Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
EKONOMI Indonesia 2020 kontraksi. Alias pertumbuhan minus. Dibandingkan periode sama tahun sebelumnya, pertumbuhan triwulan II dan triwulan III 2020 minus 5,32 persen dan minus 3,49 persen. Secara kumulatif, pertumbuhan per akhir September 2020 minus 2,02 persen.
Resesi masih berlanjut. Pertumbuhan triwulan IV 2020 diperkirakan masih minus. Ekonomi 2020 bisa minus 2,5 persen.
Di tengah kondisi badai covid-19 yang belum mereda, bahkan memburuk, pemerintah memperkirakan ekonomi 2021 akan naik 5 persen. Ada yang berpendapat ini hanya ilusi. Bagaikan pungguk merindukan bulan. Karena, faktor apa yang bisa membuat ekonomi 2021 tumbuh 5 persen? Sulit dimengerti.
Mungkin angka ini diadopsi dari Institusi internasional yang memperkirakan ekonomi Indonesia akan rebound dengan huruf V. Artinya, ekonomi 2021 akan meroket, dengan pertumbuhan setidak-tidaknya 4,5 persen.
Pertama-tama mari lihat kinerja ekonomi 2020.
Per akhir September 2020, (nilai nominal) ekonomi Indonesia, tanpa ekspor dan impor, turun Rp468,4 triliun: dari Rp11.869,8 triliun per September 2019 menjadi Rp11.401,4 triliun per September 2020. Penurunan ini sudah termasuk stimulus fiskal, dengan defisit anggaran Rp682,1 triliun, dan kenaikan Belanja Negara Rp246,6 triliun.
Sedangkan proyeksi sampai akhir tahun 2020 (tanpa Ekspor dan Impor) diperkirakan penurunan makin besar, menjadi Rp600 triliun. Dengan defisit anggaran sekitar Rp1.000 triliun dan Belanja Negara Rp2.550 triliun.
Di tengah keterpurukan ini, pemerintah mengatakan ekonomi 2021 akan tumbuh 5 persen. Artinya, ekonomi 2021 akan lebih besar dari ekonomi 2020, dan juga lebih besar dari ekonomi 2019. Artinya, ekonomi 2021 akan bertambah paling sedikit Rp1.000 dibandingkan tahun 2020.
Pertanyaannya, dapat dari mana tambahan Rp1.000 triliun ini? Konsumsi masyarakat? Stimulus fiskal (Belanja Negara)? Investasi? Apakah mungkin total semua itu akan bertambah Rp1.000 triliun? Sedangkan semua faktor menunjukkan belum pulih. Malah bisa semakin jeblok.
Pertama, covid-19 di Indonesia semakin memburuk. Positive rate, yaitu tingkat terinfeksi terhadap test, melonjak melebihi 20 persen. Masyarakat, khususnya kelompok menengah atas, semakin khawatir dengan cara pengendalian yang dianggap gagal. Gelombang covid pertama tidak kunjung melandai. Kini gelombang kedua yang semakin ganas sudah menanti.
Kedua, Kegagalan pengendalian covid-19 akan menghambat konsumsi masyarakat kelas menengah atas. Kelompok ini mempunyai daya beli kuat, mempunyai tabungan. Pelambatan konsumsi kelompok ini akan menyeret ekonomi ke bawah. Membuat bisnis dan ekonomi stagnan, menghambat penciptaan lapangan kerja.
Sedangkan daya beli masyarakat pekerja dan sektor informal masih lemah. Tingkat pengangguran masih tinggi. Belum ada penambahan lapangan kerja. Kelompok masyarakat bawah ini menunggu stimulus fiskal dan bantuan sosial tunai untuk mempertahankan konsumsi.
Ketiga, stimulus fiskal 2021 tidak mempunyai daya ungkit. Tidak ekspansif. Malah cenderung kontraktif. Defisit anggaran 2021 sekitar Rp1.000 triliun relatif sama dengan tahun sebelumnya. Beban bunga semakin besar. Bisa mencapai Rp350 triliun hingga Rp375 triliun. Dan semakin buruk kalau rencana Bank Indonesia menghentikan burden sharing menjadi kenyataan. Artinya, Bank Indonesia tidak lagi membeli surat utang negara di pasar primer dengan suku bunga nol persen.
Keempat, stimulus moneter juga tidak efektif. Bahkan kontraktif. Suku bunga pinjaman komersial masih tinggi. Kredit macet 2020 sebenarnya tinggi. Tapi dibuat seolah-olah lancar melalui kebijakan ‘relaksasi kredit’. Artinya, nasabah boleh menunda pembayaran bunga dan cicilan yang jatuh tempo sampai medio 2021 tanpa dianggap kredit macet.
Tapi, kebanyakan nasabah belum bisa membayar bunga dan cicilannya pada 2021. Kalau dipaksakan, akan terjadi kontraksi besar-besaran. Uang masyarakat akan tersedot ke sektor keuangan. Ekonomi akan anjlok. Sepertinya, ‘relaksasi kredit’ harus diperpanjang. Kalau tidak, kredit macet dan sita jaminan akan menumpuk.
Di sisi lain, kalau ‘relaksasi kredit’ terjadi, sektor keuangan akan kekurangan likuiditas karena penerimaan bunga dan cicilan tertunda lagi. Dalam hal ini, pemerintah harus menyediakan dana talangan sektor keuangan. Utang pemerintah akan membesar. Buah simalakama.
Selain itu, suku bunga pinjaman yang masih tinggi akan menghambat konsumen untuk belanja barang investasi seperti sepeda motor, mobil, properi, TV, lemari es, mesin cuci, etc.
Keenam, investasi korporasi tergantung dari tingkat konsumsi masyarakat. Kalau konsumsi stagnan, perusahaan belum bisa meningkatkan produksi. Belum bisa ekspansi. Belum bisa hiring. Jadi, jangan berharap kredit korporasi akan bertumbuh. Mereka saat ini dalam kondisi kelebihan kapasitas produksi, sehingga tidak perlu ekspansi.
Kebijakan moneter saat ini dengan suku bunga pinjaman relatif tinggi menjadi kontra produktif dan menghambat pemulihan ekonomi. Menghambat efektivitas kebijakan fiskal.
Terakhir, neraca perdagangan dan transaksi berjalan 2021 akan memburuk. Impor 2021 berpotensi naik karena impor tahun 2020 turun tajam. Oleh karena itu, ekspor dikurangi Impor tahun 2021 akan mengurangi pertumbuhan ekonomi paling sedikit 0,5 persen.
Tekanan utang domestik dan utang luar negeri membayangi ketahanan fiskal. Kebutuhan utang luar negeri semakin besar. Tetapi, ketersediaan pasokan dari kreditor global semakin terbatas. Pemerintah akan mengupayakan utang multilateral dan utang bilateral lebih agresif. Kalau doping gagal, kurs rupiah bisa tergelincir. Tergantung kekurangannya, nilai tukar bisa kembali ke Rp16.000 per dolar AS. Bahkan lebih buruk.
Jadi, dari mana pertumbuhan 5 persen?
[***]