JANGAN ajari ikan berenang dan jangan diuji bagaimana cara Ikan berenang. Itulah ungkapan yang pas untuk menjawab rencana penerapan sertifikasi nelayan oleh Menteri baru Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia.
Ungkapan tersebut merupakan jawaban saya terhadap pertanyaan seorang nelayan tradisional di Indramayu, setelah ia mendengar kabar sertifikasi nelayan.
“Apakah benar kami nelayan tradisional ini harus bersertifikasi?”
Jawaban saya, nelayan tradisional yang di dalamnya termasuk pembudidaya tradisional tidak butuh sertifikasi.
Nelayan tradisional ibarat ikan, yang hidup menyesuaikan media hidupnya, laut. Maka dia tidak perlu lagi diajari bagaimana caranya berenang.
Lucunya lagi, sampai ada yang mau menguji bagaimana caranya ikan berenang. Saya ingin balik bertanya, “Memang Menteri KKP ahli apa dalam bidang nelayan dan kelautan? Dia sudah memegang sertifikat keahlian dari mana?”
Sebelum melakukan sertifikasi terhadap nelayan tradisional, ada baiknya disertifikasi dulu dong menterinya, karena dia yang bertanggung jawab mengurusi nelayan dan kelautan di Indonesia.
Pepatah bijak menyampaikan, jika urusan yang besar ini diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggu saja kehancurannya.
Nelayan tradisional sudah ahli dalam keterampilannya, tak perlu lagi diuji, apalagi harus memiliki selembar kertas sebagai bukti akan keahliannya.
Ketika pemerintah melarang nelayan menggunakan alat tangkap yang merusak, nelayan tradisional sudah sejak zaman nenek moyang, tidak menggunakan alat tangkap merusak lingkungan.
Di Indramayu dan Tanjung Balai Asahan, nelayan tradisional menggunakan pancing, bubu, sudu, jala, sero, jaring udang, jaring puput dan lainnya yang ramah lingkungan.
Ketika pemerintah dengan gagah perkasa melakukan penangkapan dan penenggelaman kapal asing yang mencuri ikan di laut Indonesia. Nelayan Tradisional di Balikpapan, Medan, Bengkulu, Bengkalis dan daerah lainnya sudah ribuan kali menghadang dan mengusir kapal asing yang mencuri tersebut.
Nelayan Tradisional teruji dengan bertindak, menjaga kedaulatan NKRI di laut. Kamilah yang pertama kali melihat dan melaporkan adanya kapal asing di laut, sayangnya setelah dilaporkan ternyata tidak ada tindakan sama sekali.
Eh, sekarang ada menteri yang baru lima tahun melakukan penangkapan dan penenggelaman kapal, justru merasa hebat dan dielu-elukan media.
Sertifikasi untuk sebuah profesi memang penting dilakukan untuk standarisasi keahlian terhadap berbagai profesi yang ada. Sertifikasi dilakukan juga untuk pencegahan terjadinya penipuan dan pembohongan serta penyalahgunaan keahlian.
Seorang guru matematika mungkin saja bisa mengajar pelajaran pancasila di kelas, meskipun bukan keahliannya. Tetapi ini tak berlaku buat nelayan.
Jika nelayan berbohong dan tidak biasa melaut, jangankan mencari ikan, baru naik perahu saja sudah mabuk laut bahkan nyawa taruhannya karena tidak bisa mengendalikan perahu dan dihantam ombak yang menerjang.
Lautlah yang menguji nelayan, bukan pemerintah. Sebab nelayan sebuah profesi yang terbentuk karena hubungannya dengan alam, baik secara fisik dan sosial.
Pertanyaan lainnya, untuk apa sertifikasi tersebut?
Sertifikasi bertujuan memberikan penghargaan kepada profesi. Kalau seorang pekerja telah mengantongi sertifikasi, maka dia akan “dihargai” lebih dibanding pekerja lain yang tidak bersertifikasi.
Seorang guru dan dosen yang bersertifikasi bisa mendapat tunjangan dari pemerintah. Lalu bagaimana dengan nelayan tradisional? Apakah pemerintah bermaksud memberikan tunjangan kepada nelayan tradisional jika mereka bersertifikat?
Jika ya, dengan senang hati nelayan tradisional berbondong-bondong mengikuti uji kompetensi untuk mendapat sertifikasi nelayan.
Jikapun begitu, sertifikasi harus diterapkan kepada nelayan lainnya, sebab terbukti selama ini nelayan kapal besar banyak melakukan kerusakan di laut dengan alat tangkap yang merusak lingkungan.
Anak buah kapal (ABK), nahkoda dan pemilik kapal yang tidak masuk kategori nelayan tradisional wajib bersertifikasi, karena mereka bekerja bukan hanya untuk dirinya sendiri.
ABK harus bekerja secara profesional karena bertanggung jawab terhadap nahkoda, kemudian ABK dan Nahkoda bertanggung jawab kepada juragan atau pemilik kapal, juragan bertanggung terhadap pemerintah.
Satu sama lain saling memiliki hak dan kewajiban, jika ada yang melanggar maka akan ada yang dirugikan, di situlah pentingnya sertifikasi, untuk menjamin tidak adanya pihak yang dirugikan.
Tetapi nelayan tradisional bekerja bukan untuk orang lain melainkan untuk dirinya, keluarganya dan lautnya. Tidak terkait dengan hubungan buruh dan majikan sehingga tidak butuh sertifikasi.
Demikian juga halnya dengan pembudidaya ikan dan udang tradisional. Mereka tidak butuh sertifikasi karena selama ini terbukti tidak melakukan perusakan lingkungan justru melakukan budidaya yang ramah lingkungan.
Lantas sertifikasi untuk siapa?
Sertifikasi Cara Berbudidaya Ikan yang Baik (CBIB) untuk pembudidaya, jelas-jelas adalah untuk kepentingan eksportir, pengusaha besar, industri besar dan para pembeli di luar negeri.
Tidak ada kepentingannya bagi pembudidaya tradisional. Apalagi jika diuraikan dari sudut pandang politik dagang dan pasar bebas, maka lebih terang benderang lagi, untuk siapa sertifikasi tersebut.
Apakah sertifikasi untuk kepentingan nelayan tradisional? Tentu tidak. Sekali lagi, sama dengan pembudidaya, sertifikasi nelayan adalah untuk kepentingan politik dagang dan pasar bebas.
Pada sisi lain, pemerintah harusnya melindungi nelayan, bukan malah terjebak pada politik dagang negara lain dan pasar bebas. Kita harus berdaulat dan kita harus mengendalikan pasar, bukan malah dikendalikan pasar. Bagaiamana caranya? tugas utama pemerintah mencari jawabanya. Urusan melaut biar Nelayan tradisional yang urus.
Oleh Iing Rohimin, Sekjen DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Tinggal di Indramayu