KedaiPena.Com – Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan DPP PKS Anis Byarwati menilai, ironi keputusan MK yang memutuskan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan memberikan waktu perbaikan hingga dua tahun.
Padahal, kata Anis sapaanya, UU Cipta Kerja beserta PP turunannya telah diberlakukan terhadap proyek-proyek strategis nasional.
“Ironinya karena masih diberi kesempatan untuk berjalan hingga 2 tahun, maka selama itu dampak negatif akan terus meluas dirasakan oleh masyarakat dan lingkungan hidup,” katanya, Minggu, (28/11/2021).
Anis menegaskan, jika ingin berpihak sebaiknya UU Cipta Kerja dapat dicabut dengan Perppu. Pasalnya, ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah akan semakin membesar kalau tidak bijak dalam mengambil keputusan mengenai UU Cipta Kerja yang berdampak kepada ekonomi nasional.
“Kalau mau berpihak dan tegas ya cabut UU Cipta Kerja dengan Perppu, efeknya jelas akan terasa di kondisi pandemi ini apalagi jika aksi mogok para buruh di awal bulan benar-benar terjadi,” tuturnya.
Anis memandang, keputusan MK ini juga menunjukkan bahwa betapa gegabah dan terburu-burunya Pemerintah dalam membahas dan menyetujui UU tersebut, sehingga menggabaikan prosedur penyusunan yang selama ini digunakan dalam setiap penyusunan UU.
Apalagi UU Cipta Kerja sendiri merupakan Omnibus Law yang membatalkan sejumlah pasal dalam banyak UU terkiat. Dari awal PKS sudah mengingatkan persoalan yang akan muncul jika UU ini tetap disahkan.
Anis mengingatkan kembali mengenai cacatnya substansi UU Cipta Kerja tentang muatan pengaturan yang tidak adil bagi nasib pekerja atau buruh Indonesia serta memihak kepada investor atau pemilik modal.
“tercermin dalam perubahan pasal-pasal berkaitan hubungan pekerja-pengusaha, upah dan pesangon yang terbukti belakangan ini dengan gelombang demo akibat tingkat kenaikan upah dibawah kenaikan inflasi meskipun itu baru dari satu faktor,” tegasnya.
Wakil Ketua BAKN DPR RI ini mengingatkan juga cacat prosedur dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja.
“MK pun menyatakan diantaranya partisipasi publik yang rendah seperti sulitnya akses terhadap naskah akademik dan perubahan penulisan terhadap substansi persetujuan bersama oleh DPR dan presiden, dan lainnya,” pungkas Anis.
Laporan: Sulistyawan