Artikel ini ditulis oleh Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, pada tahun 2023 jumlah penduduk bekerja mencapai 140 juta orang. Data tenaga kerja ini menunjukkan peningkatan sekitar 8,8 juta orang atau sekitar 6,71 persen selama periode 2021-2023. Sementara itu, jumlah angkatan kerja mengacu pada hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2024 berjumlah 149,38 juta orang, mengalami kenaikan sejumlah 2,76 juta orang dibanding bulan Februari 2023. Artinya, terdapat kenaikan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 0,50 persen poin dibanding Februari 2023 atau juga terdapat potensi pengangguran sejumlah 9,38 juta orang di Indonesia apabila tidak tersedia lapangan pekerjaan.
Dari jumlah penduduk yang bekerja tersebut, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) sejumlah 57,18 juta orang (40,89 persen) bekerja pada kegiatan formal. Sedangkan, jumlah penduduk setengah pengangguran mengalami peningkatan sebesar 0,36 persen, dan pekerja paruh waktu mengalami penurunan sebesar 0,82 persen dibanding Agustus 2022. Dari jumlah penduduk yang bekerja tersebut, mayoritasnya atau sekitar 82,67 juta orang (55,9 persen) merupakan tenaga kerja di sektor informal. Lalu, pemerintah berencana akan memberlakukan kebijakan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dengan istilah iuran melalui pemotongan gaji para pekerja setiap bulan sejumlah 2,5 persen (2 persen atas upah dan 0,5 persen dibayarkan pengusaha).
Pertanyaan bagi pemerintah dalam memberlakukan kebijakan program itu, adalah para pekerja mana saja yang akan diwajibkan membayar iuran Tapera sebagaimana penjelasan Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldoko akan resmi ditagihkan paling lambat Tahun 2027? Selain itu, seberapa kuatkah kemampuan para pekerja memiliki daya beli dengan pendapatan yang sudah banyak potongan berkedok iuran setiap bulan dengan upah/gaji yang tidak mengalami kenaikan signifikan? Dengan rata-rata upah/gaji pekerja se-Indonesia sejumlah Rp3 juta/bulan, maka telah terdapat potongan untuk membayar iuran Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaaan yang rata-rata sejumlah Rp300.000 ditambah iuran partisipasi untuk organisasi pekerja. Sehingga total upah/gaji yang telah terpotong selama sebulan mencapai Rp500.000 dan yang dibawa pulang ke rumah hanya sejumlah Rp2.500.000.
Atas dasar data dan pemetaan ketenagakerjaan Indonesia tersebut, pantas, layak dan manusiawikah pemerintah menerapkan kebijakan program Tapera meskipun sasaran dan tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup layak para pekerja memperoleh perumahan? Tidak adakah cara lain yang mengacu pada perintah konstitusi UUD 1945 dalam mengambil kebijakan dengan tanpa mengurangi hak-hak pekerja yang telah terkuras oleh berbagai program pemerintah? Pengurasan kantong pekerja dari upah/gaji ini belum termasuk pajak dan berbagai iuran di lingkungan tempat tinggal mereka yang juga dipungut rutin setiap bulan dan membuat upah/gaji dikantong para pekerja semakin terkuras!
Bahkan, kebijakan program Tapera ini juga akan memberatkan pemerintahan baru Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang salah satu misinya membangun dan mengembangkan Koperasi. Apabila kebijakan program Tapera ini terus dipaksakan, maka ruang fiskal pemerintah memang semakin terbuka, tapi tingkat kepercayaan rakyat semakin tertutup dan runtuh. Hal ini dimungkinkan oleh adanya potensi kehilangan dana masyarakat melalui Tapera sejumlah Rp125.000/bulan atas iuran 140 juta pekerja atau Rp17,5 triliun dan Rp210 triliun per tahun. Oleh karena itu, sebaiknya kebijakan program Tapera harus diganti dengan program lain yang tidak memberatkan para pekerja!
[***]