KALAU video yang merekam upacara detik-detik pergantian Presiden Oktober 2014  diputar kembali, akan terlihat cukup jelas sebuah pemandangan yang sangat menarik dan simbolistis. Yaitu keakraban yang begitu kuat antara eks Presiden SBY dan Presiden baru terpilih Jokowi.‎
Kalau Presiden Jokowi atau Joko Widodo bisa diposisikan sebagai kader politiknya mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, maka pemandangan itu memiliki makna yang sangat besar. Bahwa secara simbolik, melaui acara itu SBY sudah berdamai dengan Megawati, Presiden ke-5 RI yang dikalahkannya dalam dua kali Pilpres, 2004 dan 2009.‎
Di bawah sorotan jutaan mata pemirsa yang menyaksikan acara itu yang disiarkan langsung oleh semua jaringan televisi berita, SBY bagaikan seorang kakak, menuntun adiknya Jokowi, bagaimana bersikap dengan tepat mengikuti prosesi yang diatur protokol kenegaraan di Istana Kepresidenan.  ‎
Keakraban itu semakin dirasakan sebagai sesuatu  yang positif bagi bangsa, sewaktu SBY dan Jokowi berjalan melewati barisan pasukan kehormatan berseragam militer. ‎
SBY sebagai seorang jenderal, terkesan sudah biasa dengan acara seperti itu. Sedangkan Jokowi yang berlatar belakang sipil, seperti masih kaku mendapatkan penghormatan kenegaraan  dari sebuah regu militer.‎
Perbedaan latar belakang mereka seakan lebih dipertegas lagi dalam acara itu. SBY dengan postur tubuh yang kekar dan simpatik, mengayunkan langkah-langkah kakinya dengan penuh wibawa dan percaya diri.  Sementara Jokowi seorang sipil, yang potongan tubuhnya kekurus-kurusan, terlihat masih sedikit kikuk. ‎
Seperti sadar dengan kekikukan Jokowi,  SBY melalui gerak tubuhnya, membimbing bekas Walikota Solo itu untuk tampil dan tak terlihat sedang dilanda demam panggung. ‎
Menyaksikan pemandangan itu muncul kesan bahwa SBY memang seorang demokrat dan negarawan sejati.  SBY secara cerdik  telah mengakhiri konflik perseteruannya dengan Megawati melalui pemberian panggung kepada Jokowi. ‎
Upacara serah terima jabatan Presiden itu menjadi babak baru perpolitikan Indonesia. SBY dan Jokowi menjadi pahlawan rekonsiliasi.‎
Diyakini, momen itu akan menjadi simbol berakhirnya perseteruan antar dua kekuatan politik nasional. Partai Demokrat yang dipimpin SBY dan PDIP pimpinan Megawati Soekarnoputri. Sebuah persatuan nasional yang solid akhirnya terwujud.‎
Tidak heran kalau semua undangan di halaman Istana Kepresidenan pada hari itu memberikan aplaus yang cukup antusias kepada SBY dan Jokowi. ‎
Semua yang hadir, seakan bersepakat acara serah terima jabatan Presiden di tahun 2014 itu bukan lagi sekedar serah terima jabatan. Tetapi sebuah deklarasi resmi tentang sebuah rekonsiliasi yang terwujud secara spontan. ‎
SBY mendapat apresiasi lebih karena dia memberi sinyal positif. Akan mendukung secara totalitas pemerintahan Jokowi. ‎
Pada akhirnya politik Indonesia meniru hal positif dari sistem demokrasi Barat, demokrasi liberal yang mengedepankan sportifitas dalam rivalitas. ‎
Namun semua pemandangan menarik dan kesan positif di acara serah terima kekuasaan pada Oktober 2014 itu, tidak bertahan lama. Seiring dengan perjalanan dan perubahan  waktu, hanya dalam beberapa bulan, belum sampai setahun, aroma rekonsiliasi itu berubah.  Benih-benih permusuhan kembali merebak.‎
