Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Gerakan “Islam politik”. Dalam tulisan ini diartikan sebagai gerakan politik dengan menjadikan Islam sebagai jargon, slogan, identitas atau magnet isu. Berbeda dengan gerakan “Politik Islam”. Ialah gerakan politik dengan menjadikan Islam sebagai sumber nilai etis. Termasuk orientasi dan etika dalam berpolitik.
Perbedaan keduanya menjadi tipis. Oleh saling berkelindan terminologi dan slogan. Mana gerakan “Islam Politik” dan mana gerakan “Politik Islam” menjadi tumpang tindih. Menjadi kabur. Gerakan “Islam Politik” sering dimaknai sebagai gerakan “Politik Islam”. Gerakan “Politik Islam” sering dicederai atau dibajak oleh agenda gerakan “Islam Politik”.
Istilah pertama mengacu pada strategi menjadikan Islam sebagai alat menghimpun simpati, dukungan, maupun penguatan militansi dalam pencapaian agenda pragmatisme politik. Istilah kedua lebih menekanan pada perjuangan nilai-nilai Islam subtantif melalui gerakan politik.
Tarik ulur atau ketegangan keduanya telah berlangsung lama. Bukan saja semenjak era Sarekat Islam (SI): 1902. Bahkan semenjak era kasultanan. Ketika komunitas muslim Nusantara mulai mengorganisir agenda-agenda politiknya.
SI melahirkan generasi perumus kontitusi generasi awal. Produknya berupa UUD 1945. Didalamnya penuh muatan idiologi politik Islami. Sebagaimana terkonstruksi dalam preambule, Pancasila, maupun batang tubuh, UUD 1945.
Pada era konstituante (1955-1959), gerakan Islam politik diwarnai ketegangan. Antara formalisme Islam dan Islam substantif. Diealektika itu dikenal dengan perumpamaan “Minyak Samin cap babi atau minyak babi cap onta”. Artinya “Islam subtantif tanpa harus terjebak simbolisme, atau Islam simbolistik akan tetapi susbtansinya bukan Islam”. Dialektika itu melahirkan kompromi, kembali pada UUD 1945.
Pada era Orde Baru, gerakan Islam Politik relatif meredup. Seiring penyederhanaan kepartaian menjadi tiga kontestan. Secara umum, gerakan politik identitas juga meredup. Penyederhanaan itu menjadi salah satu pintu, Orde Baru, dituding sebagai rezim otoritarian.
Diskursus ke-Islaman masa Orde Baru menekankan cara memberi makna yang sejalan nilai-nilai substansi ajaran Islam. Dalam setiap gerak kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maka lahirlah KHI (Kompilasi Hukum Islam). Ialah kodifikasi atau penghimpunan Hukum Islam di Indonesia melalui Inpres No 1 Tahun 1991. Meliputi hukum perkawinan, pewarisan dan perwakafan.
Juga melahirkan Bank Syariah. Diawali melalui forum-forum diskusi sejak tahun 1980-an. Selain modernisasi sistem pedidikan ke-Islaman.
Pada era reformasi gerakan “Politik Islam” mengalami anomali. Setidaknya sebagai arus utama isu gerakan meredup. Keberdaannya ditimpa hinggar bingar “Islam Politik”. Banyak bermunculan gerakan politik menggunakan simbol-simbol Islam. Tumbuh militansi gerakan politik dengan jargon-dan simbol-simbol Islam. Akan tetapi sulit diketemukan karya monumental peradaban sebagaimana lahirnya KHI.
Generasi SI melahirkan Pancasila dan UUD 1945. Sebuah konsep pembangunan peradaban ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Peradaban Tauhid. Generasi Orde Lama melahirkan konsensus untuk kembali pada UUD 1945. Generasi Orde Baru melahirkan KHI dan Bank Syariah.
Era reformasi belum menunjukkan prestasi monumental dalam mengkonstruksi konsepsi-konsepsi peradaban Islami. Reformasi terjebak formalisme dan simbolisme keagamaan. Sebuah kemunduran jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Salah satu sebab kemunduran itu adalah masuknya beragam manhaj gerakan Islam Politik yang tidak memiliki akar nasionalisme Indonesia. Seperti masuknya gerakan sayap-sayap Ikhwanul Muslimin (IM), Hisbut Tahrir (HTI), Salafi-Wahabi (SW), maupun menguatnya gerakan politik sejumlah kaum Habaib. Salah satunya melalui FPI. Ia bukan parpol, akan tetapi aktif sebagai presure group politik.
NU-Muhammadiyah, lahir dari anak kandung nasionalisme Indonesia. Konstruksi Indonesia merdeka merupakan salah satu bagian dari hasil perjuangannya. Maka mereka memiliki semangat memuati kemerdekaan itu sebagai bagian membangun dirinya sendiri. Menyakitinya adalah menyakiti dirinya.
Berbeda dengan sayap IM, HTI, SW maupun gerakan politik Habaib. Kesetiaan nasionalismenya bersumbu pada akar historis ia tumbuh. Bukan nasionalisme Indonesia. Maka agenda gerakannya memperkuat eksistensi politik internal sekaligus mengambil alih dan atau mengkoreksi sistem kebangsaan dan ketatanegaraan. Maka narasi yang mencuat banyak didominasi sebagai perlawanan terhadap state. Tidak merasa sebagai bagian dari state. Perlawanan itu menggunakan jargon-jargon ke-Islaman. Dari sinilah penyebab “politik Islam” Indonesia mengalami kemunduran pada era reformasi.
Salah satu cara menghentikan kemunduran itu dengan penyadaran ummat Islam. Atas kamuflase gerakan “Islam Politik”. Keberadaannya menenggelamkan gerakan “Politik Islam” yang sudah berjalan ke arah kemajuan.
Ummat Islam Indonesia tidak boleh diadu dengan negara. Ia bagian tak terpisahkan dari bangsa dan negara itu sendiri. Ummat Islam Indonesia merupakan pendiri dan pembangun peradaban Pancasila. Jangan sampai dipisahkan oleh manhaj dan idiologi yang tidak memiliki kesejalanan historis dengan NKRI.
Pemisahan itu dilakukan melalui kamuflase jargon-jargon ke-Islaman. Oleh pragmatisme politik berkedok agama yang membahayakan. Ummat Islam Indonesia harus dididik untuk sadar sejarah perjalanan bangsanya.
[***]