PERPU Ormas sudah dikumandangkan rezim Jokowi. Begitu juga pemblokiran sosmed Telegram. Ini dua kejutan besar strategi Jokowi menuju 2019. Politik konfrontasikah? Mengapa ini penting kita catat?
Pertama, Jokowi sebenarnya terlihat berusaha merangkul ummat Islam paska kekalahan calonnya, Ahok di pilkada DKI. Hal ini diperlihatkan adanya unsur pemerintah yang melakukan dialog dengan tokoh oposisi Habib Rizieq dan bahkan hasilnya Habib Rizieq meminta adanya rekonsiliasi. Di sisi lain, pimpinan Islam garis keras, dikomandoi UBN (Ust Bachtiar Nasir), melakukan pertemuan “bilateral” dengan Jokowi, yang didampingi Wiranto dan Lukman Syaifuddin, yang diakhiri dengan pujian pimpinan Islam ini terhadap rezim Jokowi.
Kedua, Jokowi sendiri berusaha menjelaskan keberadaannya sebagai pemimpin Islam. Hal ini ditunjukkannya dengan keakraban beliau dengan Raja Salman Arab Saudi dan Presiden Turki, Erdogan, dalam pertemuan mereka. Disamping itu Jokowi yang ditulis sebagai pemimpin Islam nomer 13 terbesar dunia dan Jokowi menjadi Imam dalam sholat jamaah viral di media sosial.
Hal kedua ini ditambah lagi, intensnya pernyataan Kapolri, kepercayaan Jokowi, yang mendukung partisipasi ummat Islam atas penikmatan “kue” pembangunan.
Ketiga, Jokowi sendiri memimpin rapat di Istana Bogor pada bulan Januari 2017 yang menghasilkan keputusan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional dan Badan Pancasila. Keduanya dimaksudkan untuk menyatukan seluruh elemen2 bangsa yang sedang berkonflik ataupun bersitegang, melalui penyamaan persepsi ideologis, yang sekaligus dilakukan dengan mengutamakan dialog. Dialog adalah simbol keberhasilan Jokowi di masa lalu, khususnya dalam mengatasi persoalan masyarakat pedagang kaki lima.
Dengan Perpu Ormas dan pemblokiran medsos Telegram, Jokowi memilih jalan Weberian dalam menjalankan peran negara. Apakah jalan Weberian itu? Jalan itu adalah jalan yang dirumuskan Max Weber tentang negara. Menurut Weber, negara adalah sentral dan harus menggunakan kekerasaan untuk eksistensinya. Jauh sebelumnya, pikiran ini ditulis  Thomas Hobbes dalam mahakaryanya Leviathan.
Perpu Ormas dan pemblokiran medsos nyata nyata sebagai alat untuk memaksa rakyatnya patuh pada negara.
Pandangan Weberian tentu tidak kompatibel dengan demokrasi. Dalam demokrasi justru prinsip “kebebasan (Liberty), keadilan (Egaliter) dan persaudaraan (Frenity)”, yang diambil dari jargon Revolusi Prancis, menjadi acuan. Persoalan antara negara dan rakyat tidak satu mendominasi yang lain. Seperti misalnya di Korea Utara.
Perang Berkelanjutan
Dengan Perpu Ormas dan pemblokiran medsos, Jokowi memperlihatkan anti dialog dengan rakyat. Hal ini diperlihatkan besarnya perlawanan atas kedua kebijakan di atas. Seandainya rakyat yang kita maksud terbelah dalam dua kelompok besar, maka hal ini tetap tidak beranjak dari situasi masyarakat yang terbelah pada pilpres 2014.
Beberapa fakta memang menunjukkan hal tersebut, seperti:
Pertama, ummat Islam yang keberatan dengan Perpu dan Pemblokiran medsos Telegram adalah kelompok masyarakat Islam perkotaan atau modernis (jika mengacu terminologi lama). Masyarakat Islam jenis ini lebih terbuka dengan demokrasi dan kesetaraan. Masyarakat ini yang selama ini berseberangan dengan Jokowi maupun Ahok.
Jika pada awalnya kebencian terhadap Jokowi tidak muncul akibat sasaran pertarungan horizontal mereka hanya kepada sosok yang diwakili Ahok, namun ke depan sasaran akan pindah ke Jokowi.
