KedaiPena.Com- Ekonom Konstitusi Defiyan Cori mendesak adanya evaluasi kinerja manejemen dari PT Pertamina dimasa kepemimpinan Nicke Widyawati. Pasalnya, selama memimpin Pertamina tidak banyak kinerja positif yang dapat dicatat Nicke Widyawati sebagai Direktur Utama (Dirut) salah satunya ialah soal utang.
“Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina (Persero) sebelumnya, yaitu Basuki Tjahja Purnama atau Ahok pernah mengungkapkan bahwa Pertamina selama ini sering berutang. Padahal, Ahok menyatakan bahwa utang tersebut pada tahun 2019 telah mencapai US$16 miliar atau sekitar Rp236 triliun (US$1= Rp 14.800),” kata dia, Selasa,(19/11/2024).
Ia mengingatkan, kala itu Ahok menyebut utang yang diperoleh Pertamina sangat sering dipergunakan untuk melakukan akuisisi ladang dan blok minyak di luar negeri sementara di dalam negeri masih ada potensi eksplorasi minyak dan gas yang besar.
“Bahkan, Pertamina merupakan salah satu BUMN penyumbang utang terbesar berdasar laporan keuangan konsolidasi tahun 2022 (diaudit) yang dipublikasikan,” papar dia.
Ia menambahkan, utang itu sendiri terdiri dari, jangka pendek sejumlah US$21,2 miliar atau setara Rp316,68 triliun dan utang jangka panjang sejumlah US$29,39 miliar atau setara Rp439 triliun.
“Dengan demikian, total utang Pertamina periode 2022 telah mencapai US$50,59 miliar atau setara Rp755,69 triliun,” papar dia.
Ia mengakui, bahwa angka itu mengalami lonjakan sejumlah US$5,87 miliar atau setara Rp87,7 triliun dari posisi utang perusahaan per 2021 yang sejumlah US$44,72 miliar atau setara Rp667,99 triliun.
“Dibandingkan saat awal menjabat Dirut Pertamina, kenaikan utang yang dilakukan oleh Nicke Widyawati mencapai sejumlah US$34,59 atau senilai Rp519,69 triliun, adalah catatan prestasi atau rekor utang yang sangat fantastis,” jelas dia.
Selanjutnya, kata dia, yang menjadi soal ialah terkait dengan kondisi bisnis hilir atau downstream Pertamina melalui Pertamina Patra Niaga/PPN atau sub holding Commercial & Trading (C&T)? Pada tahun 2019.
Sekper (Corsec) Pertamina Brahmantya Satyamurti Poerwad melalui VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menyatakan, bahwa volume penjualan bahan bakar mineral (BBM) periode 2019 meningkat yaitu mencapai 51,31 juta kiloliter (KL) dibanding tahun 2018 hanya sebesar 49,62 juta KL.
“Penjualan terbesar berasal dari volume elpiji ekuivalen 13,75 juta KL dan BBM untuk Industri 13,96 juta KL. Dari penjualan tersebut, secara total konsolidasi volumenya mencapai ekuivalen 87,98 Juta KL,” papar dia.
Kemudian, pada tahun 2022 penjualan BBM Pertamina tercatat sejumlah Rp84,8 triliun dengan beban pokok penjualan Pertamina (COGS) mencapai Rp60,9 triliun, meningkat 48% dari tahun 2021.
Dari penjualan BBM ini, Pertamina berhasil membukukan laba bersih sebesar US$3,8 miliar atau Rp56,6 triliun, meningkat 86% dari tahun 2021. Artinya, kenaikan konsumsi BBM dan elpiji memberikan kontribusi positif atas capaian labanya, tapi juga sekaligus meningkatkan beban pokok atau HPP separuhnya.
“Ada dua beban terbesar yang meningkat, yaitu impor BBM jenis premium dan solar mencapai Rp15 triliun padahal tahun 2021 hanya sejumlah Rp6,7 triliun. Impor solar justru lebih besar lagi pada periode tahun 2022 yaitu mencapai US$19,76 miliar ekuivalen Rp299,41 triliun atau 72.411 barel per hari (bph) serta meningkat 2.187%,” jelas dia.
Kinerja positif ini tentu memampukan Pertamina bersinergi antar sub holding untuk melakukan investasi pembangunan hulunya dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap impor migas dan BBM.
Yang lebih parah, tegas dia, adalah kinerja impor migas dan BBM Pertamina ini juga sama meningkatnya dengan (linier) tambahan utang korporasi.
“Yang berarti, pengelolaan BUMN strategis ini juga lebih besar pasak daripada tiang. Lalu, layakkah kinerja jajaran Dirut sub holding C&T ini memperoleh penghargaan apalagi promosi jabatan?,” tandasnya.
Laporan: Tim Kedai Pena