PADAÂ tanggal 1 Mei, ribuan buruh di Indonesia akan turun ke jalan untuk memperingati Hari Buruh Internasional. Tanggal 1 Mei, atau juga dikenal dengan May Day, lahir dari rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi politik hak-hak industrial melalui berbagai pemogokan di awal abad 19, karena buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, jam kerja yang panjang serta minimnya upah bagi buruh.
Tuntutan untuk mengurangi jam kerja buruh hingga menjadi 8 jam kerja menjadi tuntutan utama perjuangan kaum buruh ketika itu, yang dinikmati oleh seluruh pekerja hingga saat ini, termasuk pekerja di Indonesia. Perjuangan kelas pekerja untuk menuntut kesejahteraan ini telah mengorbankan ratusan nyawa hilang.
Oleh karena perjuangan kelas pekerja itulah , di banyak negara, tanggal 1 Mei dijadikan hari libur nasional. May Day menjadi satu-satunya hari libur nasional yang tidak sangkut pautnya dengan peringatan hari besar keagamaan atau kenegaraan. May Day diperingati oleh kelas pekerja dengan agama dan kewarganegaraan apapun. Di Indonesia, tanggal 1 Mei di tahun 2016 ini merupakan tahun ketiga di mana May Day ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Walaupun May Day sudah ditetapkan sebagai hari libur nasional, namun sepertinya kondisi perburuhan di Indonesia masih memprihatinkan. Rata-rata kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) di tahun 2016 di berbagai provinsi sekitar 11,5 persen. Angka itu lebih rendah jika dibandingkan persentase rata-rata kenaikan UMP tahun 2015 yang mencapai 12,77 persen. Sebagai dasar kenaikan UMP tahun 2016 ini, beberapa provinsi telah menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
PP ini sendiri banyak ditolak oleh berbagai organisasi buruh karena untuk menentukan kenaikan UMP setiap tahunnya ini tidak akan melibatkan serikat buruh. Selain itu, formula baru untuk kenaikan upah yang tercantum dalam PP ini juga tidak lagi mengacu pada komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang harus disesuaikan per tahunnya, karena penyesuaian KHL hanya akan dilakukan tiap lima tahun.
Dengan penyesuaian KHL setiap lima tahun tentunya akan membatasi kenaikan upah buruh. PP No 78 Tahun 2015 sudah jelas menjadi kelanjutan agenda politik upah murah yang selama bertahun-tahun telah dilakukan oleh pemerintah agar menarik pemilik modal untuk menginvestasikan modalnya di Indonesia.
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa upah nominal harian buruh tani nasional pada Februari 2016 sebesar Rp 47.437,- per hari, yang naik sebesar 0,41 persen dari bulan sebelumnya. Nilai upah yang diterima baik oleh buruh industri maupun buruh tani harian itu tentunya sangat jauh dari Kebutuhan Hidup Layak.
Untuk itu, kami dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) akan menggalang dan memobilisasi seluruh struktur KPRI wilayah dan anggota KPRI untuk memperingati Hari Buruh Internasional. Hal ini didasari atas ketidakadilan yang semakin terasa jika dibandingkan dengan pendapatan para pimpinan BUMN yang mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah dalam per bulan.
Upah Direktur Utama Bank Mandiri saat ini mencapai 1 miliar rupiah per bulan, sementara upah untuk Direktur Bank BRI mencapai 350 juta rupiah per bulan dan upah Direktur BNI mencapai 253 juta rupiah per bulan. Total anggaran upah dan tunjangan direksi Bank Mandiri pada 2015 sebesar Rp 129 miliar untuk 11 orang direksi. Sementara BRI harus memberikan total anggaran upah dan tunjangan bagi 11 orang direksinya sebesar Rp 42 miliar dan BNI sebesar Rp 25 miliar untuk 9 orang direksi.
Politik upah murah yang diterapkan pemeirntah guna menarik pemilik modal menginvestasikan modalnya di Indonesia pada akhirnya juga berdampak pada kehidupan rakyat pekerja lainnya, seperti petani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan. Untuk membuka industri-industri baru di Indonesia, maka kebutuhan lahan menjadi sangat tinggi, sehingga berdampak pada konflik-konflik masyarakat dan korporasi terkait lahan.
