Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sulit dilihat sebagai produk hukum semata. Tetapi bisa juga bagian dari skenario besar menunda pemilu yang selama ini sudah kencang didengungkan.
Karena hampir mustahil kalau PN Jakpus tidak mengerti permasalahan penyelesaian pemilu.
Mahkamah Agung (MA) juga sudah bersuara, membela putusan PN Jakpus, dan menegaskan hakim PN Jakpus tidak bisa disalahkan.
Artinya, putusan PN Jakpus menurut Mahkamah Agung sudah benar: “Hakim tidak bisa dipersalahkan secara kedinasan terkait produk putusannya, karena putusan dianggap benar”.
Upaya hukum selanjutnya adalah banding, dan seterusnya. Prosesnya sangat panjang. Silakan dicoba. Tetapi, bagaimana kalau pengadilan selanjutnya menguatkan Putusan PN Jakpus, yaitu KPU terbukti melakukan perbuatan melawan hukum?
Untuk bukti ini, sepertinya tidak sulit. Menurut PN Jakpus, KPU sudah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, melawan Putusan Bawaslu yang berkekuatan hukum.
Yaitu, Bawaslu memerintahkan KPU agar memberikan kesempatan kepada Partai Prima untuk bisa menyerahkan dokumen verifikasi administrasi perbaikan selama 1×24 jam.
Sepertinya KPU gagal melaksanakan Putusan Bawaslu ini.
Mungkin saja KPU memang “diarahkan” untuk melakukan perbuatan melawan hukum, melawan Putusan Bawaslu? Terkesan ada kesengajaan.
Terlepas dari itu, sengaja atau tidak sengaja, yang mengejutkan adalah konsekuensi perbuatan melawan hukum KPU ini.
Yaitu, PN Jakpus memerintahkan KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu 2024, tetapi harus diulang dari awal, yang makan waktu 2 tahun 4 bulan dan 7 hari, hingga pelantikan presiden.
Putusan ini sangat mengada-ada, tidak logis, dan patut diduga bagian dari skenario besar penundaan pemilu, untuk menciptakan kondisi ketidakpastian yang dapat membuat chaos.
Alasannya sebagai berikut. Pertama, tahapan pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu hanya 4 bulan 16 hari saja (29/07/22-13/12/22). Karena itu, sanksi waktu yang bisa diberikan kepada KPU maksimal hanya terkait tahapan ini. Sedangkan tahapan lainnya tidak ada urusan dengan sengketa partai Prima dan KPU.
Misalnya, tahapan penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan (14/10/22-9/02/23), tidak ada hubungan dengan apakah Partai Prima ikut sebagai peserta pemilu atau tidak. Sehingga tidak relevan semua tahapan pemilu harus diulang dari awal.
Kedua, verifikasi Partai Prima bahkan seharusnya bisa dilakukan secara paralel dengan sisa tahapan pemilu ke depannya. Sehingga pemilu tetap bisa dilaksanakan sesuai jadwal 14 Februari 2024.
Bahkan, lebih ekstrim lagi, PN Jakpus seharusnya mengikuti apa yang sudah diputuskan oleh Bawaslu tetapi tidak dilaksanakan oleh KPU, yaitu cukup memberi waktu kepada Partai Prima selama 1×24 jam, untuk menyerahkan dokumen verifikasi administrasi.
Putusan Bawaslu, sebagai pihak yang berwenang memutuskan sengketa pemilu, wajib ditaati oleh semua pihak, termasuk PN Jakpus terkait verifikasi administrasi Partai Prima.
Oleh karena itu, Putusan PN Jakpus bahwa tahapan pemilu harus diulang dari awal selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sangat tidak masuk akal, melawan Putusan Bawaslu, dan patut diduga bagian dari skenario besar menciptakan kondisi ketidakpastian yang berpotensi memicu chaos.
Karena kalau pengadilan selanjutnya menguatkan putusan PN Jakpus, maka pada Oktober 2024 akan terjadi kekosongan jabatan anggota parlemen (DPR/DPD) dan eksekutif (presiden dan kabinet).
Dan, Indonesia akan menjadi rimba belantara perebutan kekuasaan.
[***]