Sebab SBY lalu meluncurkan sejumlah kritikan kepada pemerintahan Jokowi. Presiden baru RI tersebut, hampir setiap pekan dihujani kiritik oleh SBY melalui twitter ataupun media sosial seperti Facebook.  Kritikan itu terlalu dini diluncurkan. ‎
Pada awalnya kritikan itu masih dianggap hal yang wajar. Tapi ketika kritikan itu muncul begitu sering dan seolah-olah menjadi sebuah sistem yang terporgram,  maka kecurigaan dan persepsi baru muncul. Persepsi tentang SBY tentunya. SBY dicurigai punya agenda tersembunyi tentang pemerintahan Joko Widodo. ‎
Bahwa melalui kritikan tersebut SBY sebetulnya ingin ‘mengganggu’ pemerintahan anak buah Megawati. Dengan terganggunya Jokowi,  Presiden baru ini pun  tak bisa bekerja dengan tenang.  Pada akhirnya masyarakat akan membuat perbandingan pencapaian yang dibuat SBY dan Jokowi.  SBY lebih baik dari Jokowi. Itulah yang mau dicapai melalui kritikan tersebut.‎
Kecurigaan lainnya, kritik-kritik SBY yang memimpin Indonesia selama 10 tahun, 2004 hingga 2014 ingin mendapatkan legacy dan pengakuan sebagai yang terbaik. ‎Karena itu SBY berharap jangan sampai pencapaian baik itu, dirusak oleh penggantinya. ‎
Belakangan, muncul kecurigaan baru bahwa SBY sedang  menunjukan  pengaruhnya masih sangat kuat. Rakyat Indonesia masih mencintainya.  Apalagi respons berupa acungan jempol, tanda “like” di postingan kritikannya relatif membanjir. ‎
Secara tidak langsung masyarakat Indonesia sudah  menempatkan SBY sebagai ‘Presiden Bayangan’. ‎Posisi atau status ‘Presiden Bayangan’ ini makin menguat dan terasa dalam kegiatan politik menuju Pilkada DKI 2017. ‎
SBY sudah bukan lagi seorang Presiden yang merangkap Panglima Tertingi TNI. ‎Namun perintahnya bisa melewati kekuasaan Panglima TNI. ‎Puteranya yang masih terikat iakatan dinas, bisa diperintahkannya untuk mundur dari kedinasan. ‎
Tanpa memegang jabatan Panglima Tertinggi, SBY bisa menugaskan puteranya yang tengah bertugas bagi negara, dialihkannya  membela kepentingan partai dan keluarga. SBY tak peduli dengan prosedur.‎‎
SBY mem-by pass peraturan disiplin di institusi kemiliteran dan mem-“fait accomply” pimpinan TNI AD termasuk Panglima TNI bahkan Presiden Joko Widodo selaku Panglima Tertinggi.
Tanpa menunggu izin resmi, tanpa mengajukan permintaan pensiun dini, putranya yang masih militer aktif ditugaskannya bersaing dalam Pilkada DKI.‎
Izin belakangan.  Begitulah sejumlah opini  dan kritik yang berkembang baik melalui media sosial maupun diskusi-diskusi versi warung kopi.
SBY sampai lupa bahwa ketika ia masih menjabat sebagai Presiden dia justru yang berpesan agar para taruna Akademi Militer jangan pernah bercita-cita menjadi walikota, bupati dan Gubernur. ‎
Dari ini sangat logis jika muncul kesan bahwa SBY memposisikan diri sebagai “orang kuat”. ‎Ia mampu membangun koalisi oposisi. ‎
Selaku Ketua Umum Partai Demokrat, SBY  mampu menyakinkan PKB, PPP dan PAN berkoalisi menghadapi Pilkada DKI 2017.‎
Koalisi Partai Demokrat dengan tiga partai Islam di atas dalam tatanan tertentu bisa diartikan sebagai langkah strategi untuk mengganggu atau menggoyang pemerintahan Jokowi.‎
Pasalnya ketiga partai tersebut sejauh ini sudah menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi. Mereka telah  diberi jatah kursi Menteri oleh Jokowi.  Dan SBY tahu betul deal mereka dengan Jokowi. ‎
Artinya secara etika  SBY tidak patut menggoda PKB, PPP dan PAN untuk membelakangi pemerintahan Presiden Jokowi.