Sepanjang 2015, Konsorsium Pembaharuan Agraria mencatat ada 252 kejadian konflik agraria di Indonesia, dengan luasan wilayah konflik mencapai 400.430 hektar dan melibatkan sedikitnya 108.714 kepala keluarga (KK). Konflik agraria yang paling banyak terjadi berada di sektor perkebunan yang mencapai 50 persen dari seluruh konflik yang terjadi di tahun 2015.
Sementara konflik di sektor pembangunan infrastruktur menempati posisi kedua sebanyak 70 konflik (28 persen), lalu sektor kehutanan 24 konflik (9,60 persen), sektor pertambangan 14 konflik (5,2 persen), serta di sektor pertanian dan sektor pesisir/kelautan yang masing-masing sebanyak 4 konflik (2 persen). Konflik-konflik tersebut didahului dengan perampasan lahan yang dilakukan oleh korporasi dan dibantu oleh aparat keamanan dan pemerintah setempat.
Di sektor perkebunan, khususnya perkebunan sawit, berdasarkan data dari Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia, telah menghabiskan lahan seluas 10 juta hektar. Ekspansi perkebunan kelapa sawit ini terbilang pesat, yang dalam 5 tahun terakhir luas lahan bertumbuh 35 persen atau hampir seluas Pulau Bali. Sementara separuh lahan sawit di Indonesia (5,1 juta hektar) atau setara dengan luas setengah Pulau Jawa dikuasai oleh 25 perusahaan besar.
Lima perusahaan di antaranya adalah Grup Sinar Mas yang menguasai 788.907 ha dan mengeruk pendapatan US$ 6,5 miliar, Grup Salim menguasai 413.138 ha pendapatannya US$ 1,2 miliar, Grup Jardine Matheson mengeruk pendapatan US$ 1,2 miliar dari lahan seluas 363.227 ha, Grup Wilmar mendapatkan US$ 44 miliar dari 342.850 ha dan Grup Surya Dumai (First Resources) memiliki lahan 304.468 ha serta memiliki pendapatan US$ 0,6 miliar.
Sementara 2,8 ha dikuasai 20 perusahaan besar lainnya dan lahan seluas 4,9 juta ha sisanya dikuasai 592 perusahaan kecil. Penguasaan lahan oleh perusahaan-perusahaan ini sudah sangat jelas menggusur lahan-lahan perkebunan dan pertanian milik rakyat pekerja lainnya.
Ketidakadilan penerimaan upah dan penguasaan lahan tersebut pada akhirnya menyebabkan ketimpangan kesejahteraan di masyarakat Indonesia. Menurut catatan Bank Dunia, ketimpangan di Indonesia melaju paling cepat jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Timur. Hal ini terlihat dari terus meningkatnya koefisien gini Indonesia yang terus meningkat dari 30 poin pada 2000 menjadi 41 pada 2014, yang merupakan rekor tertinggi.
Melebarnya ketimpangan kesejahteraan ini juga tercermin dari terpusatnya akumulasi kekayaan pada minoritas penduduk Indonesia. Mengacu data Credit Suisse, Bank Dunia mencatat kelompok 10 persen orang kaya Indonesia menguasai sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan aset dan keuangan di negeri ini. Bila dipersempit lagi, 1 persen orang terkaya Indonesia menghimpun separuh total aset negara ini. Majalah Forbes merilis miliarder Indonesia yang mendominasi kekayaan di tahun 2016 ini adalah pemilik industri rokok, perbankan dan manufaktur.
Lima besar miliarder di Indonesia tahun 2016 antara lain Budi Hartono dan Michael Hartono yang memiliki Djarum & BCA memiliki aset masing-masing Rp 106,4 triliun dan Rp 103,8 triliun. Sementara Chariul Tanjung, yang merupakan pemilik CT Corp, mengumpulkan kekayaan hingga Rp 64,4 triliun. Disusul oleh Sri Prakash Lohia, pemilik Indorama, dan Bactiar Karim dari Musim Mas, yang masing-masing mengumpulkan kekayaan sebesar Rp 53,2 triliun dan Rp 42 triliun.
Dari gambaran di atas dapat terlihat bahwa ketimpangan yang terjadi akibat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mendahulukan kepentingan para pemilik modal dibandingkan kepentingan rakyat pekerja. Sejak masa reformasi bergulir hingga saat ini, kebijakan pemerintah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi hanya akan dirasakan oleh segelintir orang yang menjadi pemilik modal serta kelompok yang berkuasa.
