Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
SEJARAWAN Harry Benda menyebut Sukarno “dramatis personae”. Kembar jiwa pemikir sekaligus pemain politik, yang naik ke tampuk kekuasaan sebagai pemersatu bangsa.
Pembangkit nasionalismenya ialah jutaan rakyat yang menderita dan dieksploitasi.
Kreativitasnya sebagai pemikir ialah Nasionalisme, Islam, dan Marxisme.
Di negeri ini jadi presiden harus merangkul semua golongan. Dogma “yang penting nasionalis” adalah kesimpulan yang salah.
Sukarno nasionalis inklusif. Titik temu antara Islam dan Nasionalis (atau sebaliknya) dan kelompok-kelompok lainnya sangat diperlukan.
Kunci dari nasionalisme Indonesia yang sesungguhnya ialah tidak boleh phobia terhadap agama apapun.
Negeri dan bangsa ini tidak akan hancur oleh karena perbedaan-perbedaan. Juga tidak karena alamnya.
Kehancuran bisa terjadi akibat cara pandang nasionalisme sempit elit kekuasaan.
“Nasionalisme kita haruslah lahir daripada menselijkheid (kemanusiaan). Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan,” kata Sukarno.
Sengaja mengembangkan phobia terhadap Islam seperti yang terjadi sekarang misalnya, sangat membahayakan persatuan bangsa.
Islamphobia dengan subtema radikal-radikul sebenarnya hanya mainan segelintir minoritas yang menganut nasionalisme sempit.
Segelintir minoritas ini bertingkah persis seperti kelompok agama tertentu di Amerika Latin sampai era tahun ‘90-an, yang mendekat kepada kekuasaan diktator militer.
Gelombang protes publik waktu itu akhirnya muncul menamakan diri Teologi Pembebasan, menentang kelompok agama ini agar mau berpihak kepada rakyat.
[***]