Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Suatu hari awal September 1965 dalam obrolan informal dengan Menteri Pengairan, Harja Sudirdja, Sukarno menyampaikan keinginan agar Letjen Ahmad Yani menggantikannya sebagai presiden.
Sejarawan Peter Kasenda di buku “Hari-Hari Terakhir Sukarno”mengatakan, keinginan Sukarno itu didasarkan wangsit yang tak boleh dibantah.
“Ahmad Yani kaget, dan balik bertanya kepada Sukarno mengapa dirinya yang harus menggantikan, bukankah ada banyak senior seperti Soebandrio, Nasution, Leimena, dan Chaerul Saleh. Sukarno mengatakan bahwa hal itu merupakan persoalan wangsit dan tidak boleh menolak. Akhirnya Yani menyatakan bersedia memenuhi permintaan Sukarno itu …” tulis Peter Kasenda.
Namun keinginan Sukarno yang tak pernah disampaikan secara resmi itu tidak kesampaian, karena pada dini hari 1 Oktober 1965 Ahmad Yani dibunuh PKI.
Melalui Sidang Istimewa MPRS Maret 1967 Sukarno jatuh. Pidato pembelaannya, Nawaksara, di depan Sidang MPRS, Juni 1966, ditolak. Bung Karno akhirnya meninggalkan istana sebelum 16 Agustus 1967.
“Bung Karno keluar istana hanya pake celana piyama warna krem dan kaos oblong cap Cabe. Baju piyamanya disampirkan di pundak, memakai sandal cap Bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang koran yang digulung agak besar, isinya Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih …” kata Sogol Djauhari Abdul Muchid, perwira Detasemen Kawal Pribadi yang lekat saat hari-hari terakhir Sukarno.
Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur bagaimana pun adalah orang-orang yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai mannelijk (jantan).
They are real men, kata orang Inggris, yang melepas kekuasaan sebagai presiden dengan sikap pemberani.
Menjelang kejatuhannya tidak melakukan rekayasa politik dengan mengatur-ngatur siapa figur yang harus menggantikannya menjadi presiden dan wakil presiden, apalagi dengan maksud agar dilindungi dan dibela dari berbagai kesalahan dengan cara merusak konstitusi, dengan mengendalikan adik ipar sebagai Ketua MK.
Jika Soeharto turun dengan menyitir ungkapan raja Jawa abad XI, Airlangga, lengser keprabon madeg pandito, Gus Dur berkata, tidak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian.
Jokowi kini ber-acting seperti raja yang sedang mempersiapkan putra mahkota demi langgengnya kerajaan yang dia bikin di atas penderitaan rakyat. Maka Gibran dijadikan mempelai Prabowo Subianto sebagai sejoli capres dan cawapres, yang mengundang cibiran rakyat.
Kenapa Jokowi tidak mannelijk, tidak menampilkan sikap pemberani dalam melepas kekuasaan?
Karena hati kecilnya sebagai manusia diburu oleh bayangan menakutkan atas berbagai kesalahan tatakelola bernegara dan berbangsa selama ia jadi penguasa boneka, atas berbagai kasus hukum yang penuh ketidakadilan yang menyebabkan melayangnya sekian banyak nyawa rakyat, kasus-kasus korupsi, disintegrasi sosial, ambruknya perekonomian, hingga KKN keluarganya.
Kini di tengah derasnya desakan berbagai elemen masyarakat yang memintanya mundur, jalan pemakzulan seperti apakah yang akan dilalui Jokowi?
Mirip Sukarno yang mundur dari istana hanya dengan memakai kaos oblong cap Cabe, ataukah mirip Amangkurat I penguasa zalim yang mati di pelarian saat minta perlindungan VOC, yang kisahnya membekaskan kebencian di hati rakyat dan yang dikenang oleh sejarah sebagai boneka belaka?
[***]