Dengan asumsi faktor faktor atau variabel lain dikendalikan, maka faktor permusuhan kaum Islam modernis terhadap Jokowi akan mengakibatkan suara mereka tidak akan diberikan pada Jokowi pada 2019.
Dengan kata lain, perang (baca perlawanan atau sikap oposisi) kelompok Islam modernis terhadap Jokowi merupakan perang berkelanjutan. Yakni terus menerus sejak 2014 sampai ke pilpres 2019.
Jalan Terjal
Jokowi telah memilih pertarungan 2019 dengan basis lama. Perpu dan pemblokiran medsos  telah menghentikan upaya perangkulan kelompok Islam dalam barisan Jokowi ke depan. Apakah  hal ini memudahkan Jokowi melawan saingannya?
Tentu semua itu masih menjadi pertanyaan besar. Sebab, jalan terjal akan menghadang sebagai berikut:
Pertama, kebijakan ‘sinterklas’ parsial. Pada saat ekonomi mikro lesu, meskipun baik di tingkat makro, Jokowi menggelontorkan dana bantuan kepada pendukungnya, seperti NU, uang yang cukup besar, triliunan. (Uang ini disalurkan Menkeu sebesar rp. 1,5 Triliun lada februari 2017). Disamping janjinya untuk membagi bagikan tanah Land Reform.
Membagi uang  bantuan dalam jumlah yang sangat besar, dalam teori kebijakan sosial, kepada kelompok sosial tertentu, biasanya dimaknai sebagai upaya “politik dukung mendukung”. Yang apabila tidak diterima kelompok masyarakat lainnya, akan menyebabkan kecemburuan sosial dan hilangnya dukungan politik dari mereka. Pada masa Habibie program seperti ini dikenal dengan Bantuan KUT.
Jika kecemburuan sosial hanya terjadi pada kelompok Islam modernis, maka hal itu mungkin sudah diantisipasi sebagai konsekwensi perang berkelanjutan yang diuraikan di atas. Tapi jika kelompok sosial lain merasa cemburu, padahal sebelumnya mereka pendukung Jokowi, hal ini akan mengurangi dukungan mereka nantinya.
Kedua, kekalahan pertarungan DKI Jakarta dan Banten. Seperti diketahui bahwa Jokowi kehilangan kontrol dan kekuasaannya dalam wilayah DKI dan Banten. Khususnya Jakarta, situasi ini menjadi beban psikologi yang berat, sebab Jakarta adalah simbol nasional. Meskipun diguncang dengan isu pemindahan ibukota, tetap saja Jakarta akan sama sampe 2019, pusat pertarungan nasional untuk segala hal.
Dengan dilantiknya nanti Anies dan Sandi di bulan Oktober, maka otomatis popularitas Jokowi hancur di ibukota. Karena agenda di Jakarta sudah menampilkan tokoh baru yang tidak sejalan dengan rezim Jokowi, seperti soal Reklamasi.
Ketiga, ekonomi lesu. Persoalan ketiga yang dihadapi Jokowi menuju 2019 adalah ekonomi yang lesu. Ekonomi lesu ini terjadi ditingkat mikro, dimana rakyat kecil dan jelata mengharapkan bantuan pemerintah.
Bagi rakyat kecil yang penting adalah lapangan pekerjaan. Yang artinya sekaligus penghasilan untuk hidup layak. Namun, kelihatannya gelombang PHK malah semakin besar. Di Batam saja tahun lalu 70.000 karyawan sudah di PHK. Orientasi Jokowi kepada infrastruktur kurang bisa diharapkan menjadi motor utama penyerapan tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja adalah sektor manufaktur dan UKM. Manufaktur kurang berkembang pertumbuhan nya.
Ekonomi lesu ini juga menyulitkan Jokowi untuk membagi proyek proyek strategis kepada mitra pendukung nya. Hal mana bisa mengakibatkan adanya pendukung yang tidak puas.
Dengan ketiga hal di atas, jalan Jokowi untuk menjadi pemenang dipertarungan pilpres 2019 tampak begitu berat. Jokowi mungkin diuntungkan oleh kemungkian persaingan yang sangat terbatas, seperti hanya melawan Prabowo saja. Namun, itupun tidak bisa disepelekan. Sebab, perbedaan angka kemenangan Jokowi sangat tipis pada 2014 tersebut.
Sekali lagi, Perpu Ormas dan modus pemblokiran medsos telah mendorong Jokowi pada jalan terjal menuju 2019.
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle