Artikel ini ditulis oleh Hendrajit, Wartawan Senior.
Ketidaktahuan mungkin hal biasa. Toh orang nggak mesti tahu dan menguasai banyak hal sekaligus, kayak Leonardo da Vinci. Pagi melukis Monalisa. Malamnya merancang helikopter.
Namun di Amerika pun saat ini dilanda hal yang cukup mengkuatirkan. Begitu kata Isaac Asimov seperti dikutip Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise. Matinya Kepakaran. Yaitu adanya kecenderungan untuk mendorong Kultus Ketidaktahuan terhadap warga masyarakat Amerika.
Masalah jadi runyam ketika kultus ketidaktahuan digunakan sebagai alasan untuk mengabaikan masukan atau saran dari pakar. Anda tahu apa sarana untuk membunuh kepakaran? Polling atau Jajak Pendapat.
Adakah yang salah dengan jajak pendapat atau polling? Nggak juga. Lantas apa dong yang salah? Soalnya jadi runyam ketika lembaga polling memilih responden jajak pendapat yang merupakan orang orang yang nggak tahu menahu dengan isu yang digelar lembaga jajak pendapat.
Pada 2014, harian terkemuka Washington Post menggelar jajak pendapat dengan warga Amerika mengenai apakah Amerika Serikat harus terlibat dengan intervensi militer ke Ukraina.
Pengamat Geopolitik, Hendrajit | Foto: Istimewa
Waktu itu, Rusia dengan dalih bahwa berdasarkan referendum, rakyat Crimea atau Ukraina Timur memilih gabung kembali dengan Rusia, maka negara beruang merah itu menguasai Crimea. Namun pemerintahan Obama waktu itu menuding Rusia lakukan aneksasi.
Dengan latarbelakang itulah Washington Post melakukan jajak pendapat, haruskah tentara Amerika ke Ukraina menghadapi Rusia?
Lepas dari hasil polling itu sendiri, Nichols punya sebuah fakta sampingan yang jauh lebih menarik daripada hasil survey itu sendiri. Ternyata, satu dari enam orang Amerika, dan tak sampai satu dari empat lulusan universitas, yang dapat menunjukkan letak Ukraina di atas peta.
Fakta yang disampaikan Nichols, berdasarkan data base para responden jajak pendapat untuk menjaring pendapat warga Amerika, apakah layak mengirim tentara ke Ukraina?
Berarti, jajak pendapat bertumpu pada ketidaktahuan para responden polling itu sendiri. Bukankah lembaga jajak pendapat berarti telah melembagakan kultus ketidaktahuan publik?
Dengan begitu, haruskah kita juga mempercayai hasil jajak pendapat terkait pilpres maupun pilkada? Ketika jajak pendapat bertumpu pada ketidaktahuan para respondennya dalam menguasai topik yang diangkat dalam polling?
[***]