KARENA terkait pengadaan minyak mentah yang telah menghebohkan itu, sesungguhnya dalam ‘best practice’ ‘Crude Oil Management Service’ (COMS) tidak dikenal membeli minyak mentah (crude) dengan cara mengoplos.
Karena akan terjadi beberapa kelemahan antara lain akurasi kuantitas maupun kualitas (blending seharusnya dilakukan di kilang Pertamina).
Terjadinya salah pengiriman telah di ketahui oleh publik (dari referensi mass media), dan baru di permasalahkan Pertamina setelah sampai Balikpapan .
Berdasarkan ‘best practice’ kejadian pengadaan minyak mentah dari Libya yang dicampur terbalik komposisinya antara minyak Sarir dgn minyak Mesla, sangat tidak lazim.
Karena pada saat pengiriman ada notifikasi “bill of lading”, pastinya pihak ISC sudah lebih tahu sejak awal, dan bisa dibatalkan sebelum kapal bergerak di terminal muat di Libya, atau di salah satu negara Timur Tengah menuju Indonesia.
Sangat disayangkan, hal ini terjadi setelah di-‘declare’, apakah COMS sudah jalankan dengan benar oleh dan ISC lebih transparan dibanding Petral? Itulah yang perlu didalami oleh penegak hukum.
Soal pihak ISC menutup rapat harga kontraknya adalah suatu hal membuktikan ISC tidak transparan terhadap publik.
Yang tidak boleh dibuka itu sebelum tender dilakukan , akan tetapi setelah diputus pemenangnya dan sudah ada kontrak, maka harga pembelian minyak mentah harusnya boleh dibuka ke publik.
Apalagi selama ini kita selalu mendengar keluhan dari Pertamina selalu rugi untuk menyalurkan BBM jenis tertentu dengan penugasan khusus seperti Premium Ron 88 dan Kerosen yang merupakan BBM tertentu dengan subsidi tetap Rp1000, sesuai Perpres 191/2014.
Keengganan ISC membuka harga beli itu bisa dianggap melanggar UU 14/2008 soal keterbukaan informasi kepada publik.
Oleh pemerhati kebijakan energi dari CERI, Yusri Usman