KedaiPena.Com – Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto meminta, agar pemerintah dapat mendorong berbagai upaya untuk penurunan biaya produksi listrik dari sumber panas bumi. Salah satu yang bisa dilakukan misalnya ialah dengan melalui efisiensi teknologi atau dukungan infrastruktur dan bukan mengandalkan subsidi APBN.
Menurutnya, upaya tersebut sangat penting, agar harga keekonomian listrik dari panas bumi kompetitif dibanding listrik sumber energi lain.
“PKS menilai untuk menghilangkan hambatan keekonomian harga listrik dari sumber energi panas bumi (PLTP), yang masih di atas biaya pokok pembangkitan (BPP) PLN, tidaklah serta-merta dilakukan dengan subsidi Pemerintah atau memberikan dana kompensasi listrik atas selisih biaya tersebut,” ucap Mulyanto dalam keterangan, Rabu, (10/3/2021).
Dirinya menyampaikan ide tersebut bukanlah tidak menarik di tengah kondisi pandemi dimana kebijakan fiskal seharusnya fokus untuk membeli vaksin dan biaya kesehatan masyarakat.
Tidak hanya itu, Mulyanto menuturkan, dengan kondisi fiskal saat ini yang dimana defisit APBN lebih dari 5% PDB, juga sangat kurang masuk akal kalau Pemerintah harus dibebani dengan tambahan subsidi listrik panas bumi.
Dirinya mengatakan, solusi yang menarik justru datang dari pihak industri, yang berupaya menurunkan biaya capital expenditure (Capex) seperti biaya infrastruktur jalan, terutama yang bersifat sosial, yang harus dibangun pengembang serta biaya eksplorasi yang berisiko tinggi.
Dilaporkan bahwa, PLTP Dieng 2 dan PLTP Patuha 2 berhasil menurunkan belanja modal mereka sebesar 20%. Termasuk juga biaya pengeboran yang dapat ditekan di bawah angka US$ 7 juta.
“Ini adalah prestasi yang layak diacungi jempol, karena turunnya biaya Capex secara langsung akan menurunkan harga listrik,” ujar Mulyanto.
Untuk diketahui masalah struktural lemahnya kontribusi listrik dari sumber energi panas bumi adalah harganya yang tidak kompetitif, baik dibanding listrik dari sumber energi batubara maupun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Harga listrik dari sumber batubara atau PLTS, bisa di bawah 7 sen per kWh, bahkan mencapai 4 sen/kWh, namun harga listrik dari sumber panas bumi sulit mencapai angka itu apalagi di bawahnya.
Namun Mulyanto berharap solusinya jangan sekedar potong kompas dengan minta dana kompensasi APBN, untuk menutupi selisih harga tersebut. Serta dirinya menyarankan sektor panas bumi belajar banyak dari PLTS, yang karena perkembangan teknologi harganya terus turun.
Pada tahun 2013 harga listrik dari sumber tenaga surya sebesar 20 sen dolar (per kWh), lima tahun terakhir menjadi 10 sen, dan hari ini PLTS Apung di Cirata harganya 5,8 sen dolar (per kWh). Bahkan, diinformasikan ada calon investor yang berminat untuk investasi pembangunan PLTS di Tanah Air dengan harga listrik hanya 4 sen dolar (per kWh).
“Upaya reduksi capex seperti ini harus mendapat dukungan pemerintah, agar sumber energi panas bumi yang merupakan harta karun nomor dua terbesar di dunia dengan potensi sebesar 24 giga watt (GW), setelah Amerika Serikat yang mencapai 30 GW dapat dioptimalkan. Karena sekarang ini kapasitas terpasang listrik panas bumi baru sekitar 9 % dari potensinya,” pungkasnya.
Laporan: Muhammad Lutfi