Manuver SBY ini secara demokratis cukup cantik. Karena koalisi bentukannya untuk Pilkada DKI, menusuk dua sasaran. Pemerintahan Jokowi dan bos PDIP Megawati.‎
Secara tidak langsung, manuver ini menyentuh kewibawaan Megawati Soekarnoputri. “atasannya” Jokowi. Dan di sini sebetulnya yang menjadi pertarungan baru antara SBY dan Megawati.‎
Manuver ini menunjukan bahwa SBY merupakan  seorang politisi ulung dan jenderal pensiunan yang ahli dalam strategi. ‎
Di menit-menit terakhir, dalam momen yang krusial, pada posisi yang terdesak ia masih bisa menyerang. Dua hari sebelum penutupan pendaftaran peserta Pilkada 2017, SBY berhasil menduetkan puteranya Agus Harimurti dengan Sylvia Murni.‎
Artinya dengan manuver ini, SBY mampu menunjukkan kelasnya sebagai oposisi petarung. ‎
Apapun ceriteranya, Jokowi pasti merasa seperti ditikam dari belakang atau dikhianati oleh PPP, PKB dan PAN.  Megawati dibuat tidak nyaman.‎
Sebetulnya pengkhianatan ini bisa dibalas oleh Jokowi dengan cara memecat para Menteri yang berasal dari PKB, PPP dan PAN. Jokowi dapat melakukan perombakan kabinet jilid III. ‎
Sebaliknya sekalipun Jokowi mungkin merasakan koalisi bentukan SBY merupakan sebuah pengkhianatan,  tetapi pengkhianatan ini sulit dia jadikan alasan untuk merombak kembali susunan kabinet.‎
Pasalnya sisa waktu masa kerja Presiden Jokowi tinggal 3 tahun. Dan secara efektif, mungkin tinggal 2 tahun. Hitung-hitungan ini bukan mustahil sudah dikalkulasi oleh SBY dan tiga parpol tadi.‎
Bisa juga Jokowi tidak merasa dikhianati. Tetapi barangkali tidak demikian dengan mentor politiknya, yaitu bunda Megawati Soekarnoputri. ‎
Megawati-lah yang bisa merasakan bahwa dalam Pilkada DKI 2017 ini, dia ditantang bertarung dalam format baru  oleh “sahabat lama”nya, mas Esbeye.‎
Nah kalau keadaannya demikian, tidak berlebihan kalau kita sebut, Pilkada 2017 justru memperpanjang perseteruan SBY dan Megawati. ‎Perseteruan ini bakal berekor panjang. Tergantung hasil Pilkada Februari 20 17. ‎Kalah dan menang dalam Pilkada DKI, bakal menentukan atau mempengaruhi karir politik SBY dan Mega, berikut Demokrat dan PDIP.‎
Sebagai sesama warga negara Indonesia, kita cukup prihatin menyaksikan perseteruan elit politik bangsa seperti ini. ‎Kita hanya berharap sudahilah perseteruan kalian. Berhentilah saling menelikung.
Semua keperluan kalian sudah tercukupi. Jabatan tertinggi di sebuah negara, sudah kalian capai. Apalagi sih yang kalian cari?  Kehormatan? ‎Nampaknya perseteruan ini lebih dikarenakan oleh ego masing-masing yang terlalu besar. Lebih besar dari tubuh mereka berdua.‎‎ Jadilah negarawan, pemimpin yang disegani dan tidak sekedar menjadi mantan Presiden.
Oleh Derek Manangka, Jurnalis Senior‎