Artikel ini ditulis oleh Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Energi.
Mungkin perlu dijelaskan apa itu super power baru? Ini dimulai ketika Inggris memberikan gelar ini kepada Indonesia beberapa waktu sebelum pertemuan G20. Gelar Indonesia climate super power. Inggris telah mengubah secara fundamental apa itu definisi super power yang baru, yakni pemilik kekayaan dan aset energi baru terbaharukan yang paling kuat, karena dari sini jangkar keuangan dunia akan dibentuk, dengan mengandalkan organisasi yang namanya Negara.
Super power yang lama adalah mesin uang The Federal Reserve, sebuah bank swasta yang berkedudukan di Amerika Serikat. The Fed membuat uang dengan jangkar komoditas yakni minyak, maka disebutlah sebagai sistem petrodolar sistem (1971). Sebetulnya ini adalah penyimpangan oleh The Fed, karena sebelumnya padanan uang adalah emas sebagai reserve. Celah penyimpangan ditemukan setelah sukses mendesain konflik Arab Israel yang menjadi pintu masuk untuk mengambil alih minyak sebagai padanan mata uang dolar.
Pesta petrodolar telah berakhir, uang yang diproduksi bermodalkan kertas dan tinta ini sudah kehilangan kredibilitasnya dikarenakan climate change. Dunia tidak lagi mau bergantung pada minyak. Minyak harus diakhiri dikarenakan masalah emisi global. Bencana alam, pencemaran udara, wabah penyakit menular dan degradasi kualitas pangan dan bahan makanan, telah disimpulkan sebagai bencana global akibat penggunaan energi fosil global yang memicu percepatan perubahan iklim atau climate change. Dunia akan mencapai net zero emmision pada tahun 2050 untuk negara maju dan 2060 untuk negara berkembang termasuk Indonesia.
Harapan dunia kembali ke Java, Jawa, Jakarta, Indonesia, yang memiliki segalanya terkait energi baru terbaharukan. Indonesia sember EBT terlengkap dan teruas di dunia, di darat, di laut dan di udara, dan dilangit. Pemilik hutan tropis terkuras di dunia, pemilik pantai dan lautan teruas di dunia, pemilik panas bumi teruas di dunia, negeri yang turun hujan sepanjang tahun, negeri yang disinari matahari sepanjang tahun, negeri dengan sungai terbanyak di dunia. Semua itu adalah aset yang akan menjadi padanan keuangan dunia yang baru, jangkar bagi green dollar menggantikan petrodolar.
Mengapa perhatian dunia mengarah ke Jakarta, jauh sebelum pertemuan G20 Bali akhir 2023 lalu. Pertemuan yang menghasilkan kesepakatan terpenting yakni terbentuknya Just Energi Transition Partnership (JETP) yang menetapkan pembiayaan murah senilai 100 miliar dolar untuk dikelola di bawah kepemimpinan Indonesia. Dunia bahkan merancang transisi energi 2020 – 2060 dengan biaya sebesar 11 triliun dollar. Dana untuk menggantikan keseluruhan dari penggunaan fosil, deforestasi, dan penemuan tehnologi ramah lingkungan. Dunia akan berebut investasi ini, keuangan satu satunya, dan tidak ada pilihan lain. Diluar transisi energi semua pembiayaan telah ditutup
Tentu saja dunia ingin Indonesia memimpin. Itulah mengapa perhatian dunia mengarah ke Jakarta. Memang Jakarta disebut sebagai kota terpolusi di dunia dengan tingkat pencemaran udara tertinggi di dunia. Polusi sebagian besar disumbangkan oleh sektor transportasi (40%) dan sisanya adalah oleh pembangkit pembangkit di sekitar Jakarta yang menggunakan energi fosil minyak gas dan Batubara. Jakarta diharapkan mengakhiri semua masalah iklim sebagai tangga bagi dunia untuk melompat. Pembangkit batubara didesak agar di tutup, konversi bahan bakar minyak ke EBT segera dilakukan. Usaha pemulihan hutan 100 juta hektar di seluruh Indonesia harus dibiayai dari Jakarta.
Ini bukan langkah ringan. Kekuatan pembangkitan nasional ada di sekitar jakarta. PLTU suralaya unit 1 s.d 7 total kapasitas: 3400 Mw ( milik PLN IP ). PLTU unit 8 ( banten 1) kapasitas 625 Mw ( Milik PLN IP). PLTU 9 – 10 kapasitas 2000 Mw ( Patungan Barito dan PLN IP). Jika dari sisi kepangkatan Tentara pemimpin pembangkit Suralaya dan Paiton adalah jenderal bintang satu, diluar itu pemimpin pembangkit berpangkat letnan kolonel. Itulah pengibaratan para petinggi Indonesia power tentang skala pembangkit PLTU di Indonesia. Dapat dibayangkan jika 13 pembangkit PLTU ditutup seketika. Tentu namanya bukan transisi. Sementara di sektor transportasi deru pembakaran minyak di jakarta telah membuat kota ini cerobong asap yang menghasilkan jutaan ton emisi setiap hari. Mobil mobil berbahan bakar minyak telah melekat menjadi aset dan kekayaan dalam paradigma penduduk Jakarta.
Mengatasi masalah ini tentu bukan langkah yang mudah. Namun jalannya terbuka lebar. Puluhan bahkan ratusan bendungan di Pulau Jawa siap menyongsong transisi energi. Cadangan geotermal yang melimpah siap mengalirkan listrik ke Jakarta. Hutan tanaman energi siap menggantikan batubara. Sampah sampah organik siap dijadikan biomasa untuk mengisi PLTU. Semua ada dalam kendali Jakarta. Demikian juga sektor transportasi yang berada pada Scope 3 perjanjian iklim, lebih mudah di atasi hanya butuh keputusan pemerintah, kesadaran konsumen dan regulasi bagi para pedagang BBM.
Beralih keluar dari fosil memang butuh daya juang lahir dan batin. Pemerintah dan DPR harus membuat regulasi yang kuat, tegas dan berdaulat. Setiap jengkal tindakan politik tetap berpijak pada konstitusi. Negara harus menguasai seluruh proses transisi energi sebagaimana pasal 33 UUD 1945. Ini bukan lagi era liberalisasi, privatisasi, ala petro dolar system. Usaha transisi secara global telah ditetapkan harus dilakukan oleh negara, perjanjian antar negara, dan pertanggung jawaban oleh negara. Para pemangku adalah kepentingan, para pebisnis minyak, para pemasok batubara, semuanya diatur dan tunduk pada haluan negara.
Maka Jakarta La Grande, Jakarta Besar, Jakarta menuju Abad Selatan, Jakarta menuju abad Samudera, memiliki daya untuk mengakhiri rezim fosil, membantu negara negara utara mencapai net zero emmision, membangun sistem keuangan baru dengan dasar baru, green dollar sistem. Ingat bukan hanya VOC yang bisa memimpin dunia dari Jakarta.
[***]