Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior.
SALAH satu ciri kekuasaan manipulatif terhadap rakyat, selain banyaknya pemimpin yang pura-pura merakyat, ialah berkembangnya tabiat eufemisme kekuasaan.
Eufemisme ialah kegemaran menghaluskan atau menyamarkan hal-hal yang gagal dan rusak seolah baik-baik saja.
Inilah yang membedakan dengan tabiat para pendiri Republik ini di masa lalu, yang umumnya hidup dalam ‘mission sacre’, semacam kewajiban suci yang mengedepankan etika dan moral dalam berpolitik.
Karakter mereka umumnya tidak dirusak oleh financial capital yang menyuburkan korupsi, nepotisme, suap, dan sogokan, seperti sekarang.
Arnold Brackman, wartawan United Press, pernah menggambarkan watak para pendiri Republik ini umumnya berpandangan maju (enlightened).
Mampu membaca jiwa bangsa dengan tidak berpura-pura merakyat.
Sehingga misalnya Sukarno mampu menghasilkan konsepsi Marhaenisme karena kedekatan dengan rakyat.
Tan Malaka menulis Madilog karena penghayatan terhadap nasib bangsa.
Sutan Sjahrir menulis Renungan Indonesia. Tjokroaminoto menjadi simbolisme Ratu Adil, tumpuan perubahan.
Tjipto Mangunkusumo dokter rakyat yang bersepeda keliling kampung melayani orang miskin.
Esensinya mereka umumnya adalah tokoh yang menjadikan kepemimpinan sebagai pengabdian, yang dengan sadar menempuh Via Dolorosa, yang dalam ungkapan Belanda dikatakan:
“Leiden Is Lijden”.
Itulah sebabnya tokoh nasional Dr Rizal Ramli merasa perlu mengingatkan era pemimpin pura-pura merakyat seperti yang terjadi saat ini harus segera diakhiri.
Sistem politik saat ini ugal-ugalan karena para politisinya hanya bermodal finansial dan selalu membutuhkan cukong.
“Dominasi modal finansial sebagai modal utama politik sangat merusak, karena sistem politik kita ikut model kapitalisme ugal-ugalan ala Amerika, yang selalu perlu cukong,” tegas Rizal Ramli.
Ekonom senior ini membandingkannya dengan sistem politik Eropa dimana partai politik dibiayai negara dan anggota DPR disana bekerja untuk rakyat. Sehingga kesejahteraan sosial, ekonomi, dan indeks kebahagiaannya tinggi.
Menurutnya, para pendiri Republik dulu mengutamakan modal sosial seperti visi, misi, karakter, ilmu, dan kapasitas kepemimpinan.
Rizal Ramli menekankan, modal sosial inilah yang dapat mengubah dan memerdekakan Indonesia.
“Tapi hari ini modal para politisi hanya finansial, dan itulah yang merusak,” tegasnya.
[***]