RESESI sudah terjadi di Indonesia dengan melihat fakta PDB ‘quarter to quarter’ (qoq) dan fakta yang dirasakan publik sampai kuartal 2 2020.
Namun tim ekonomi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah Indonesia sudah resesi pada kuartal 2 tahun 2020 berdasarkan hasil rilis BPS yang menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia -5.32% ‘year on year‘ (yoy) baru terjadi. Bagaimana bisa?
Alasan Sri Mulyani adalah resesi diukur dari penurunan ekonomi 2 kuartal berturut-turut yang diukur dari perbandingan yoy. Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal 1 2020 adalah 2.97% (yoy) dan kuartal 2 2002 adalah -5.32% (yoy).
Namun konsensus dunia menyatakan bahwa ‘economic recession is a period of time when a nation’s GDP declines for at least two consecutive quarters in a quarter-to-quarter comparison’.
Bila kita membandingkan kuartal ke kuartal maka pertumbuhan ekonomi kuartal 1 2020 adalah -2.41% (qoq) dan kuartal 2 2020 adalah -4.2% (qoq).
Tulisan Prof Anthony Budiawan dengan judul ‘Meluruskan Simpang Siur Resesi‘ dan Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier dengan judul ‘Kembalilah ke Jalan Lurus dan Benar, Indonesia Resesi‘ mencoba meluruskan bahwa definisi yang dipakai Sri Mulyani tidak tepat dan tidak ‘best practice‘.
Keduanya mempertanyakan bagaimana sebuah definisi yang sudah jelas coba dibantah juga oleh menteri terbaik sedunia tersebut. Dan membantah tidak menyelesaikan masalah selain mempertahankan ego.
Jelas sekali, bahwa perbandingan kuartal ke kuartal Indonesia sudah resmi mengalami resesi teknikal sejak Juni atau kuartal 2 tahun 2020.
Memahami Resesi
Biro Riset Ekonomi Nasional Amerika Serikat yang dikenal NBER menyatakan secara resmi bahwa definisi resesi melalui penurunan PDB riil selama dua kuartal berturut-turut tidak dinyatakan lagi (NBER, 7 Januari 2008).
NBER mendefinisikan resesi sebagai penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh ekonomi, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran.
Jadi resesi bukan soal angka-angka PDB namun resesi adalah penurunan ekonomi yang dirasakan masyarakat secara luas dalam beberapa waktu tertentu.
Ukuran yang dirasakan oleh publik adalah pendapatan riil, ketersediaan lapangan pekerjaan, produksi industri dan penjualan grosir-eceran.
Beberapa indikator dini permintaan domestik menunjukkan pelemahan seperti tercermin pada penjualan ritel, ‘purchasing manager index‘, ekspektasi konsumen, dan berbagai indikator domestik lain.
Data penjualan eceran mengalami penurunan -17.4% per Juni 2020. Penurunan eceran terutama terjadi pada belanja sandang, peralatan informasi dan komunikasi, makanan, minuman dan tembakau serta perlengkapan rumah tangga lainnya.
Penurunan tajam penjualan eceran terjadi sejak Januari 2020 sampai April 2020 seiring dengan perberlakuan PSBB. Seiring dengan relaksasi PSBB, penjualan eceran masih terlihat landai bahkan sampai Juni 2020.
Penurunan sandang (-73.1% yoy), peralatan informasi dan komunikasi (-21.1% yoy), penurunan perlengkapan rumah tangga lainnya turun -18.6% dan makanan, minuman dan tembakau turun -6.9% pada akhir Juni 2020.
Optimisme pelaku usaha yang tercermin pada ‘purchasing manager index‘ nyatanya sampai Juni 2020 masih dibawah 50. Akhir Juni 2020 tercatat PMI 39.1% jauh di bawah rata-ratanya 50. Penurunan tajam terjadi sejak Februari 2020 seiring dengan memberlakukan PSBB.
Ekspektasi pelaku ekonomi juga terlihat rendah. Data Indeks ekspektasi ekonomi dari Bank Indonesia dan Danareksa menunjukan hal yang sama. Penurunan terjadi sejak kuartal 1 dan kuartal 2 tahun 2020.
Melihat data-data penjualan eceran, optimisme pelaku usaha dan ekspektasi pelaku ekonomi berdasarkan definisi NBER tersebut, jelas sekali bahwa resesi ekonomi di Indonesia sudah nyata dirasakan publik.
Jika ada dua fakta resesi terjadi yaitu pertama fakta resesi teknikal yang diukur dari perbandingan PDB kuartal ke kuartal bahwa sudah terjadi penurunan berturut-turut di kuartal 1 dan 2 2020 dan fakta kedua data yang dirasakan pelaku usaha berupa penjualan eceran, ‘purchasing manager indeks‘ dan indeks ekspektasi ekonomi yang ketiganya menunjukan penurunan bersamaan dalam kuartal pertama dan kurtal kedua maka resesi sudah benar-benar terjadi.
Membantah dengan perbandingan resesi harus PDB ‘year on year‘ adalah keliru. Pengambil kebijakan harus menjadikan momentum ini untuk kontemplasi diri karena keterlambatan daya serap belanja pemerintah kemarin merupakan salah satu penyebab resesi ini terjadi.
Memang selama kuartal pertama dan kedua, belanja negara sangat kecil dan dibawah ekspektasi publik. Pemerintah harus evaluasi sungguh-sungguh kemampuan daya serapnya.
Bukan saatnya membantahnya, namun sekarang yang diperlukan kerja yaitu bagaimana resesi berhenti di kuartal III dan IV 2020.
Caranya salah satunya mempercepat belanja fiskal, penurunan lebih cepat dari suku bunga bank plat merah BUMN dan memperbesar bantuan sosial tunai kepada mereka yang membutuhkan.
Pemulihan Ekonomi Nasional jangan lagi wacana, Publik menunggu efektivitas PEN yang dibuktika dari pertumbuhan ekonomi kuartal III yang tidak negatif. Dengan begitu, semoga resesi segera berakhir.
Oleh Achmad Nur Hidayat MPP, Pakar Kebijakan Publik Narasi Insititute