Sementara rakyat masih berada dalam posisi yang sama, yakni berada ketertindasan dan kemiskinan. Politik upah murah, PHK, sistem kerja kontrak/outsourcing, perampasan lahan, konflik agraria dan lain sebagainya bukan hanya terjadi pada hari ini saja. Peristiwa ini tidak pernah berubah sejak masa reformasi bergulir dan selalu dialami oleh rakyat pekerja. Untuk itu menjadi penting bagi gerakan rakyat untuk memajukan perjuangannya menjadi perjuangan politik dengan membangun partai politiknya sendiri. Hal ini dikarenakan partai-partai politik yang ada saat ini telah terbukti hanya akan berpihak kepada para pemilik modal dan kekuasaan.
Bulan Mei juga menjadi bulan yang sangat penting bagi gerakan perlawanan di Indonesia, di mana di bulan ini penuh dengan peristiwa-peristiwa penting bagi gerakan rakyat di Indonesia. Dimulai dengan tanggal 2 Mei yang selalu diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional. Privatisasi dan komersialisasi dunia pendidikan masih menjadi permasalahan hingga saat ini, yang menyebabkan akses rakyat untuk mengenyam pendidikan menjadi kecil peluangnya karena membutuhkan biaya yang tinggi.
Hari terbunuhnya Marsinah pada tanggal 8 Mei pada tahun 1993 juga patut diperingati oleh seluruh gerakan rakyat. Marsinah ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan karena disiksa akibat memperjuangkan kenaikan upah di tempatnya bekerja. Untuk itu, Marsinah juga dikenal sebagai ikon perjuangan buruh perempuan pertama di Indonesia. Selain itu, juga ada Peristiwa Trisakti (12 Mei) dan tragedi Mei (13-15 Mei) menjadi rantai perjuangan gerakan rakyat untuk menjatuhkan pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998.
Sementara Hari Kebangkitan Nasional yang selalu diperingati setiap tanggal 20 Mei menjadi awal gerakan perlawanan rakyat untuk merebut kepemimpinan ekonomi politik di tanah air dari tangan penjajah. Sedangkan tanggal 21 Mei merupakan hari kejatuhan Orde Baru yang dilakukan oleh gerakan-gerakan rakyat pada tahun 1998.
Selain momen-momen tersebut, di tanggal 15 Mei 2016, juga akan diadakan Kongres Rakyat Miskin Lawan Penggusuran untuk merespon massifnya fenomena penggusuran yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta. Untuk itu, kami dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) ingin memaknai bulan Mei ini sebagai Mei Bulan Perlawanan Rakyat.
Bulan Mei sebagai bulan perlawanan rakyat juga dapat dimaknai sebagai bulan perjalanan gerakan rakyat di Indonesia. Dari masa ke masa, agenda perlawanan dari gerakan rakyat di bulan Mei selalu memberikan perubahan ekonomi politik di negeri ini. Maka dari itu, selain menggalang dan memobilisasi gerakan rakyat Multi sektor, yang menjadi anggota KPRI, untuk memperingati Hari Buruh Internasional, KPRI juga mengusung Mei Bulan Perlawanan Rakyat sebagai salah satu agenda perjuangan KPRI.
Untuk itu, kami dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) menyatakan sikap menggalang, mobilisasi dan mendukung seluruh kekuatan aksi gerakan rakyat untuk memperingati Hari Buruh Internasional di seluruh kota-kota di Indonesia.
Mengecam segala bentuk kriminalisasi kepada gerakan rakyat di seluruh Indonesia yang hendak memperjuangkan hak-haknya. Konsolidasikan seluruh gerakan rakyat Multi sektor untuk mengusung agenda Mei Bulan Perlawanan Rakyat.
Bangun persatuan kekuatan gerakan rakyat Multi sektor untuk melawan rezim infrastruktur yang menggusur, merampas tanah rakyat dan mereklamasi pantai untuk kepentingan para pemilik modal. Bangun kekuatan politik persatuan gerakan rakyat multi sektor, dengan membangun partai politik dari gerakan rakyat untuk mewujudkan daulat rakyat dan melawan kekuatan kapitalisme-neoliberalisme.
Bangun persatuan dan solidaritas seluruh elemen rakyat untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Oleh Ketua Dewan Pimpinan Nasional Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), Chabibullah