Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik
Seorang pedagang kredit panci membeli panci dengan harga Rp10 ribu. Harga panci tersebut di Pasaran dijual Rp16 ribu.
Suatu ketika, tukang panci itu berkata pada pembeli, “Bu, beli saja panci ini Rp12 ribu. Itu harga panci di pasaran Rp16 ribu. Khusus buat ibu, saya beri subsidi Rp4 ribu, sehingga ibu cukup hanya membayar Rp12 ribu”.
Pertanyaannya:
1. Apakah benar tukang kredit Panci tersebut telah memberikan subsidi Rp4 ribu kepada pembeli?
2. Apakah tukang kredit panci itu rugi, menjual panci Rp12 ribu modalnya hanya Rp10 ribu?
Penulis kira, logika subsidi yang dijelaskan oleh Sri Mulyani adalah logika subsidi tukang panci. Subsidi semestinya baru benar, jika diberikan untuk menambal biaya pokok produksi (modal) BBM, bukan dari selisih harga pasar atau hilangnya potensi keuntungan yang lebih besar.
Sri Mulyani mengatakan “Untuk Pertalite juga sama, harga di masyarakat itu Rp7.650 per liter, kalau sekarang ICP di USD105 dan kurs nilai tukar Rupiahnya di Rp14.700 per Dollar Amerika, maka harga Pertalite harusnya di Rp14.450 per liter, artinya harga Pertalite sekarang ini adalah 53 persen rakyat yang mengkonsumsi dan menggunakan Pertalite setiap liternya mendapatkan subsidi Rp6.800”.
Pertanyaan Buat Bu Sri Mulyani,
1. Bukankah, penjelasan itu sama dengan logika subsidi tukang kredit panci?
2. Kenapa harga BBM harus distandarkan dengan ICP? Bukankah, BBM yang dijual pertamina ada yang dari hasil ngebor sendiri di bumi Indonesia? Kenapa harganya harus ikut standar minyak dunia?
3. Kalau semua bahan baku BBM kita import, masih oke lah mengacu pada standard ICP dunia. Lah ini ada bahan baku gratisan, dari bumi indonesia, cuma mengganti biaya lifting dan penyulingan. Kenapa harganya ikut harga minyak dunia?
Memang benar, BBM yang dikonsumsi di Indonesia bukan semua hasil nambang di bumi Indonesia. Sekitar 26 persen import, 74 persennya dari minyak mentah Indonesia.
Pertanyaannya kepada Ibu Menteri Keuangan dan Direktur Pertamina, berapa sesungguhnya biaya produksi pertalite per liter dengan bahan baku murni dari lifting nasional? berapa biaya produksi pertalite per liter dengan bahan baku yang seluruhnya berasal dari import? berapa biaya produksi pertalite per liter dengan bahan baku 74 persen pasokan dalam negeri dan 26 persen pasokan import? dari 74 persen pasokan nasional, berapa yang mampu diproduksi mandiri oleh pertamina?
Kalau biaya produksi pertalite per liter terdefinisikan, maka baru diketahui subsidi realnya berapa. Selama ini, subsidi dihitung secara asumtif oleh pemerintah dari selisih harga jual Pertamina dengan harga pesaing di pasaran. Ini tidak adil, zalim kepada rakyat!
Sementara itu, menurut Ekonom Muhammad Ishaq Razaq (Peneliti dari Center Of Reform On Economics/CORE), jika bahan baku murni produksi nasional (100 persen dari lifting Pertamina), maka harga BBM Pertalite per liter Rp3.118. Jika bahan baku semua import (100 persen harga internasional), maka harga BBM Pertalite per liter Rp14.248.
Jika bahan baku 26 persen import, sisanya produk nasional (tanpa import pertalite), maka harga BBM Pertalite per liter Rp6.483. Jika bahan baku 26 persen import, sisanya produk nasional (ditambah import pertalite 30 persen), maka harga BBM Pertalite per liter Rp8.798.
Harga itu sudah termasuk keuntungan pertamina, pajak-pajak, biaya penyimpanan dan distribusi, dengan asumsi harga minyak mentah USS 100 per barel dan kurs 1 US$ sebesar Rp14.800.
Apalagi kalau hanya dihitung biaya pokok tanpa keuntungan. Harganya akan jauh lebih murah lagi.
Sekarang rakyat bertanya kepada Bu Sri dan Bu Nicke, berapa harga pertalite sesungguhnya? berapa biaya produksi pertalite per liter secara real? Jangan bohongi rakyat dengan narasi ‘harga keekonomian’, karena faktanya bahan baku pertalite tidak semuanya import. Bumi Indonesia juga menghasilkan minyak. Masak minyak milik sendiri mau dijual dengan harga minyak internasional?
[***]