KedaiPena.com – Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dinyatakan memang meningkat, tapi berlangsung secara perlahan. Salah satu penyebabnya, karena pemerintah tidak konsisten dalam meningkatkan sektor pendidikan.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menyatakan tidak heran jika IPM Indonesia menempati peringkat 19 Di antara negara G20.
“Sejak lama IPM kita memang rendah, meski terus meningkat dari waktu ke waktu, namun perbaikan IPM lambat. Sehingga peringkat IPM kita juga tidak banyak meningkat,” kata Yusuf, Selasa (15/11/2022).
Pada 2021, peringkat IPM Indonesia adalah 114 dari 191 negara, setara Vietnam dan Filipina di peringkat 115 dan 116, kalah jauh dari Thailand di peringkat 66, Malaysia peringkat 62, terlebih dibandingkan Singapura yang peringkat 12.
Jika dibandingkan dengan Turki, Indonesia juga menunjukkan peningkatan yang lebih kecil. Pada 1990, Turki nilai IPM nya 0,600, dan pada tahun 2021 nilai IPM nya 0,838.
“Indonesia pada 1990 nilai IPM-nya 0,526, dan pada 2021 nilai IPM-nya 0.705. Bila dalam 3 dekade IPM Turki naik 0,238, pada waktu yang sama IPM Indonesia hanya meningkat 0.179. Meski tidak buruk, namun kinerja IPM Indonesia jelas tertinggal dibandingkan dengan sesama negara berkembang,” paparnya.
Yusuf menjelaskan IPM mengukur 3 aspek pembangunan manusia terpenting, yaitu daya beli dan konsumsi, kesehatan dan pendidikan. IPM yang rendah mengindikasikan kualitas modal manusia yang rendah. Akselerasi penanggulangan kemiskinan, serta akses kesehatan dan pendidikan yang merata dan berkualitas, menjadi kunci peningkatan IPM.
“Di masa pandemi, meski menurun, tapi kinerja Indonesia tidak terlalu buruk. Peringkat ke 114 di 2021 itu, Indonesia naik 3 peringkat dari tahun sebelumnya. Jadi pada masa pandemi kinerja IPM Indonesia meski melambat tetapi masih lebih baik dari sebagian negara berkembang lain, sehingga di 2021 Indonesia naik 3 peringkat dibandingkan tahun 2020,” paparnya lebih lanjut.
Ia menyebutkan Indonesia bisa saja meningkatkan Indeks IPM lebih cepat, jika menguatkan komitmen dalam tiga aspek IPM.
“Misal, konstitusi sejak tahun 2002 telah mengamanatkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN, seharusnya ini menjadi pendorong pemerintah untuk memajukan pendidikan kita. Namun yang terjadi pemenuhan 20 persen anggaran pendidikan ini sekedar formalitas. Karena memasukkan komponen gaji dan tunjangan guru. Lemahnya komitmen dan keengganan untuk reformasi anggaran, membuat keberpihakan fiskal sangat lemah. Tahun 2022 ini anggaran pendidikan sekitar Rp570 triliun, di saat yang sama hanya untuk pembayaran bunga utang saja lebih dari Rp400 triliun, belum termasuk pokok utang,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa