Perang opini yang muncul merupakan Politik adu kuat amunisi sebagai panglima.
Untuk itu kami menyikapi kisruh Pilgub DKI dan fenomena insubordinasi dan arogansi kepala daerah atas nama otonomi daerah telah memperlemah nasionalisme, kerukunan dan harmoni sosial.
Kepala negara tidak boleh didikte oleh Cagub manapun termasuk Ahok. Karena itu, Polarisasi horisontal dalam Pilkada harus dicegah karena memperlemah nasionalisme dan pluralisme bangsa.
Badan Pengkajian MPR yang menggodok perubahan UUD45 wajib berpikir keras dan mendalam serta penuh kesungguhan hati memikirkan nasib bangsa, terutama kalangan menengah-kebawah yang hidupnya kembang-kempis. Para elit politik seharusnya menjadi teladan mengecilkan ego personal, kelompok, golongan, demi kedaulatan bangsa dengan tidak menjadi antek asing (/aseng) dengan melahirkan perubahan konstitusi yang modern, demokratis dan berjiwa proklamasi 1945.
Arus balik untuk kembali ke UUD45 asli sulit dibendung apabila para elit politik gagal fokus merumuskan perubahan UUD. Pilihan alternatif reformasi konstitusi yakni: Kembali Ke UUD 45 asli cukup dengan adendum pasal Pemilihan Presiden secara langsung, bukan tidak mungkin terjadi apabila setiap orang baik yang pro demokrasi dan yang cinta NKRI turun kejalan, Â bersatu memperjuangkannya.
Oleh Bob Randilawe, Ketua Majelis Jaringan Aktivis Prodemokrasi