JENDERAL Purnawirawan Luhut Binsar Panjaitan, jika jadi Menko Maratim dan Sumber Daya, hanya sekedar katup pengaman Proyek Reklamasi, sebaiknya mundur saja.
Karena tupoksinya kementerian yang ditinggalkan oleh DR Rizal Ramli bukan sekedar blangwir yang mau memadamkan api keinginan para pengembang saja.
Itu di antara celoteh aktivis yang konsen perjuangkan penghentian Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Dari sisi Hukum, izin reklamsi yang sudah dikeluarkan oleh Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama itu sudah di kalahkan di PTUN.
Karena tindakan Ahok, panggilan akrab Gubernur DKI, yang juga sering dipanggil Gubernur Podomoro itu salah dari sisi hukum.
Oleh karena Putusan PTUN Â itu adalah tepat, sehingga bila Menko Maratim dan Sumber Daya, Luhut Binsar Panjaitan mau mencoba menganulir keputusan menko sebelumnya adalah dikategorikan perbuatan melawan hukum.
Menko Luhut juga melawan suara protes publik, pakar dan aktivis, serta kaum nelayan.
Seperti, penunjukan Luhut dan pencopotan Rizal Ramli, hanya sekedar menjalankan misi pengembang yang sudah kadung menimbun laut di utara Jakarta agar proyek itu dapat berjalan kembali. Dan itu adalah keputusan yang salah serta Keliru.Â
Jika opini pencopotan Rizal Ramli, seperti ini adalah benar, maka keputusan Jokowi dan penunjukan Luhut untuk misi menyelamatkan keinginanan pengembang, terutama yang berjasa sebagai penyokong dana kampanye pilpres seperti yang disuarakan oleh Ahok itu benar adanya.Â
Sehingga, tidak terlalu keliru, jika Rezim ini, terutama Presiden dan Menkonya disetir oleh pemilik modal dan pengembang. Bahkan ijon dana Rp2 triliun, seperti ocehan Ahok tak dapat ditepis.Â
Adalah naif, jika Jokowi dan Menko berpikir untuk selamatkan pengembang, karena dalam pilpres, suara puluhan juta rakyat Indonesia lainnya di anggap tak berharga. Dan bisa di katakan, Jokowi dan Luhut cuma hormati dan bela mati-matian pemodal dan para cukong.
Ini pandangan yang keliru dan berbahaya, karena Negara ini tersandera oleh pengusaha. Lebih khususnya adalah pengembang yang ngotot timbun laututara Jakarta.
Jika, sampai detik ini perjuangan yang dilakukan oleh sejumlah elemen gerakan, seperti, KNTI, LBH Jakarta, Walhi, Solidaritas Perempuan, ICEL, Forum Kerukunan Nelayan Muara Angke, Walhi Jakarta, YLBHI, Kiara dan publik secara luas untuk lakukan penolakan terhadap Reklamasi Jakarta Utara itu patut dan pantas untuk di dengar.
Itu jika Negeri ini masih mau mengusung jargon demokrasi, dan menghargai suara kritis rakyatnya. Tetapi, bila tidak mengindahkan perjuangan dan suara kritik publik, dengan sikap Menko Luhut, akan mengubur dalam dalam demokrasi yang sedang berkembang sekarang.Â
Dan jangan salahkan rakyat dan mahasiswa yang memandang rezim ini hanyalah perpanjangan tangan kaum pemodal, antek pengembang. Rezim antek cukong yang seringkali di dengar di ruang riskusi para aktivis.
Hemat Penulis, bila soal reklamasi ini masih tetap didukung mati-matian an oleh Istana seperti Keinginan Menko Maratim dan Sumber Daya Luhut Binsar Panjaitan, maka itu akan menjadi amunisi yang siap menjadi bumerang bagi Istana.
Presiden dan Menko di anggap sebagai Presiden dan Menko Podomoro. Apa Istana mau dapat stempel seperti itu?
Oleh Muslim Arbi, Koordinator GALAK, Gerakan Aliansi Laskar Anti Korupsi