KedaiPena.Com – Penyelesaian kasus yang terjadi di perusahaan plat merah yakini PT Garuda Indonesia jangan hanya fokus pada keberlanjutan usaha atau bisnisnya semata.
Namun harus ada shock terapy untuk mereka yang menyebabkan krisis dengan membawa masalah ini ke ranah hukum.
Demikian disampaikan oleh Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak merespon sejumlah masalah yang menimpa maskapai penerbangan asal Indonesia tersebut.
Menurut Amin, penyebab krisis akut di tubuh Garuda tidak terlepas dari dampak moral hazard yang telah dilakukan pengelola di era sebelum sekarang, baik direksi maupun komisaris.
“Saya minta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi terhadap PT Garuda Indonesia” tegasnya dalam keterangan tertulis, Rabu, (27/10/2021).
Sementara itu, terkait opsi penyelamatan Garuda, Amin menilai kondisi keuangan PT Garuda Indonesia saat ini memang sangat berat.
Hingga Juni 2021 lalu Garuda masih memiliki utang senilai Rp 70 triliun. Utang Garuda akan terus membengkak karena setiap bulan PT Garuda Indonesia secara konsolidasi menderita kerugian sebesar US$ 100 juta atau setara Rp1,4 triliun pada kurs Rp14.000 per US dollar.
Berdasarkan keterangan direksi Garuda saat RDP dengan komisi VI Juni lalu, sumber kerugian antara lain karena Garuda dibebani oleh 101 pesawat sewaan yang kondisinya menganggur (Unutilized asset) dari jumlah 142 pesawat dengan total fixed cost sebesar US$ 82 juta per bulan atau setara Rp1,16 triliun.
Padahal market saat ini hanya memerlukan 41 pesawat saja. Sementara fixed cost untuk 101 pesawat harus tetap dibayarkan dan menjadi utang jika tidak dibayar. Padahal pesawat-pesawat tersebut tidak menghasilkan revenue.
“Untuk BBM saja, Garuda Indonesia juga memiliki tunggakan utang BBM ke Pertamina sebesar Rp 12 triliun,” ujarnya.
Garuda saat ini juga harus menghadapi gugatan pailit dari sejumlah perusahaan. Diantaranya gugatan dari PT Mitra Buana Korporindo terkait utang dengan gugatan sebesar US$ 4,78 milyar atau hampir Rp70 triliun.
Kemudian PT My Indo Airlines terkait tunggakan pembayaran layanan kargo dengan gugatan sebesar US$ 700.539 atau hampir Rp10 milyar.
Selanjutnya gugatan datang dari PT Aircraft Ireland Limited dari negara bagian New South Wales, Australia terkait pembayaran sewa pesawat, juga dari Helice dan Atterisage (Goshawk) di Pengadilan Arbitrase Internasional London terkait pembayaran sewa pesawat.
Melihat fakta-fakta diatas, upaya penyelamatan Garuda memang sangat sulit. Jika negosiasi restrukturisasi utang maupun restrukturisasi sistem sewa (leasing) pesawat menemui jalan buntu, maka pailit menjadi pilihan yang sulit dihindarkan.
“Tidak mungkin semua beban Garuda tersebut diselesaikan lewat Penyertaan Modal Negara (PMN), terlebih kondisi APBN saat ini juga sangat berat,” pungkas Amin.